LFX, Pengembangan Pesawat Tempur Indonesia yang Tertunda

Pemerintah Indonesia saat ini mulai gencar membangun alutsista dalam negeri. Namun, masih ada kendala yang dihadapi. Khususnnya soal dana.

oleh Fahrizal Lubis diperbarui 22 Apr 2014, 08:42 WIB
Diterbitkan 22 Apr 2014, 08:42 WIB
foto-pesawat-tempur-6-140213c.jpg
Sejumlah penerbang turun dari pesawat tempur T-50i Golden Eagle setelah melakukan demontrasi akrobatik di Lanud Halim P.K. Pesawat tempur ini dilengkapi Radar Warning Receivers (RWR) sehingga mampu mendeteksi keberadaan musuh dari segala arah (Liputan6.co

Liputan6.com, Jakarta Dalam menjaga kedaulatan Indonesia, kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista) sangat dibutuhkan dan penting. Pemerintah Indonesia saat ini mulai gencar membangun alutsista dalam negeri, salah satunya program pengembangan pesawat tempur KFX/IFX bersama Korea Selatan.

Ternyata, selain program KFX/IFX, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) juga sudah melakukan penelitian pesawat tempur supersonik yang disebut Lapan Fighter Experiment (LFX). Peneliti Utama LFX, Sulistyo Atmadi mengatakan, penelitiannya melalui program riset Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP) Kemenristek ini untuk mendukung kemandirian pesawat tempur maupun project KFX/IFX.

"Dulunya kita kan diundang Kemenhan membicarakan tentang program KFX/IFX. Tapi kan kita belum terlibat (dalam program KFX/IFX) waktu itu karena Pustekbang Lapan itu baru terbentuk 2011. Kemudian kita mengajukan riset itu melalui PKPP Program peningkatan pendidikan perekayasa lalu kita melakukan riset semacam konfigurasi awal untuk pesawat tempur," ucap Sulistyo saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta Senin 21 April 2014.

LFX sendiri memiliki konsep sebagai pesawat latih-lanjut generasi ke 5, dan dengan kemampuan multi-misi dan dirancang agar bisa sesuai dengan kondisi geografis Indonesia. Sulistyo menambahkan, meski dengan anggaran yang sedikit, ia bersama beberapa teman sesama penelitinya sudah berhasil membuat konsep LFX kecepatan supersonik.

"PKPP itu cuma Rp 250 juta, itu untuk penelitian 5 peneliti untuk satu tahun. Rp 250 juta itu untuk honor penelitinya, pembuatan modelnya, dan sebagainya. Itu dikelola Kemenristek, setiap PKPP itu dijatah Rp 50 juta untuk setiap peneliti. Tapi kita sudah di tahap conceptual design, kita sudah merancang bentuk luarnya dan kita uji dengan terowongan angin dan simulasi CFD," imbuhnya.

Project LFX sudah dilakukan sejak tahun 2012, namun sayangnya program ini tidak berlanjut karena masalah anggaran. Selain itu, hampir seluruh tim Pustekbang Lapan sedang mengembangkan pesawat sipil N-219 bersama PT Dirgantara Indonesia.

"Cuma tahun 2012 saja, sebetulnya tahun 2013 ada penelitian intern untuk membuat model terbangnya, tapi ternyata dananya nggak ada. Selain itu tahun ini PKPP tahun ini sudah tidak ada lagi. Tahun ini sudah tidak ada lagi penelitiannya (LFX), karena hampir semua SDM terlibat di N-219 karena itu kan butuh banyak tenaga dan ini (LFX) juga belum prioritas," urai Sulistyo.

Untuk kelanjutan Program LFX, pria yang telah puluhan tahun berpengalaman di teknologi penerbangan ini menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah. Karena ini merupakan program jangka panjang yang membutuhkan anggaran dan penelitian yang lama.

"Tergantung pimpinan nasional kita, bagaimana? Apakah mau meneruskan IFX kalau KFX-nya nggak jadi. Tapi waktu kita mendisain itu ada narasumber dari dokter ITB yang juga terlibat dalam program bersama Korea dan juga Pak Agung Nugroho, beliau juga terlibat dalam KFX. Jadi sebetulnya walaupun konsepnya beda, tapi hampir miriplah dengan program IFX gitu," tambahnya.

Jika diteruskan, ia berharap pemerintah membantu transfer of technology dengan negara lain agar program LFX bisa berjalan dengan cepat. Selain itu, perlu dibangun konsorsium pesawat tempur nasional.

"Pesawatnya nggak terlalu masalah, tapi instrumentasinya kalau kita mau membuat kelas generasi 5 itu sudah siluman. Kalau siluman itu Korea saja teknologinya belum dikasih sama Amerika. Jadi diberi saja tapi ilmunya tidak dikasih. Tapi kita tetap berusaha, karena kan pesawat terbang itu kan tidak hanya dalam jangka waktu 1-5 tahun. Tapi sampai jangka 15 tahun. Siapa tahu pada saat kita harus membuat, entah itu ada pengetahuan atau sudah ada negara lain yang mampu bekerjasama dengan kita," katanya.

"Kalau untuk sampai tingkat prototipe, tentu diperlukan konsorsium, karena Lapan tidak mampu sendiri. Seperti PT DI untuk industrinya, lalu BPPT karena mereka punya laboratorium, ITB dan sebagainnya. Kalau kita tugasnya sebagai perisetnya aja," jelas dia.

Sementara, dihubungi terpisah, juru bicara Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Silmi Karim menilai program LFX ini bisa dimaksimalkan agar membantu kemandirian dalam negeri. Ia berharap tim peneliti LFX bisa membantu program KFX/IFX, agar kemandirian pesawat tempur dalam negeri bisa segera terlaksana.

"Kita harus melakukan satu sinergi, baik itu penelitian atau pengembangan riset dan teknologi. Sehingga energinya itu bisa dimaksimalkan di satu tujuan. Kalau Kemenhan punya kebijakan KFX/IFX dengan Korea, terus kemudian ada Lapan dengan LFX. Nah ini kan ada 2 Energi, yang kalau dimaksimalkan lebih bagus. Intinya kita perlu memaksimalkan potensi bangsa," ungkap Silmi. (Tanti Yulianingsih)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya