Penjelasan dan Rekomendasi KLHK soal Banjir Bandang di Kalimantan Selatan

Kementerian KLHK memberi rekomendasi terkait banjir di Kalimantan Selatan. Apa saja rekomendasinya?

oleh Komarudin diperbarui 20 Jan 2021, 04:03 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2021, 04:03 WIB
Penjelasan KLHK soal Banjir di Kalsel
Penjelasan Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK), RM Karliansyah terkait banjir Kalsel (Liputan6.com/Komarudin)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK) menjelaskan tentang  banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel). Dari 10 kabupaten, ada tiga yang mengalami dampak banjir paling besar, yaitu Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Tanah Laut.

"Ketinggian antara 0,5 meter hingga satu dan dua meter, bahkan di beberapa lokasi mencapai lima meter. Banjir terjadi dari tanggal 10 Januari, bahkan hingga hari ini. Hanya ada dua kabupaten yang terbebas (dari banjir), yaitu Tabalong dan Kota Baru," kata Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK), RM Karliansyah, saat menggelar konferensi pers secara virtual, Selasa, 19 Januari 2021.

Karliansyah menjelaskan, lokasi banjir terjadi di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Barito. Di mana dari evaluasi yang ada, kondisi infrastruktur ekologisnya, yaitu Jasa Lingkungan Pengatur Air sudah tidak memadai sehingga tidak bisa lagi menampung aliran air yang masuk.

"Di lapangan kita hanya mengenal Sungai Amandit, Sungai Balangan, Martapura, tapi itu semua bagian dari DAS Barito," imbuh Karliansyah. Penyebab banjir, lanjut Karliansyah, terjadi di alur DAS Barito, khusus di Kalsel, karena cuaca ekstrem.

"Kami mencatat, misalnya pada Januari 2020 curah hujan normal itu 394 milimeter. Yang kami catat dari data BMKG tanggal 9 sampai 13 Januari 2021 itu 461 mm selama lima hari. Artinya, delapan hingga sembilan kali dari curah hujan yang normal," kata Karliansyah.

Dengan demikian, volume air yang masuk ke sungai itu luar biasa. Jadi, dari perhitungan ada sekitar sekitar 2,08 miliar meter kubik yang masuk dibandingkan kondisi normal yang hanya 238 juta meter kubik.

Karliansyah mencontohkan, di Kabupaten Tanah Laut, debit sungai 645,56 meter kubik per detik. Sementara bisanya hanya 410,73 meter per kubik per detik.

"Di kabupaten Banjar juga sama dari kapasitas 47,99 meter kubik per detik yang terjadi adalah 211,59 meter kubik per detik. Kemudian di Hulu Sungai Tengah itu tercatat mencapai 333,79 meter kubik per detik. Padahal, kapasitasnya hanya 93,42 meter kubik per detik," ujar Karliansyah.

Selain itu, lanjut Karliansyah, pihaknya juga mendapat evaluasi bahwa sistem drainase juga tak mampu mengalirkan air yang sangat besar itu. Daerah banjir itu berada di titik pertemuan dua anak sungai yang cekung dengan volume air yang sangat besar. "Berdasarkan peta, lokasi banjir terlihat sekali itu umumnya berada di daerah yang datar (flat) dan bermuara di laut yang merupakan daerah akumulasi air dengan tingkat drainase yang rendah," kata dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Rekomendasi KLHK

Jokowi meninjau banjir di Kalimantan Selatan
Presiden Joko Widodo atau Jokowi meninjau banjir Kalimantan Selatan (Kalsel) dari atas jembatan Pakauman yang dilintasi Sungai Martapura, Kabupaten Banjar. (Dok Setpres)

Karliansyah juga mengungkapkan bahwa pihaknya mencatat ada perbedaan yang sangat besar, antara tinggi bagian hulu dengan hilir sehingga pasokan air dari hulu dengan energi dan volume besar itu waktu konsentrasinya cepat jadilah genangan air yang mengakibatkan banjir.

Karliansyah juga menjelaskan tentang DAS Barito. Kata dia, DAS Barito itu mencakup empat provinsi, yaitu Kalimantan Tengah yang paling besar 4,4 juta hektare. Sementara itu, Kalsel itu 1,8 juta hektare, Kaltim itu ada 8.000 hektare, dan Kalbar itu ada 590 hektare

Di Kalsel, proporsi luar areal yang berhutan itu hanya 18,2 persen. Dengan rincian 15 persen dan 3,2 persen lainnya merupakan hutan tanaman.

"Sisanya yang 81,8 persen itu didominasi pertanian lahan kering campur 21,4 persen, sawah 17 persen, dan perkebunan 13 persen," kata Karliansyah. "Kalau kita perhatikan dari 2000--2019, maka penurunan luas hutan alam itu sebesar 62,8 persen," lanjutnya.

Yang paling besar, kata Karliansyah, itu terjadi antara tahun 1990--2020 sebesar 55,5 persen.

"Jadi, 39,3 persen kawasan hutan dan sisanya adalah 60,7 persen adalah areal penggunaan lain. Yang masih bagus tinggi DAS-nya itu sebesar 34 persen, sisanya 65 persen lebih itu yang sudah tidak bagus lagi," ujar Karliansyah.

Oleh karena itu, Karliansyah menyebut sejumlah rekomendasi yang harus dilakukan untuk mengurangi banjir. Seperti pembuatan bangunan konservasi tanah dan air, mempercepat dan memfokuskan kegiatan RHL di daerah sumber penyebab banjir, pembuatan bangunan-bangunan pengendali banjir, terobosan terkait konservasi tanah dan air, dan pengembangan sistem peringatan dini.

Petaka Banjir dan Longsor Aceh, Kalsel hingga Sulut

Infografis Petaka Banjir dan Longsor Aceh, Kalsel hingga Sulut. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Petaka Banjir dan Longsor Aceh, Kalsel hingga Sulut. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya