5 Fakta Limbah Fesyen di Balik Tren Produksi Cepat dan Massal

Limbah Fesyen banyak terjadi karena fesyen disebut sebagai industri paling berpolusi kedua di dunia, setelah industri perminyakan.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Apr 2022, 05:02 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2022, 05:02 WIB
Program Daur Ulang Pakaian Girlfriend Collective Kurangi Limbah Tekstil
Ilustrasi pakaian bekas. (dok. Pixabay/Novi Thedora)

Jakarta - Produk fesyen terutama pakaian yang dikenakan saat ini melewati berbagai proses yang panjang dan ternyata berbahaya untuk lingkungan. Salah satunya bisa menimbulkan limbah fesyen yang jumlahnya semakin banyak.

Berbagai usaha dilakukan sejumlah pihak untuk mengurangi limbah fesyen.  Program Director for Sustainable Governance Strategic Kemitraan Dewi Rizki dan Runner Up Pertama Putri Indonesia Bengkulu 2022 Dinda Ayudita membagikan sejumlah fakta menarik mengenai limbah fesyen di balik produksi dan konsumsi industri fast fashion.

Merujuk pada UN Conference of Trade and Development (UNCTD) 2019, fesyen disebut sebagai industri paling berpolusi kedua di dunia, setelah industri perminyakan. Sepuluh persen dari emisi karbon yang memengaruhi krisis iklim dihasilkan dari industri fesyen.

Berikut lima fakta yang perlu digarisbawahi dan diketahui mengenai limbah fesyen, terutama bagi pengguna yang ingin menerapkan "diet" baju dan produk fesyen lain, dikutip dari Antara, 9 April 2022.

1. Fast fashion punya andil besar

Dengan harganya yang terbilang murah dan modelnya sedang tren, banyak anak muda yang tertarik untuk membeli pakaian dari merek-merek fast fashion tersebut. Dahulu rata-rata merek merilis dua koleksi, yaitu koleksi musim panas dan musim dingin.

Namun, sekarang frekuensinya bisa jauh lebih tinggi. Ada merek global yang merilis hingga belasan koleksi per tahun. Bahkan, mengeluarkan hingga lebih dari 40 koleksi.

Memahami ancaman di balik fast fashion, Dinda sendiri selalu memilih model dan warna pakaian yang everlasting,. Contohnya, blazer warna hitam yang bisa dipadankan dengan dalaman dan aksesori warna apa saja.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2. Jenis limbah fesyen

Industri Fast Fashion
Ilustrasi industri fast fashion | Unsplash.com/Rico Lecatompessy

Dinda bercerita dirinya pernah melihat sampah yang menggunung, rupanya sampah tersebut terdiri dari berbagai pakaian. Sampah tersebut termasuk limbah fesyen yang berasal dari sisa kain dari produksi pakaian di pabrik berskala kecil dan besar, serta pakaian tak terpakai yang dibuang.

Sejumlah bahan pakaian tidak mudah terurai secara alami, seperti polyester dan nilon yang membutuhkan waktu terurai antara 20 hingga 200 tahun. Meski begitu, terdapat pula bahan alami seperti kain katun dan linen.

Selain itu, limbah fesyen juga termasuk limbah cairan. Industri fesyen, kata Dewi, menyumbang 20 persen limbah cairan di dunia. Pewarnaan tekstil menjadi polutan air terbesar kedua di dunia karena sisa air dari proses pewarnaan kerap dibuang ke selokan dan sungai.

3. Berdampak pada krisis iklim

Dewi mengatakan emisi karbon yang sangat besar dari industri fesyen terjadi pada setiap tahap rantai pasokan fesyen dan siklus produk. Namun, 70 persen emisi karbon berasal dari kegiatan hulu, seperti produksi dan pemrosesan bahan mentah.

Tak hanya itu, krisis iklim juga termasuk terkait dengan air, bahan kimia, penggundulan hutan, limbah tekstil, serta mikroplastik yang tidak bisa terurai secara alami.

4. Perilaku konsumen ikut berperan

6 Produk Fesyen Ramah Lingkungan Berbahan Dasar Unik, dari Limbah Anggur sampai Kulit Kayu
Syal yang terbuat dari kulit kayu sedang melewati proses penjemuran di Bali (dok. Instagram @cintabumiartisans / https://www.instagram.com/p/COfP7aIAaYc/?utm_medium=copy_link / Dinda Rizky)

Dinda mengakui dahulu dirinya bisa belanja baju baru setiap hari, meski pada akhirnya hanya terpakai satu-dua kali saja dan tersimpan rapi di lemari tanpa pernah tersentuh lagi.

"Waktu itu saya mulai berpikir ulang tentang kebiasaan membeli baju. Sudah saatnya saya berubah total. Sekarang saya jarang sekali beli baju. Belum tentu setiap satu-dua bulan saya beli baju,” kata Dinda.

Ia sendiri mengajukan diri untuk jadi duta kampanye Generasi Nol Emisi di media sosial. Kampanye ini digagas oleh The Partnership for Governance Reform atau yang biasa disebut Kemitraan.

Dinda turut berbagi tip agar tak perlu terus-menerus belanja produk fesyen, yaitu dengan memilih produk dasar dalam warna monokrom, seperti hitam dan cokelat, sehingga bisa dikenakan di berbagai acara. "Basic item milik saya adalah jeans, kaus ketat atau tank top, dan sepatu putih. Kalau mati gaya, sepatu putih tidak pernah gagal jadi penolong," kata Dinda.

 

5. Limbah fesyen bisa ditekan

Fast Fashion
Industri fast fashion sangat berdampak pada kehidupan dan lingkungan. Apa saja dampaknya? | unsplash.com-Hannah Morgan

Salah satu cara untuk menekan limbah fesyen tentunya adalah dengan mengurangi belanja produk fesyen. Namun bukan itu saja, karena hal yang paling sederhana untuk meminimalkan limbah fesyen.

Mendonasikan pakaian lama yang masih layak pakai kepada mereka yang membutuhkan jadi cara yang termasuk sangat efektif. Jika sangat perlu belanja baju, Dewi menyarankan agar memastikan semua diproses secara bertanggung jawab dan berkelanjutan, misalnya memakai bahan daur ulang dan dibuat dari bahan yang tahan lama.

“Mengurangi sampah fesyen adalah aksi sederhana yang bisa kita lakukan untuk memperlambat perubahan iklim. Jadi, mari menunjukkan rasa cinta pada bumi dengan mengurangi belanja produk fesyen, merawat pakaian dengan baik, dan memodifikasi pakaian lama," tutur Dewi.

Infografis Fakta-Fakta Menarik tentang Fashion
Infografis Fakta-Fakta Menarik tentang Fashion. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya