Liputan6.com, Jakarta - Salatiga adalah salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah yang diapit oleh dua kota besar, yakni Semarang dan Solo. Kota seluas 56,781 km2 itu juga dilalui jalan nasional dan jalan Tol Trans Jawa sehingga membuatnya menjadi begitu strategis.
Kota itu memiliki udara yang sejuk dan panorama indah karena letaknya berada di kaki Gunung Merbabu. Keindahannya bahkan telah diakui sejak lama, tepatnya pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada masa itu, Salatiga dijuluki De Schoonste Stad van Midderi-Java atau kota terindah di Jawa Tengah.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Hal-hal menarik lainnya tentang Salatiga tak hanya itu. Liputan6.com telah merangkum enam fakta menarik yang dikutip dari berbagai sumber, Rabu, 3 Februari 2021.
1. Asal Usul Nama Salatiga
Asal mula Kota Salatiga tak lepas dari kisah Ki Ageng Pandanaran, Bupati Semarang, pada masa Kesultanan Demak yang ikut Sunan Kalijaga pergi mengembara. Dalam perjalanan itu, Sunan Kalijaga meminta Ki Ageng Pandanaran meninggalkan seluruh harta benda miliknya.
Walaupun Ki Ageng Pandanaran mampu menepati janjinya, istrinya melanggar. Dia memasukkan emas dan berlian ke dalam tongkat.
Di tengah perjalanan, mereka bertemu sekawanan perampok. Sunan Kalijaga menyuruh perampok itu untuk mengambil harta yang dibawa oleh istri bupati. Akhirnya, perampok itu membawa tongkat yang berisi emas dan berlian.
Setelah peristiwa itu, Sunan Kalijaga berkata kepada Ki Pandanaran dan istrinya, "Aku akan menamakan tempat ini Salatiga karena kalian telah membuat tiga kesalahan. Pertama, kalian sangat kikir. Kedua, kalian sombong. Ketiga, kalian menyengsarakan rakyat. Semoga tempat ini menjadi tempat yang baik dan ramai nantinya."
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
2. Salah Satu Kota Tertua di Indonesia
Kota Salatiga menjadi salah satu kota tertua di Indonesia. Dilansir dari Salatiga.go.id, kota itu berdiri pada 24 Juli tahun 750 Masehi sehingga pada saat ini telah berusia 1270 tahun.
Berdasarkan prasasti Plumpungan yang berada di Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo itu, pada awalnya Salatiga adalah sebuah tanah perdikan bernama Hampra. Tanah perdikan merupakan tanah pemberian raja yang diberikan kepada daerah yang dianggap berjasa kepada pemimpinnya. Rakyat yang menetap di sana dibebaskan dari membayar pajak atau upeti.
Tanah perdikan atas wilayah Hampra itu diberikan oleh Raja Bhanu, seorang raja besar yang daerah kekuasaannya meliputi Salatiga, Kabupaten Semarang, Ambarawa, dan Boyolali. Berdasarkan pada Perda No. 15 tahun 1995, penetapan tanah perdikan oleh Raja Bhanu itulah yang menjadi dasar tanggal lahir Kota Salatiga.
3. Kota Terindah di Jawa Tengah
Pada zaman Belanda, pemerintah pada saat itu menyebut Salatiga sebagai kota terindah di Jawa Tengah. Maka, tak heran bila di sana banyak dijumpai rumah peninggalan Belanda dan juga tempat wisata alam seperti Kopeng.
Seiring dengan dibangunnya Jalan Tol Trans Jawa, Gerbang Tol Salatiga memiliki panorama yang indah untuk dikunjungi. Dengan latar belakang Gunung Merbabu yang menjulang tinggi, banyak orang yang menyamakan pemandangan di gerbang tol itu dengan pemandangan di Swiss.
Advertisement
4. Salah Satu Kota Paling Toleran di Indonesia
Saling menghargai antarumat beragama menjadi kekuatan Salatiga sebagai salah satu kota toleran se-Indonesia. Perbedaan keyakinan tak menghalangi mereka untuk saling membantu untuk merayakan hari besar keagamaan.
Predikat yang diberikan oleh Setara Institute for Democracy and Peace sebagai salah satu Kota Tertoleran kedua setelah Kota Singkawang telah terimplementasikan secara nyata dalam kehidupan beragama masyarakat Kota Salatiga. Dengan komposisi pemeluk agama yang variatif, Salatiga terus berupaya memberi ruang yang sama bagi seluruh masyarakat untuk beribadah, berekspresi, mengaktualisasikan diri, dan lain sebagainya.
Di kota ini tak dapat terhitung berapa banyak jumlah rumah ibadah yang berdiri dan berdampingan. Sebagai contoh nyata, masjid dan gereja yang dibangun bersebelahan di seputaran Lapangan Pancasila di tengah kota Salatiga, kelompok paduan suara kampus Muhammadiyah yang bernyanyi di acara Natal salah satu gereja GPDI, hingga pemuda dan pemudi Buddha yang membantu pengamanan ketika umat muslim sedang melaksanakan Salat Idul Fitri maupun sebaliknya.
5. Indonesia Mini
Salatiga juga dijuluki Indonesia mini disebabkan banyak warga pendatang dari daerah lain yang beragam. Mayoritas para pendatang berasal dari Pulau Sulawesi, Kalimantan, Aceh, Medan, Bali, NTT, NTB, Maluku, Papua hingga Tiongkok untuk menuntut ilmu di sebuah universitas swasta di Salatiga, yaitu UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana).
Untuk menyatukan segala perbedaan yang ada, mahasiswa berinisiatif mengadakan kegiatan yang telah mendunia yaitu Indonesian International Culture Festival (IICF). Setiap perwakilan daerah menampilkan keunikan daerah masing-masing dalam Pawai Budaya dan mendirikan stand makanan khas daerah untuk dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Salatiga.
6. Enting-Enting Gepuk Khas Salatiga
Enting-enting gepuk merupakan makanan ringan yang terbuat dari kacang tanah, gula pasir, air, dan vanili. Berbentuk prisma segitiga sama kaki dan dibungkus dengan kertas merupakan ciri khas oleh-oleh asal Salatiga ini. Rasanya manis gurih renyah dan rasa khas kacang tanah sangat terasa.
Mulanya, enting-enting gepuk ini dirintis oleh seorang imigran dari Fukikian China bernama Khoe Choeng Hok pada 1920-an. Pembuatan pertama kali dilakukan di Klenteng HOK TEK BIO No 13 Salatiga, karena ia merupakan juru kunci klenteng tersebut.
Dinamakan gepuk karena proses pembuatannya digepuk sampai halus hingga semua bahan tercampur jadi satu. Enting-enting gepuk dibuat tanpa bahan pengawet dan pewarna, tetapi dapat bertahan hingga 6 bulan.
Enting-enting gepuk terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan kulit dan lapisan isi. Lapisan kulit lebih keras, renyah, dan terasa manis karena lebih banyak mengandung gula. Sedangkan, isinya hanya kacang tanah yang ditumbuk halus.
Saat ini, enting-enting gepuk memiliki beberapa varian rasa. Ada enting-enting gepuk rasa durian, jeruk, cokelat, dan jahe. Ada pula enting-enting gepuk yang menggunakan gula merah, sehingga rasanya tidak terlalu manis seperti menggunakan gula pasir. Ada juga varian lain yang menggunakan bahan tambahan berupa wijen dan ampas kelapa. (Melia Setiawati)
Advertisement