Liputan6.com, Jakarta - Bisnis kuliner selama pandemi bertumbuh signifikan. Data menyebut tingkat pertumbuhan bisnis makanan dan minuman mencapai sembilan persen selama 2020. Dengan persaingan yang ketat, pengusaha kuliner, terutama para pemula, butuh strategi agar bisa memikat konsumen.
Ade Putri Paramadita, seorang pendongeng kuliner, menyebut menjual kuliner tak cukup hanya menjanjikan rasa yang pas di lidah. Apalagi, rasa bersifat subjektif.Â
Advertisement
Baca Juga
"Yang mau saya garis bawahi, kita harus belajar bertutur, bukan hanya jualan. Nggak bisa hanya bilang ini enak, kecuali kalau ditawarkan kepada yang memang sudah tahu, sudah kenal," kata Ade dalam workshop virtual "Bisnis Makanan Rumahan Kian Menjanjikan, #MulaiBarengBeko Jadi Ajakan untuk Tingkatkan Kecakapan Para Pengusaha Rintisan", Jumat (19/2/2021).
Keterampilan bercerita menjadi syarat untuk bisa menarik pasar yang lebih luas, terutama bila mengandalkan media sosial. Cerita yang kuat bila mampu menggabungkan data dan cerita asal usul makanan yang ditawarkan. Tapi, Anda juga bisa bercerita tanpa data asalkan informasi yang disampaikan benar adanya, bukan karangan.
"Storytelling ini untuk berbagai produk sebenarnya. Seringkali kan kalau kita sedang nonton streaming, di depannya ada iklan. Iklan mana yang buat nyantol, yang bikin kepengen nonton sampai habis? Itu adalah storytelling," jelas Ade.
Menurut Ade, bercerita bukan sekadar meramu kata hingga mendayu-dayu, melainkan kekuatan cerita yang disampaikan hingga orang lain mau mendengarkan. Maka, langkah pertama untuk bisa bercerita adalah dengan mengenali produk dan kisah di balik produk kuliner tersebut.Â
"Kalau seorang tertarik, dia akan ingat dan ceritakan lagi kepada orang lain," tutur Ade.
Â
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Panduan Sederhana
Ade menyadari tak semua orang mampu bercerita, tapi keterampilan itu bisa dipelajari. Ia memberikan beberapa daftar pertanyaan yang bisa jadi panduan untuk meramu cerita.
Pertanyaan dimulai dengan mengapa mulai berbisnis kuliner tersebut. Itu bisa menjadi landasan awal membangun cerita. Pertanyaan selanjutnya adalah seputar alasan membuat produk tersebut dan mendapat resep dari mana.
"Misalnya itu dari resep nenek, yang ada ada di rumahnya. Keluarnya hanya saat perayaan ulang tahun atau momen tertentu. Saat tamu datang, dia memuji enak sup oma kamu. Ya sudah dibuat aja, tapi bukan tentang sop merah. Ceritakan bahwa resep nenek itu keluar saat ada momen tertentu," Ade mencontohkan.
Dalam cerita juga bisa disampaikan tentang proses pembuatan produk, apalagi bila ada teknik yang khas yang tak biasa. Hal itu bisa memberi nilai tambah dalam cerita. Hal tersebut juga diamini Chef Willgoz. Ia menyebut penjualan secara digital membuat orang berlomba untuk menampilkan foto promo terbaik. Tapi, foto sebagus apapun tidak akan maksimal menarik konsumen bila tidak bisa diceritakan.
"Tapi bukan berarti fotonya boleh ngasal juga. Gunakan cahaya dari rumah, bisa pakai gadget yang ada. Karena online, orang tahu itu dari visual dulu," imbuh Chef Willgoz.
Advertisement