CSIS: Pembalakan Liar Sumber Utama Kebakaran Hutan

Masalah pembakaran hutan sudah terjadi sejak 1960-an.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 25 Okt 2015, 21:56 WIB
Diterbitkan 25 Okt 2015, 21:56 WIB
Kayu hasil pembalakan liar yang disita Direktorat Kepolisian Air Polda Riau di Sungai Dakal Pulau Padang, Meranti, Riau. Ratusan batang kayu tual diduga akan diselundupkan pelaku ke Malaysia.(Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Kebakaran hutan yang menyebabkan bencana asap di sejumlah wilayah di Indonesia merepotkan pemerintah. Sejumlah upaya untuk menanganinya tidak berhasil, pemerintah pun kalang kabut. Walaupun, polisi telah menangkap sejumlah orang dan perusahaan perkebunan yang diduga kuat biang keladi kebakaran tersebut.

Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi mengatakan kebakaran hutan sulit diatasi lantaran pemerintah dahulu tak serius menangani masalah pembalakan liar. Menurut dia, masalah pembakaran hutan sudah terjadi sejak 1960-an.

"Masalah asap ini sudah dari tahun 60-an karena illegal logging. Itu bayangkan, terus ditebang. Negara sendiri yang merusak ini," ujar Kristiadi di Jakarta, Minggu (25/10/2015).

Selain itu, sumber masalah datang karena adanya kepentingan politik calon kepala daerah yang menjadikan jual beli lahan di daerah. Kebiasaan ini menjadi sangat lazim di kalangan masyarakat.

Oleh karena itu, pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla harus mengupayakan memberikan sanksi bukan hanya ke perusahaan, tetapi juga kepada kepala daerah.

"Pemerintah pusat harus memperjelas politik negara soal pelestarian lingkungan hidup. Pemerintah harus memberi sanksi tegas pada kepala daerah yang tidak mengikuti aturan," tegas Kristiadi.

Pembalakan di Papua

Sementara Juru Kampanye Hutan Forest Watch Indonesia, M Kosar menegaskan, salah satu kasus illegal logging yang sedang menjadi sorotannya saat ini adalah kasus Labora Sitorus. 

"Jika sekarang ada indikasi penyelundupan kayu Merbau asal Papua ke pelabuhan di Gresik, Jawa Timur, itu tidak aneh. Karena kasus semacam ini sering terjadi," ungkap Kosar.

Dia pun menduga ada peran dari sejumlah pejabat daerah yang digunakan sebagai 'boneka' masuknya penyelundupan kayu Merbau.

"Saya yakin ada oknum-oknum yang lebih besar di atasnya (pejabat daerah)," tegas Kosar.

Selain merusak lingkungan, penyelundupan kayu menyebabkan kerugian negara yang sangat besar. Sebab, para pelaku dipastikan tidak memberikan kontribusi keuangan kepada pemerintah, baik dalam bentuk pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) serta hilangnya nilai tambah dari pengolahan kayu.

Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, Penerimaan Negara Bukan pajak di sektor kehutanan belum optimal dipungut oleh pemerintah.

"Hasil PNBP dari dana reboisasi produksi kayu masih belum didapatkan secara optimal," jelas Wakil Ketua KPK Zulkarnain.

Hasil kajian bidang pencegahan KPK menunjukkan adanya potensi kerugian negara sebesar Rp 5 triliun setiap tahunnya. Jika ditotal selama 12 tahun, kerugian negara mencapai Rp 60 triliun. (Bob/Ado)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya