4 Inkonsistensi Koalisi Merah Putih Dukung Pilkada Oleh DPRD

Para anggota DPR RI dari Partai‎ yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) sepakat menghapus sistem Pemilukada langsung.

oleh Luqman Rimadi diperbarui 14 Sep 2014, 17:23 WIB
Diterbitkan 14 Sep 2014, 17:23 WIB
Koalisi Merah Putih Permanen
Koalisi Merah Putih

Liputan6.com, Jakarta - Para anggota DPR RI dari Partai‎ yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) sepakat menghapus sistem Pemilukada langsung. Dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada yang akan disahkan pada rapat paripurna pada 25 September mendatang, kepala daerah akan dipilih oleh DPRD.

Kekompakkan KMP dalam menyuarakan penghapusan Pilkada langsung dianggap sebagai bentuk inkonsistensi koalisi pengusung Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014 itu dalam menentukan sikap politiknya.

Pengamat pemilu dari Komite Independing Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Jojo Rohi menilai, setidaknya ada 4 sikap inkonsistensi KMP, lantaran sikapnya saat ini menolak Pilkada langsung. Berikut ulasannya:

 

Menolak Sistem Noken

Menolak Sistem Noken

Pertama, saat KMP menolak sistem noken di Papua pada Pilpres 9 Juli 2014 lalu. Padahal, menurutnya, sistem tersebut merupakan bentuk pemilihan tidak langsung yang mekanismenya tidak jauh berbeda dengan Pilkada tidak langsung yang diusung oleh KMP.

"‎Pertama, ‎koalisi merah putih menolak sistem perwakilan dalam noken di Papua, padahal ini bentuk permusyawaratan perwakilan paling murni, dan mereka adukan ke MK. Tapi justru dalam waktu dan tempat yang beda, sistem ini ngotot di dilakukan di Pilkada. Jadi ini seperti kalau sebuah sistem menguntungkan ambil, kalau merugikan, tolak," ujar Jojo dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, (14/92014).

Bentuk inkonsistensi kedua, yaitu ‎alasan Pilkada langsung dianggap menjadi penyebab merebaknya korupsi dilakukan kepala daerah. Walau hal itu benar terjadi, namun menurut JoJo, DPR RI juga tidak bisa menutup sebelah mata kalau Pilkada tidak langsung dapat menjadi arena 'dagang sapi' anggota DPRD.

"Mereka menyoroti praktik politik uang Pilkada langsung, tapi menafikan dagang sapi di DPRD, alasannya kepala daerah abis uang banyak, dia cari uang apa yang dikeluarkan karena biaya tinggi," kata dia.

Ia pun menilai, tanpa menafikan maraknya politik uang saat Pilkada, Pilkada tidak langsung menurutnya tidak akan menghilangkan praktik politik uang. "Dagang sapi di DPRD itu sangat mungkin terjadi, kalau sampai Pilkada tidak langsung diloloskan, maka ini hanya pindah ruang money politics saja, yang biasanya di luar, kemudian dicoba dipindah di kamar-kamar DPRD."

 

Biaya Tinggi

Biaya Tinggi

Yang ketiga, lanjut Jojo, yaitu alasan Koalisi Merah putih yang menganggap biaya‎ Pilkada terlalu tinggi hingga menjadi celah korupsi dan merupakan sumber pemborosan APBD. Padahal satu sisi, anggaran yang diperuntukan bagi DPR RI yang menjadi sumber pemborosan begitu banyak.

‎"Koalisi merah putih nyatakan rawan korupsi biaya tinggi. Ini tak konsisten fakta hari ini, lembaga yang paling korup adalah parlemen di pusat maupun daerah, kalau misalnya parelemen masih jadi ladang korupsi, maka tidak layak DPR katakan eksekutif banyak korupsi, yang ngomong sendiri lembaganya paling korup. Kalau mau dipilih DPRD oke, tapi kalau mereka tidak jadi lembaga paling korup," papar dia.

Keempat, sambung Jojo, ‎semestinya para pengusung Pilkada tak langsung lebih dulu memangkas anggara yang dianggap sumber pemborosan seperti anggaran perjalanan dinas anggota DPR dan dana-dana taktis lainnya.

"Ini tidak konsisten, bahwa sasaran penghematan efisiesi anggaran negara, itu lebih di arahkan pada proses penyelenggaraan negara, bukan hak konstitusi, masyarakat konstituen pemilih. Menjadi tidak fair bila seolah-olah pilkada disebut sebagai biang tidak efisiennya anggaran," tukas Jojo.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya