Liputan6.com, Jakarta - Kampanye 10 hari untuk membantu dan melindungi petani Palestina telah diluncurkan di daerah yang dianggap berisiko tinggi terhadap serangan pemukim Israel. Momen tersebut bertepatan dengan musim panen zaitun di Palestina.
Dilansir dari Al Jazeera, Kamis (14/10/2021), puluhan sukarelawan Palestina tiba di Desa Jalud, di pinggiran selatan Nablus di Tepi Barat, Rabu, 13 Oktober 2021. Sukarelawan, baik muda maupun tua, membantu pemilik tanah memanen pohon zaitun mereka secepat mungkin.
Kelompok sukarelawan lain bekerja secara bersamaan dengan pemilik tanah di desa sebelah Qaryout. Kampanye yang digelar Komite Persatuan Kerja Pertanian (UAWC), akan mencakup 12 desa, terutama di Nablus selatan, juga di daerah Ramallah dan Betlehem.
Advertisement
Baca Juga
Kampanye ini akan menyatukan lebih dari 250 sukarelawan termasuk mahasiswa, komite pertanian, dewan lokal, dan penduduk desa. Muayyad Bsharat, kepala advokasi di UAWC, menyebut kepada Al Jazeera bahwa tujuan utama kampanye ini adalah untuk "memperkuat kendali atas sumber daya alam kita, dengan membawa petani Palestina ke tanah mereka di Area C, dan ke daerah lain yang terancam oleh pendudukan Israel."
"Idenya adalah meluncurkan kampanye di salah satu 'titik panas' di Nablus selatan," kata Bsharat. "Kehadiran sejumlah besar orang di tanah membuat para pemukim takut dan membuat mereka tidak dapat melakukan serangan. Ketika kami membawa 50 hingga 60 sukarelawan setiap hari, ini adalah spanduk yang menjauhkan para pemukim."
Kampanye lain juga telah diluncurkan oleh kelompok pemuda dan komite populer untuk musim ini, yang berlangsung hingga November. "Para petani akan merasa bahwa mereka mendapat bantuan, terutama di daerah yang paling sensitif, di mana mereka harus memetik buah zaitun dengan cepat," kata Bsharat.
Desa-desa Palestina di Nablus selatan menghadapi serangan paling sistematis oleh pemukim Israel di Tepi Barat yang diduduki, termasuk Qusra, Burin, dan 'Urif. Serangan termasuk penyerangan fisik dan pemukulan dengan batu dan pentungan, perusakan properti, termasuk rumah, sekolah, dan mobil, serta pencurian dan perusakan tanaman dan ladang.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Semangat di Tengah Keterbatasan
Pada 2020, Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mencatat 40 serangan oleh pemukim Israel terhadap warga Palestina selama musim panen zaitun, 17 di antaranya di provinsi Nablus, diikuti oleh 10 di daerah Ramallah. Jalud dan desa sebelah Qaryout dikelilingi oleh tiga pemukiman besar dan serangkaian pos terdepan yang melapisi tepi sisa tanah mereka.
Kedua desa kecil tersebut sering menjadi sasaran serangan pemukim, yang sering melakukannya dengan perlindungan tentara Israel. Pemukim di pos-pos terdekat Adei Ad, Esh Kodesh, dan Ahiya adalah beberapa yang paling kejam di Tepi Barat yang diduduki.
Pada 2019, pemukim membakar sekitar 1.000 pohon zaitun di Jalud. Baru-baru ini di bulan Mei, para pemukim membakar kebun zaitun dan menebang tiang listrik yang melayani Jalud, untuk ketiga kalinya.
Qassem al-Haj Mohammad, seorang petani berusia 52 tahun, memiliki beberapa bidang tanah di Jalud bersama saudara-saudaranya, yang mereka warisi dari ayah mereka. Tanah keluarga telah diserang oleh pemukim pada beberapa kesempatan, termasuk dalam satu contoh menebang 40 pohon zaitun yang mereka tanam pada 1980-an.
Dalam contoh lain membakar 150 pohon zaitun yang ditanam oleh ayah mereka pada 1960-an. Ia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pemukim mencoba memprovokasi warga Palestina dengan tujuan mengumpulkan reaksi, yang kemudian dapat mereka gunakan sebagai alasan bagi tentara untuk mencegah mereka mengakses tanah mereka. "Mereka ingin kita melakukan apa saja, supaya mereka bisa menguasai wilayah itu."
Advertisement
Merugi
Perjuangan keluarga melampaui serangan pemukim. Keluarga Qassem, seperti banyak keluarga lainnya, dilarang mengakses sebagian besar tanah mereka di daerah yang dekat dengan pemukiman, kecuali dua hingga tiga hari dalam setahun.
"Mereka mengizinkan kami satu atau dua hari untuk menanam tanaman kami, dan satu hari untuk memanennya, sepanjang tahun," kata Qassem.
"Kami tidak diperbolehkan melakukan hal lain untuk memelihara pohon, jadi setiap tahun, hasil panen kami berkurang," lanjutnya.
Ia juga menjelaskan bahwa satu tahun, dia dan lima pemilik tanah lainnya secara kolektif kehilangan sekitar 40.000 shekel atau setara Rp175 juta. "Namun, kami terpaksa pergi ke sana dan bekerja pada hari-hari yang diizinkan. Jika kita biarkan, tentara dan pemukim akan menggunakannya sebagai alasan untuk menangkap," tambahnya.
Qassem memperkirakan bahwa petani Palestina di daerah itu kehilangan puluhan ribu shekel setiap tahun. Hal tersebut dikarenakan pembatasan pendudukan Israel di tanah mereka.
Infografis Rentetan Konflik Terbaru Israel - Palestina
Advertisement