Liputan6.com, Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi sektor perbankan di tengah ketidakpastian kebijakan yang diterapkan oleh Donald Trump.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dikenal dengan pendekatan agresifnya terhadap mitra maupun rival dagangnya. Ia kerap memberlakukan atau mencabut tarif impor secara tidak terduga, yang berkontribusi terhadap ketidakpastian global.
Baca Juga
"Trump ini memang unik. Kebijakannya sering berubah dengan cepat. Hari ini ia ingin mengenakan tarif, tetapi keesokan harinya bisa saja berubah karena merasa kurang sesuai," ujar Direktur Keuangan BBCA, Vera Eve Lim, dikutip Sabtu (15/3/2025).
Advertisement
Vera menjelaskan bahwa kebijakan tersebut turut berdampak pada sektor keuangan. Langkah seperti penerapan tarif impor, kebijakan imigrasi, hingga pemotongan pajak umumnya menyebabkan kenaikan harga di AS, yang pada akhirnya mendorong inflasi.
Sebagai akibatnya, The Fed diperkirakan akan mempertahankan suku bunga tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama. Hal ini berbeda dengan ekspektasi yang berkembang pada September tahun lalu.
"Bagi industri perbankan, perbedaan suku bunga ini berdampak langsung. Nasabah yang memiliki dana lebih sejak tahun lalu sudah mulai mencari instrumen investasi dengan imbal hasil lebih tinggi. Saat ini, banyak yang beralih ke obligasi karena menawarkan tingkat yield yang lebih menarik," kata Vera.
Pertumbuhan DPK
Situasi ini juga berpengaruh terhadap pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK). Vera mengungkapkan bahwa pada tahun lalu, pertumbuhan dana murah atau current account saving account (CASA) perbankan hanya sekitar 3%, yang merupakan salah satu level terendah.
Selain itu, ia menambahkan bahwa pertumbuhan deposito hanya berkisar antara 1,3% hingga 1,4%. Kondisi ini memperketat persaingan likuiditas di antara perbankan.
"Akibatnya, biaya dana sulit turun, dan ini akan menjadi tantangan bagi industri perbankan setidaknya dalam satu tahun ke depan," jelasnya.
Tantangan lain yang muncul sejak tahun lalu adalah pelemahan nilai tukar rupiah. Menyikapi kondisi tersebut, BCA menyarankan sejumlah debitur korporasi yang memiliki pinjaman dalam dolar AS untuk mengonversinya ke rupiah.
"Sejak tahun lalu, banyak dari mereka mulai melakukan konversi, dan ini merupakan langkah yang baik. Lindung nilai atau hedging sangat penting karena mengelola risiko depresiasi mata uang bukanlah hal yang mudah," pungkasnya.
Saham Perbankan Babak Belur, Investor Jangan Panik!
Saham perbankan mengalami tekanan dalam beberapa waktu terakhir. Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, kondisi ini tidak terlepas dari aksi jual investor asing yang dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal dan internal.
"Penurunan IHSG dan harga saham perbankan terjadi seiring dengan aksi jual investor asing, yang dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan ketidakpastian pasar keuangan yang masih berlanjut," ujar Dian.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa penguatan ekonomi Amerika Serikat serta kebijakan tarif yang diterapkan di negara tersebut turut menahan proses desinflasi. Hal ini berdampak pada ekspektasi penurunan Fed Fund Rate yang lebih terbatas, sehingga suku bunga tinggi diperkirakan akan bertahan lebih lama.
Selain faktor global, tekanan terhadap saham perbankan juga dipengaruhi oleh kondisi pasar domestik yang masih belum stabil serta penurunan daya beli masyarakat. Meskipun demikian, Dian menegaskan bahwa industri perbankan tetap optimis dalam menghadapi tantangan ini.
"Dari hasil survei terakhir, perbankan tetap fokus pada kinerja fundamental yang solid dan tata kelola yang baik agar kepercayaan investor, baik domestik maupun internasional, tetap terjaga," jelasnya.
Advertisement
Fundamental Perbankan Masih Kuat
OJK juga terus mendorong industri perbankan untuk meningkatkan transparansi dan komunikasi yang proaktif dengan investor, baik retail maupun institusi. Upaya ini bertujuan untuk meminimalisasi kesenjangan informasi (asymmetric information) serta memastikan persepsi pasar sejalan dengan kondisi riil industri perbankan.
"Sebetulnya, perbankan kita masih berada dalam kondisi yang sangat baik secara fundamental. Namun, ada perbedaan antara persepsi pasar dan realitas yang ada. Ini adalah sesuatu yang wajar dalam dinamika pasar modal," tambah Dian.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa perbankan tetap menjadi pilar utama dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Mengingat ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada sektor perbankan (bank-driven economy), maka kinerja industri ini perlu terus dijaga agar tetap stabil dan berkontribusi pada perekonomian.
"OJK bersama perbankan, kementerian, dan lembaga terkait akan terus memantau kondisi ini serta memastikan bahwa kinerja perbankan yang selama ini sangat baik dapat terus dipertahankan dan ditingkatkan," pungkas Dian.
