Liputan6.com, Jakarta - Konsumen Korea Selatan telah mendesak untuk memboikot Paris Baguette. Jaringan toko roti itu dikecam setelah seorang stafnya tewas di tempat kerja, seperti dilansir dari VICE World News, Selasa (25/10/2022).
Karyawan berusia 23 tahun itu dilaporkan mengoperasikan mesin pencampur saus sendirian saat shift malam pada 14 Oktober 2023 di salah satu pabrik perusahaan. Selama shift-nya, ia disebut "tertarik ke dalam alat tersebut dan tubuhnya yang hancur ditemukan di mesin keesokan hari" oleh rekan-rekannya.
Advertisement
Baca Juga
Pabrik melanjutkan produksi keesokan harinya. Sementara, karyawan yang melihat dan menarik tubuh rekan kerja mereka yang hancur dari mesin diharuskan bekerja di sebelah lokasi kecelakaan.
Tanggapan tidak berperasaan dan dugaan penyimpangan keamanan, yang mana para kritikus mengatakan mesin itu seharusnya dioperasikan dua orang, telah memicu protes dan seruan boikot di Korea Selatan. Tidak hanya pada Paris Baguette, tapi juga perusahaan induknya, SPC Group.
"Jangan pernah membeli atau pergi ke SPC Perusahaan pembunuh!" kata Konfederasi Serikat Buruh Korea, pusat serikat pekerja nasional di Korea Selatan, di akun Twitter resmi mereka.
Kicauan dengan frasa, seperti "Boikot SPC," "Perusahaan pembunuh SPC," dan "Gerakan larangan membeli" sempat tren di Twitter Korea Selatan, dengan beberapa unggahan mengumpulkan ribuan retweet.
Sehari setelah Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol memerintahkan penyelidikan atas kematian karyawan tersebut, Ketua SPC Group Huh Young In secara terbuka meminta maaf saat konferensi pers. Ia mengatakan bahwa meminta karyawan kembali bekerja di lokasi kecelakaan adalah salah dan "tidak bisa dimaafkan."
Merilis Surat Permintaan Maaf
Lebih lanjut dilaporkan bahwa SPC merilis surat permintaan maaf pada 17 Oktober 2022. Perusahaan juga berjanji menghabiskan 100 miliar won (sekitar Rp1 triliun) selama tiga tahun untuk meningkatkan keselamatan pekerja, kata Presiden SPC Hwang Jae Bok, pekan lalu.
SPC Group, konglomerat makanan Korea Selatan yang memiliki Paris Baguette dan mengoperasikan merek global besar di negara itu, telah berulang kali mendapat kecaman karena praktik perburuhannya yang buruk, lapor VICE World News.
Hanya seminggu sebelum wanita yang tidak disebutkan namanya itu meninggal di tempat kerja, tangan seorang karyawan tersangkut di mesin lini produksi lain. Tapi, perusahaan tidak mengirim pekerja ke rumah sakit untuk perawatan karena karyawan tersebut bukan pekerja penuh waktu, menurut Korea Times.
Pada Mei lalu sekelompok aktivis memprotes SPC Group karena diduga gagal memberikan hak-hak dasar pekerja perempuan mereka. Meski sekitar 80 persen pembuat roti Paris Baguette adalah wanita, para demonstran mengklaim bahwa mereka tidak dijamin istirahat makan siang satu jam, liburan berbayar tahunan, dan cuti menstruasi, surat kabar Korea Selatan Hankyoreh melaporkan.
Advertisement
Berkembang Pesat
Dengan lebih dari empat ribu lokasi di seluruh dunia, termasuk Jakarta, Paris Baguette adalah bisnis yang berkembang pesat. Menurut publikasi bisnis Amerika Franchise Times, waralaba A.S. Paris Baguette berada di peringkat ke-25 dalam peringkat 500 sistem waralaba terbesar di A.S. berdasarkan penjualan global.
Perusahaan berencana membuka 1.000 lokasi di AS pada 2030. Pada hari kematian karyawan tersebut, SPC Group mengumumkan akan membuka Paris Baguette pertamanya di Inggris. Di Korea Selatan, SPC Group juga mengoperasikan merek internasional seperti Shake Shack dan Baskin Robbins.
Ini bukan kali pertama seruan boikot produk riuh disuarakan orang Korea Selatan. Pada 2020 lalu, perusahaan asal Jepang, DHC Corp, terancam diboikot setelah CEO-nya melontarkan komentar dianggap rasis tentang Korea Selatan dan menyebut perusahaannya "murni Jepang."
Pernyataan itu dibuat CEO Daigaku Honyaku Center (DHC), Yoshiaki Yoshida, dalam sebuah pesan di laman resmi perusahaan yang "menyerang" perusahaan saingannya, Suntory. Keduanya bersaing di sektor suplemen kesehatan.
"Untuk beberapa alasan, model yang disewa untuk iklan Suntory hampir semuanya adalah orang Korea-Jepang. Jadi, sepertinya mereka diejek di Internet sebagai 'Chontory,'" tulisnya seperti dilansir dari SCMP.
Istilah Dianggap Diskriminatif
Istilah "Chontory" inilah yang menimbulkan masalah. "Chon" dianggap istilah yang merendahkan bagi orang Korea di Jepang, yang secara luas dianggap diskriminatif. Yoshida juga melanjutkan dengan menulis bahwa karyawan DHC "murni Jepang," sehingga bisa jadi perusahaan besar yang usianya hampir mencapai 50 tahun.
Hal ini membawa kemarahan pengguna Twitter dan menyerukan tagar, "Saya tidak lagi membeli produk dari DHC yang diskriminatif." Instagram perusahaan tersebut juga sempat diserbu warganet yang kecewa dan menuliskan tidak akan memakai produk DHC lagi.
"Saya tidak bisa lagi memercayai produk perusahaan semacam itu. Saya menentang diskriminasi!" tulis salah satu pengguna Twitter, sementara yang lain berkomentar, "Mereka tidak dapat berbisnis tanpa mendiskriminasi minoritas, konsumen, dan perusahaan lain? Saya akan mengatakan tidak pada perusahaan yang begitu dangkal."
Warga Korea Selatan pun melancarkan protes dan banyak yang mengklaim memboikot dan tidak akan menggunakan lagi produk-produk DHC. Sebagian warga bahkan ada yang menyerukan boikot terhadap segala hal yang berhubungan dengan Jepang, termasuk untuk tidak bepergian ke Jepang.
Advertisement