Liputan6.com, Jakarta - Terletak sekitar 200 meter dari Gedung Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, Anda dapat menemui Masjid Jami Matraman. Bukan sekadar masjid biasa, masjid ini menjadi saksi bisu perjuangan kerajaan Mataram merebut Batavia dari Belanda.Â
Dalam acara Wisata Religi bersama Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi DKI Jakarta, Minggu, 3 April 2023, Hj. Samsudin selaku Kepala Rumah Tangga Yayasan Masjid Jami Matraman menceritakan sejarah masjid tersebut. Berikut enam fakta menarik Masjid Jami Matraman yang dirangkum oleh Liputan6.com.
1. Saksi Perjuangan Kerajaan Mataram Merebut Batavia dari Belanda
Advertisement
Masjid Jami Matraman adalah sebuah masjid yang terletak di Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Arsitektur masjid yang didirikan pada 1837 itu terinspirasi bentuk masjid di Timur Tengah dan India.Â
Advertisement
Awalnya, masjid ini bernama Masjid Jami Matraman Dalem. "Matraman Dalem karena artinya ‘masjid jami para abdi dalem’ atau para pengikut Kerajaan Mataram," jelas Hj. Samsudin. Mataram adalah daerah tempat bermukim prajurit-prajurit Kasultanan Mataram.
Masjid Jami Matraman sangat melekat dengan perjuangan Kerajaan Mataram saat merebut Batavia dari Belanda. Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo alias Syekh Kuro terkenal sebagai kerajaan Islam yang kerap mengirimkan prajurit ke Batavia untuk melawan Belanda.Â
Samsudin menjelaskan, "Awalnya sekitar tahun 1600an, Kerajaan Jayakarta beserta rombongannya sedang mengajar ke wilayah Jawa Tengah. Mendengar kampung halamannya (Jakarta) diserang Belanda, Pangeran meminta bantuan ke kerajaan Islam di Jawa Tengah."
Saat itu, Sungai Ciliwung yang berdekatan dengan Masjid Jami Matraman merupakan tempat transportasi. Misi Sultan Agung berakhir dengan kegagalan karena ratusan prajurit Mataram tewas akibat wabah kolera yang mengganas. Meski begitu, pihak Kompeni juga mengalami kerugian yang amat besar.
2. Awalnya Berbentuk Gubuk Kecil
Sebelum sebesar saat ini, bangunan masjid awalnya hanya berupa gubuk-gubuk dan musala kecil yang digunakan para prajurit untuk beristirahat dan menunaikan ibadah salat. "Karena kan dulu transportasi lewat sini. Jadi kalau Belanda mau masuk, diadang dulu di sini," jelas Samsudin.
Seiring berjalannya waktu, Sultan Agung ingin mengubah gubuk dan musala tersebut menjadi bangunan permanen. Ia pun meminta bantuan keluarga Sunan Kalijaga dalam proses pembangunannya. Setelah selesai dibangun, masjid ini diberi nama Masjid Jami’ Mataraman Dalem.
Pada 1837, dua orang generasi baru keturunan Mataram, H. Mursalun dan Bustanul Arifin sebagai keturunan Sunan Kalijaga memelopori pembangunan kembali tempat ibadah tersebut. Masjid mulai berfungsi sebagai pusat dakwah setelah sebagian prajurit memutuskan untuk tinggal dan menjadi pendakwah.Â
Meskipun nama Masjid Mataram telah berubah menjadi Masjid Jami Matraman, hal ini tidak menghilangkan identitas sejarah bahwa masjid tersebut didirikan oleh masyarakat yang berasal dari Mataram.Â
3. Mushaf Al-Qur’an Raksasa Dari Daun Lontar yang Misterius
Terdapat benda artefak yang unik yang dapat pengunjung temukan di Masjid Jami Matraman, yaitu mushaf Al-Qur’an berukuran raksasa. Al-Qur'an itu diletakkan di dalam etalase kaca di bagian dalam masjid.
Ada dua jenis bahan mushaf Al-Qur’an, satu dalam bentuk daun dan pelepah lontar, sedangkan yang satunya dalam bentuk kertas kuno. Masing-masing jenis mushaf memiliki dua kopi, sehingga total terdapat empat mushaf Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an ditulis tangan dengan tinta di atas alas tersebut.
Samsudin menjelaskan kepada pengunjung sembari memperlihatkan mushaf Al-Qur’an kertas yang terbuka. "Al-Qur’an besar ini sudah ada lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Tidak diketahui siapa yang menulis, siapa yang menemukan, tiba-tiba saja ada di luar masjid," ujarnya.Â
Tampak seperti sebuah keajaiban, mushaf Al-Quran berbahan kertas memiliki ukuran sekitar 1x1,5 meter dengan jumlah halaman yang tidak diketahui. "Oleh pengurus masjid yang lama, Al-Qur’an ini ditaro di gudang, tapi kemudian dirayapin. Baru setelah pengurus yang baru sekarang, Al-Qur’an dipajang di sini," jelas Samsudin.Â
Advertisement
4. Diduga Jadi Tempat Salat Jumat Presiden Soekarno setelah Proklamasi Kemerdekaan
Masjid Jami Matraman berperan penting dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah Sukarno membacakan naskah proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, ia beserta beberapa tokoh lainnya pergi ke Masjid Jami Matraman untuk melakukan salat Jumat pertama setelah kemerdekaan Indonesia.Â
Akan tetapi, terdapat beberapa versi terhadap cerita ini. Samsudin mengungkapkan, "17 Agustus itu hari Jumat, masjid itu hanya ada di sini. Dan semua orang dari Bekasi dan lain-lain pada salat di sini, termasuk Bung Karno katanya. Tapi tidak ada buktinya."
"Versi kedua, Bung Karno salat di sini, Bung Hatta di masjid lain, dan versi ketiga sebaliknya," lanjut Samsudin. Akan tetapi, ia lebih mempercayai versi bahwa Bung Karno tidak salat Jumat di sana karena diamankan setelah sakit perut.
Masjid Jami Matraman juga sering menjadi tempat sholat sejumlah tokoh besar negara yang kemudian kariernya menjadi sukses, termasuk Anies Baswedan yang pernah salat di sana saat masa kampanye menjadi Gubernur DKI Jakarta dan Mahfud MD yang tak lama terpilih menjadi ketua Mahkamah Konstitusi.Â
5. Papan Kayu Jadul Penanda Waktu Salat
Peninggalan berharga sejarah bangsa ini telah direnovasi berkali-kali sejak pertama kali didirikan. Bangunan masjid ini pertama kali dibangun pada masa Kerajaan Mataram sekitar abad ke-17. Namun, tidak banyak yang tersisa dari peninggalan tersebut di masjid ini.
Pada 1930, masjid ini dibangun kembali oleh warga sekitar yang dipimpin oleh seorang arsitek asal Ambon bernama Nyai Patiloy. Tokoh perjuangan H. Agus Salim juga turut terlibat dalam renovasi masjid tersebut. Setelah kemerdekaan Indonesia, masjid ini direnovasi lagi pada 1955 hingga 1960, dan pada 1977.
Kini, Masjid Jami Matraman memiliki tiga lantai yang berfungsi sebagai tempat ibadah dan pendidikan. Meskipun telah dipugas di sana-sini, masih terdapat sejumlah bagian dari masjid yang asli, seperti bentuk jendela dan jadwal salat. "Kaca-kaca di masjid ini semua di bawah tahun 1940," jelas Samsudin.
"Ada juga peninggalan papan kayu yang berisikan petunjuk waktu salat. Ini dari tahun 1932. Jadi setiap perpindahan waktu salat, dulu diubah secara manual dengan tempel nomor kayu di papan itu," lanjutnya. Terdapat juga dua menara setinggi dua meter di sekitar halaman masjid yang diyakini sebagai peninggalan zaman Belanda, yang dahulu digunakan jamaah untuk mengingatkan waktu salat.
6. Ramai Pedagang Takjil
Suasana ngabuburit tampak begitu hidup dan ramai di sekitar Masjid Jami Matraman. Terlihat puluhan tenda putih dan hijau berjejer, menjajakan aneka makanan dan minuman untuk takjil dan buka puasa. Siapa pun yang melintasi Masjid Jami Matraman di sore hari pada masa Ramadhan pasti tidak kuat menahan wangi makanan yang sedang dimasak.
Tenda-tenda pedagang takjil, dari mulai lupis, gorengan, es buah, hingga makanan khas daerah lainnya ada di sana. Juga tenda-tenda yang menjual pakaian. "Bazaar ini remaja Masjid Jami Matraman yang mengorganisasi," ujar Samsudin. "Ada sekitar 45 penjual dari berbagai daerah, bukan sekitar sini saja," lanjutnya.Â
Para penjual tetap harus membayar sewa kepada pihak Masjid. Tentunya, ini menjadi salah satu cara pengurus Masjid Jami Matraman mengumpulkan uang yang berguna untuk biaya operasional masjid. Walaupun ramai pembeli, bazaar tersebut tetap berlangsung rapi, tertib, dan bersih.Â
Â
Â
Â
Â
Advertisement