Komisi II Minta BPK Audit Lebih Mendalam PKPU Pilkada Serentak

Wakil Ketua Komisi II DPR lainnya Ahmad Riza Patria menambahkan, PKPU memang harus dievaluasi, karena terkait dana Pilkada serentak 2015.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 05 Jun 2015, 03:59 WIB
Diterbitkan 05 Jun 2015, 03:59 WIB
Tahapan Pilkada Serentak 2015
Komisi Pemilihan Umum (KPU) meresmikan pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara serentak pada 2015 di Kantor KPU Pusat.

Liputan6.com, Jakarta - DPR RI melalui Komisi II yang membidangi pemerintahan dalam negeri, meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit Komisi Pemilihan Umum (KPU). Setidaknya, 2 pokok utama yang harus diaudit BPK yakni, masalah anggaran dan Peraturan KPU (PKPU) soal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2015.

"Auditnya agak mendalam. Kami minta 10 PKPU diaudit apakah ada pasal-pasal yang bertentangan dengan undang-undang (UU)? Kan DPR biasa meminta audit karena bukan hanya uang, tapi peraturan juga," kata Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (4/6/2015).

Berdasarkan informasi hasil pertemuan yang dilakukan pihaknya, kata Lukman, BPK meminta waktu memenuhi permintaan yang sama dari anggota Komisi II DPR lainnya. "Kita sudah dapat laporan dari hasil pertemuan dengan ketua BPK, yaitu hasil audit anggaran 2014."

"Untuk audit peraturan BPK belum keluar karena mereka (BPK) minta waktu," sambung Lukman.

Terkait KPU harus menekan biaya Pilkada serentak 2015, Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengatakan, lembaga penyelenggara pemilu itu harus menyesuaikan anggaran dengan Peturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri).

"Intinya disesuaikan dengan Permendagri jangan sampai keluar. Tapi, kami belum dapat evaluasi terakhir, ya. Saya kira Panja Pilkada bias minta data pasca-keluarnya Permendagri ini berapa total dana Pilkada," kata Lukman.

Wakil Ketua Komisi II DPR lainnya Ahmad Riza Patria menambahkan, PKPU memang harus dievaluasi, karena terkait dana Pilkada serentak 2015. Sebab mengalami peningkatan hingga 3 kali lipat, yakni dari Rp 3 triliun menjadi Rp 6,7 triliun atau membesar sampai 40%, karena--seperti yang dikatakan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)--beberapa daerah memasukan biaya yang menurut dia tidak penting, seperti kendaraan dan lainnya.

Sedangkan menurut KPU, lanjut Riza, disebabkan karena biaya yang tadinya dibebankan kandidat menjadi beban KPU. "Ketiga, karena masa pelaksanaan Pilkada lebih panjang, sehingga beban pembiayaaan bertambah," sambung Riza.

Menurut Riza, Komisi II DPR sudah mengingatkan Pilkada serentak harus efektif dan efisien. Hali itu pun sudah sampaikan kepada KPU agar ditindaklanjuti serta dilakukan monitoring dan supervisi. "Standarisasi Pilkada dan dibuat Kemendagri dalam bentuk Permendagri," ujar dia.  

Politisi Partai Gerindra ini berharap, setiap KPU daerah dapat menindaklanjuti hasil audit BPK, agar anggaran tidak sampai berdasarkan selera daerah. "Ada yang kebetulan incumbent, umumnya dananya besar melebihi dari yang dibutuhkan. Sebaliknya malah yang incumbent tidak maju lagi, malah dananya kurang seperti yang disampaikan KPU," tutur Riza.

Padahal, kata Riza, perlu ada semangat yang sama antar pemerintah pusat dan daerah dalam menyikapi anggaran, agar masuk dalam sistem efektif, efisien dan sukses.

"Jadi anggaran itu harus diminimalisir. Kita terus minta kepada Kemendagri memonitoring, supervisi, bahwa semuanya sudah tanda tangan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Dan Permen pada masa sidang lalu dan langsung dibuat menteri dan sudah diedarkan ke daerah," tandas Riza.

BPK Bersedia

Ketua BPK Harry Azhar Aziz mengatakan, permintaan DPR untuk memeriksa KPU terkait Pilkada serentak 2015, pihaknya setuju. Terutama mengaudit kinerja dan anggaran KPU soal pelaksanaan Pilkada serentak 2015.

"BPK telah setuju untuk melakukan pemeriksaan dan segera memulai proses pemeriksaan dengan target waktu secepatnya," kata Mantan Ketua Komisi XI DPR ini‎, Rabu 3 Juni 2015.

Di tempat yang sama, Anggota Bidang I BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, hasil audit KPU pada 2014 terdapat potensi kerugian negara Rp 300 miliar pada Pemilu 2013-2014.

"Salah satu temuan adalah ketidakpatuhan terhadap undang-undang dan seperti yang keseluruhan pada 2013-2014. Aspek ketidakpatuhan itu tidak berarti sudah pasti terjadi penyimpangan, sedangkan Rp 325 miliar adalah total keseluruhan," jelas Agung.

Maka itu, Agung menuturkan, pihaknya menghentikan sementara waktu audit tersebut. "Di breakdown lagi karena ada indikasi kerugian negara, potensi kerugian negara, macam-macam. Ketidakpatuhan itu angkanya sebesar itu, indikasi kerugian dibreakdown lagi," tandas Agung.

BPK sebelumnya sudah menyampaikan hasil audit anggaran KPU 2013-2014 terkait Pileg dan Pilpres ke DPR melalui rapat paripurna DPR Rabu 3 Juni lalu.

Harry mengatakan, pihaknya memberi opini wajar dengan pengecualian atas laporan keuangan KPU 2014. "Pengecualian tersebut mencakup akun-akun kas di bendahara pengeluaran, persediaan, gedung dan bangunan serta konstruksi dalam pengerjaan (KDP)," kata Harry usai Rapat Paripurna DPR terkait audit BPK. (Rmn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya