Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah kolonial Belanda bertindak keras kepada para pemimpin Indische Partij, yaitu Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Surjaningrat.
Indische Partij lazim dianggap sebagai partai politik pertama di Hindia Belanda. Berdiri pada September 1912, tujuannya konkret: memisahkan Hindia dari Belanda. Saat dibubarkan pada Maret 1913, anggotanya sekitar 7.000 orang.
Baca Juga
Mereka dianggap mengganggu ketertiban umum. Suwardi, misalnya, menulis Als ik een Nederlander was atau Seandainya Aku seorang Belanda. Isinya kecaman keras atas rencana perayaaan satu abad kemerdekaan Belanda. Puncak perayaan jatuh pada 15 November 1913. Dirayakan di Belanda maupun di negeri-negeri jajahannya.
Pada 18 Agustus 1913, terbit keputusan: Suwardi dibuang ke Bangka, Tjipto ke Banda Neira, dan Dekker ke Kupang. Saat di Bangka, pria yang kelak berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara itu sempat menulis sepucuk surat ke Dekker.
Dalam surat itu, ia menyatakan, "Kita sedang membuat sejarah. Tanah Air meminta korban dan di sinilah kita, siap sedia memberi korban sesuci-sucinya. Tak sekejap mata pun kita kehilangan jiwa satria..."
Tak terlalu jelas, kemudian mereka dipindahkan ke Belanda. Dengan status yang sama: diasingkan. Pada September 1913, mereka berangkat ke Belanda. Suwardi berstatus pengantin baru. Ia baru saja menikah dengan RA Sutartinah, adik sepupunya.
Dalam pengasingan di Belanda, Suwardi aktif dalam kegiatan organisasi pelajar dan mahasiswa Indonesia, Indische Vereeniging. Ia sempat menjadi redaktur majalah organisasi tersebut, Hindia Putera.
Untuk menopang hidup, Suwardi juga menulis untuk sejumlah majalah dan koran di Belanda. Pun mengirim karangan untuk Utusan Hindia yang pernah dipimpin Tjipto Mangunkusumo. Para mahasiswa Hindia Belanda banyak membantu pula dengan aneka cara.
Advertisement
Bersentuhan dengan Budaya Barat
Hal penting dalam pengasingan ini, Suwardi bersentuhan langsung dengan budaya barat. "Pengenalan ini...memperkuat keyakinannya bahwa pengambilan unsur-unsur asing yang bersifat positif akan memperkaya kebudayaan sendiri tanpa melepaskan kepribadiannya sebagai bangsa," tulis penulis biografi Suwardi, Darsiti Soeratman.
Untuk merintis cita-cita memajukan pendidikan di Indonesia, ia juga belajar ilmu pendidikan. Ijazah pendidikan, Europeesche Akte, akhirnya diraih.
Dalam studi soal pendidikan, ia menyerap ide-ide dari sejumlah tokoh pendidikan barat dan timur seperti Maria Montessori, Froebel, John Dewey, serta Rabindranath Tagore. Berbagai aliran pendidikan tersebut diolah dan dijadikan sebagai dasar dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Sejak 17 Agustus 1917, Suwardi tak lagi berstatus orang buangan. Namun, ia belum bisa kembali ke Hindia Belanda karena beberapa alasan. Salah satunya, perekonomian Eropa yang sempoyongan gara-gara Perang Dunia II.
Selama di Eropa, 2 anak Suwardi lahir: Asti Wandansari dan Subroto Aria Mataram. Nama terakhir adalah pemberian Douwes Dekker, teman seperjuangannya. Akhirnya, pada Juli 1919, keluarga itu meninggalkan Belanda, kembali ke kampung halaman.