Liputan6.com, Jakarta - Satu per satu kendaraan motor merapat, seolah tergoda perpaduan harum kelapa dan sentuhan manis nan semerbak. Dus demi dus berisi potongan kue dongkal pun berpindah tangan dan dibawa pulang dalam kondisi hangat.
Seperti banyak makanan khas Jakarta, kue dongkal terseok bertahan di tengah deras arus tren kuliner tak berujung di Ibu Kota. Alhasil, kedai-kedai penjualnya tak sebanyak dulu, walau tak sesedikit itu juga.
"Pertama jualan di tahun 2017, saya cuma berani bikin (adonan kue dongkal) lima liter. Belum banyak peminat. Ada yang belum tahu kue dongkal itu apa. Ada juga yang senang bisa temui kue dongkal lagi setelah sekian lama," kata Pemilik Kue Dongkal Cipinang Jaya Tulin pada Liputan6.com saat ditemui di lapaknya di bilangan Jakarta Timur, 24 Februari 2020.
Advertisement
Baca Juga
Kendati berjualan jajanan khas Jakarta, ia mengaku bukanlah asli Betawi, melainkan berasal dari Purwokerto, Jawa Tengah. Perkenalannnya dengan kue dongkal terjadi beberapa tahun lalu saat berdagang aromanis di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan.
"Saya sebelahan sama yang jual kue dongkal. Dilihat-lihat itu apa kok kayaknya simpel, tapi banyak yang beli," tuturnya. Tulin mengakui bahwa rasa dan bentuk kue dongkal bukanlah satu yang asing, lantaran di tempat asalnya terdapat pula kue serupa. "Kalau di Jawa namanya kue awug," imbuh Tulin.
Bermodal pengamatan selama jualan bersebelahan dengan pedagang kue dongkal, ia pun meracik sendiri takaran yang dinilai pas. Apalagi, rasa 'saudara' kue dongkal, yakni kue awug, tak asing di lidahnya.
Ia kemudian memutuskan untuk tetap memakai nama kue dongkal sebagai rasa terima kasih karena Jakarta adalah tempatnya mencari nafkah. "Saya cari uang di sini, jadi kenapa tidak sekalian bantu lestarikan makanan tradisionalnya," kata Tulin.Â
Saksikan Video Berikut:
Tak Sesederhana Kelihatannya
Tulin menjelaskan, kue dongkal memang hanya terdiri dari tiga bahan, yakni tepung beras, kelapa, dan gula merah. Tapi, proses persiapan sebelum dimasak dengan cara dikukus nyatanya tak sederhana yang terlihat.
"Setiap hari harus cacah-cacah gula merah. Terus giling tepung satu jam, kukus kelapa satu jam. Selama jualan juga masih harus masak berulang kali. Sekali masak 15 menit. Belum lagi bikin adonan sampai rata-rata delapan tumpuk," paparnya.
Setelah dua bulan berjualan dan mendapat pelanggan baru berdasarkan testimoni pembeli sebelumnya, lapak kue dongkalnya bisa menghabiskan 13--14 kukusan per hari dengan satu kukusan terdiri dari 14 dus. "Jadi, kira-kira dari jumlah itu tepung habis 25 liter, gula 10--12 kg," ucapnya.
Soal harga, satu kukusan kue dongkal dibanderol Rp200 ribu dan satu dus terdiri dari beberapa potongan besar seharga Rp15 ribu. Selain dijual secara regular setiap hari pukul 15.00 sampai habis di Jl. Cipinang Jaya Raya no.25, Cipinang Muara, Jakarta Timur, Tulin juga biasanya menerima pesanan untuk acara tertentu.
"Biasanya acara kantor, bisa sampai dua atau tiga kukusan. Pernah juga buat nikahan," tuturnya.
Selain di Cipinang, ia juga membuka lapak di Klender, Jakarta Timur, dan Mampang, Jakarta Selatan. "Di dua tempat itu malah lebih ramai, bisa 30 liter setiap hari," ucapnya.
Ekspansi bisnis kue yang didominasi rasa manis dan gurih itu akan terus dilakukan, yakni dengan mendaftarkan lapaknya agar kue dongkal bisa dipesan lewat layanan ojek online.Â
Â
Â
Kami menerima kontribusi konten untuk rubrik Kuliner Malam Jumat, yaitu tempat kuliner yang cukup dikenal, punya ciri khas, dan masih buka pada malam hari. Konten harus berupa tulisan, foto dan video berdurasi sekitar 3 menit.
Tulisan berupa cerita mendalam tentang tempat kuliner malam yang diangkat sekitar 1.000 sampai 1.500 kata, foto minimal lima buah, dan video. Format konten video bisa dilihat dari video Kuliner Malam Jumat yang sudah ditayangkan.
Hasil liputan dikirim ke email: dinny.mutiah@kly.id. Tersedia hadiah menarik bagi yang karya terpilih. Untuk pertanyaan lebih detil tentang konten liputan Kuliner Malam Jumat, bisa ditanyakan melalui alamat e-mail yang sama.
Â
Advertisement