Adnan Buyung Nasution, Pendekar Hukum Tiga Zaman

Pria yang memiliki ciri khas rambut putih ini pernah menjadi Ketua Tim Independen Verifikasi Fakta konflik KPK-Polri.

oleh Liputan6 diperbarui 23 Sep 2015, 12:06 WIB
Diterbitkan 23 Sep 2015, 12:06 WIB
Suasana Berkabung di Rumah Duka Benjamin Mangkoedilaga
Pengacara Senior Adnan Buyung Nasution terlihat melayat almarhum mantan hakim agung Benjamin Mangkudilaga di rumah duka di Jakarta Selatan, Kamis (21/5/2015). Benjamin‎ meninggal karena sakit jantung yang dideritanya. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Pengacara senior Adnan Buyung Nasution tutup usia. Dia mengembuskan napas terakhirnya di usia 81 tahun pada Rabu 23 September pukul 10.14 WIB setelah dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan selama beberapa hari.

Sepak terjang Adnan Buyung dalam dunia hukum tidak perlu diragukan lagi. Pria kelahiran Jakarta pada 20 Juli 1934 itu malang melintang dipercaya menangani kasus-kasus besar di negeri ini.

Pria yang memiliki ciri khas rambut putih ini pernah menjadi Ketua Tim Independen Verifikasi Fakta konflik KPK-Polri dan Proses Hukum atas kasus pimpinan KPK Chandra M Hamzah-Bibit Samad Rianto yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tim ini berisi 8 orang dan kerap disebut Tim 8. Di masa SBY ini juga, pada 2007-2009, Buyung menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).

Pria yang bernama asli Adnan Bahrum Nasution ini juga pernah menjadi pengacara pegawai pajak sensasional Gayus Halomoan Tambunan. Menurut Buyung kala itu, Gayus harus dibela karena pasal yang disangkakan sangat berat seperti pencucian uang, penggelapan dan pengemplang pajak.

Keputusanya membela Gayus kala itu dipertanyakan. Karena dia dianggap membela koruptor. Begitu juga kala menjadi pengacara mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam kasus Hambalang. Dia menilai, kasus Anas sarat akan muatan politik.

Semasa muda hingga tutup usia, Adnan Buyung dikenal juga sebagai aktivis. Salah satu organisasi yang didirikannya adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan menjabat sebagai Direktur/Ketua Dewan Pengurus pada 1970-1986.

Lulus sarjana muda, Buyung bekerja sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta. Tapi, aktivismenya jalan terus. Bersama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) ia ikut turun ke jalan, menentang Orde Lama. Gara-gara kegiatan ini, ia sempat dirumahkan selama satu setengah tahun. Ia tidak diberi pekerjaan dan tidak diberi meja di kantor. Buyung dituduh antirevolusi, anti-Manipol-Usdek.

Kemudian ia mendapat surat pindah tugas ke Manado. Buyung tidak sreg dengan pemindahan itu. Akhirnya, pada 1968, Buyung mengundurkan diri dari korps baju cokelat. 

Sekitar setahun ia menganggur kemudian membentuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Untuk mendukung kerja LBH, Buyung membuka kantor pengacara. Kantor pengacaranya merupakan salah satu kantor pengacara terbaik di Indonesia. Sementara itu, LBH--kemudian menjadi YLBHI dan membawahi sejumlah LBH-- pun tumbuh besar dan kemudian dikenal sebagai penjaga HAM dan demokrasi.

Ide pendirian LBH berawal dari karir sebagai jaksa. Ketika menjadi jaksa dan bersidang di daerah-daerah terpencil, ia melihat orang-orang yang menjadi terdakwa hanya pasrah menerima dakwaan. Dari sana ia berpikir, orang-orang kecil buta hukum itu perlu ditolong. "Bagaimana kita mau menegakkan hukum dan keadilan kalau posisinya tidak seimbang. Di situ saya berpikir, harus ada orang yang membela mereka," katanya seperti dikutip TEMPO.

Buyung menempuh pendidikan di SMA Negeri 1 Jakarta. Dia kemudian melanjutkan ke Institut Teknologi Bandung (ITB). Tidak bertahan lama, dia kemudian menempuh pendidikan di Fakultas  Hukum, Ekonomi, dan Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada. Dia juga menempuh pendidikan di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Indonesia. Ia meraih gelar doktor di Universitas Utrecht, Belanda.

Dari berbagai sumber yang dikutip Liputan6.com, masa kecil Buyung dilakoni sarat cobaan. Sejak usia 12 tahun, Buyung bersama adik satu-satunya, Samsi Nasution, menjadi pedagang kali lima (PKL) menjual barang loakan di Pasar Kranggan, Yogyakarta.

Di pasar itu pula, ibunya, Ramlah Dougur Lubis berjualan cendol. Sementara itu, ayahnya, R Rachmat Nasution bergerilya melawan Belanda dalam Agresi Militer II pada 1947-1948. Sejak kecil, ia menjadikan ayahnya sebagai teladan.

Adnan Buyung meninggalkan 4 orang anak, yaitu Alm. Iken Basya Rinanda Nasution, Maully Donggur Rinanda Nasution, Rasyid Perkasa, Alam Rinanda Nasution, dan Pia Ariestianan Rinanda Nasution.  Selamat jalan Bang Buyung... (Mvi.Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya