Liputan6.com, Jakarta - Perintah eksekutif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengakhiri kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir telah memicu kecemasan di antara keluarga imigran. Selama hampir 160 tahun, Amandemen ke-14 Konstitusi AS menyatakan bahwa setiap orang yang lahir di negara tersebut secara otomatis jadi warga negara AS.
Namun sebagai bagian dari tindakan kerasnya terhadap imigran, melansir BBC, Selasa, 11 Februari 2025, Trump bermaksud menolak kewarganegaraan bagi anak-anak migran yang berada di negara tersebut secara ilegal atau dengan visa sementara.
Advertisement
Baca Juga
Langkah tersebut telah menuai pro kontra publik Negeri Paman Sam. Satu jajak pendapat yang dilakukan Emerson College menunjukkan bahwa banyak orang Amerika yang mendukung Trump "melepaskan orang-orang yang menentangnya di posisi teratas."
Advertisement
Kewarganegaraan berdasarkan tempat, atau jus soli, bukanlah "standar secara global." AS adalah salah satu dari sekitar 30 negara, yang sebagian besar di Amerika, yang memberi kewarganegaraan otomatis pada siapa pun yang lahir di wilayahnya.
Hal ini berbeda dengan prinsip yang dianut banyak negara di Asia, Eropa, dan sebagian Afrika. Negara-negara ini menganut asas jus sanguinis. Jadi, anak-anak mewarisi kewarganegaraannya orangtuanya, terlepas dari tempat kelahirannya.
Sementara keluarga imigran di AS merasakan kekhawatiran langsung akan perintah Trump, yang sebenarnya "menantang secara hukum," dua anak Nikita Willy terancam kehilangan paspor Amerika mereka. Sebagaimana diketahui, kedua anak artis Indonesia itu lahir di Los Angeles, membuat mereka berhak atas hukum jus soli.
Kewarganegaraan Ganda
Berdasarkan hukum yang sekarang berlaku, dua anak Nikita Willy memiliki kewarganegaraan ganda: Indonesia dan Amerika. Mereka harus memilih salah satu dari dua kewarganegaraan tersebut saat berusia 18 tahun atau paling lambat 21 tahun, mengutip laman Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI.
John Skrentny, seorang profesor sosiologi di University of California, San Diego, percaya bahwa meski kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir umum di seluruh Amerika, "setiap negara memiliki cara unik masing-masing untuk melakukannya."
"Misalnya, beberapa melibatkan budak dan mantan budak, beberapa tidak. Sejarahnya rumit," katanya. Di AS, pemerintah mengadopsi Amandemen ke-14 untuk membahas status hukum budak yang dibebaskan. Namun, Skrentny berpendapat bahwa hampir semua dari mereka memiliki kesamaan, yaitu "membangun negara-bangsa dari bekas koloni."
"Mereka strategis tentang siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan dikecualikan, dan bagaimana membuat negara-bangsa dapat diatur," jelasnya. "Bagi banyak orang, kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir bertujuan membangun negaranya.
Advertisement
Hukum yang Ditinggalkan Sejumlah Negara
Skrentny menyambung, "Bagi sebagian orang, mereka mendorong imigrasi dari Eropa; Bagi orang-orang ODA, kami memastikan bahwa penduduk asli dan mantan budak, serta anak-anaknya, akan dimasukkan sebagai warga negara, sehingga mereka tidak jadi orang tanpa kewarganegaraan. Ada strategi khusus untuk waktu tertentu, dan waktu itu tidak akan berlalu."
Beberapa tahun terakhir, sejumlah negara telah merevisi undang-undang kewarganegaraannya, memperketat atau membatalkan kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir karena kekhawatiran tentang imigrasi, identitas nasional, dan apa yang disebut "wisata kelahiran" di mana orang mengunjungi satu negara hanya untuk melahirkan bayi mereka di sana.
India, misalnya, pernah memberi kewarganegaraan otomatis pada siapa pun yang lahir di tanahnya. Namun, saat ini, kekhawatiran tentang imigrasi ilegal, khususnya dari Bangladesh, telah menimbulkan pembatasan.
Sejak Desember 2004, setiap anak yang lahir di India hanya jadi warga negara India jika kedua orangtuanya adalah orang India, atau jika salah satu orangtuanya adalah warga negara India, dan orangtuanya tidak dianggap sebagai imigran ilegal.
Banyak negara Afrika, yang secara historis mengikuti jus soli di bawah sistem hukum era kolonial, meninggalkannya setelah mereka memperoleh kemerdekaan. Saat ini, sebagian besar negara Afrika mengharuskan setidaknya satu orangtua jadi warga negara atau penduduk tetap.
Â
Tuai Pro Kontra
Kewarganegaraan bahkan lebih ketat untuk sebagian besar negara Asia, yang utamanya berdasarkan keturunan. Eropa juga mengalami perubahan yang signifikan. Irlandia adalah negara terakhir di kawasan tersebut yang mengizinkan jus soli tanpa batas.
Mereka membatalkan kebijakan tersebut setelah satu jajak pendapat Juni 2004, ketika 79 persen pemilih menyetujui amandemen konstitusional yang mengharuskan setidaknya satu orangtua merupakan warga negara, penduduk tetap, atau penduduk sementara yang sah.
Pemerintah mengatakan, perubahan itu penting karena perempuan asing bepergian ke Irlandia hanya untuk lahiran agar bayi mereka dapat memperoleh paspor Uni Eropa. Beberapa jam setelah perintah Trump, negara bagian dan kota yang dipimpin Demokrat, kelompok hak-hak sipil, dan individu meluncurkan berbagai tuntutan hukum.
Dua hakim federal berpihak pada penggugat, yang terbaru adalah Hakim Distrik Deborah Boardman untuk Maryland. Ia berpihak pada lima perempuan hamil yang berpendapat bahwa penolakan kewarganegaraan anak-anaknya melanggar Konstitusi AS.
Sebagian besar pakar hukum setuju bahwa Trump tidak dapat mengakhiri kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir dengan perintah eksekutif. Pengadilan akan memutuskan masalah ini, kata Saikrishna Prakash, seorang ahli konstitusi dan profesor Sekolah Hukum Universitas Virginia.
"Ini bukan sesuatu yang dapat diputuskan sendiri," tegasnya. Perintah tersebut sekarang ditunda karena kasus tersebut sedang diproses di pengadilan.
Advertisement
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)