Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi VI DPR Refrizal mengatakan, rencana pemerintah melakukan pungutan subsidi dana ketahanan energi telah memunculkan polemik baru di masyarakat.
Menurut Refrizal, kado akhir tahun pemerintahan Jokowi dalam menyesuaikan harga premium dan solar akibat turunnya harga minyak dunia menjadi tidak sempurna dengan munculnya kebijakan Menteri ESDM tersebut.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menuturkan, bahwa pemerintahan saat ini gagal memahami terhadap ajaran Trisakti Soekarno.
"Hal yang sangat aneh di era Jokowi yang mengusung Trisakti dalam menjalankan pemerintahan malah meminta subsidi dari rakyatnya. Ini namanya ngawur," ujar Refrizal lewat keterangan tertulisnya, Selasa (29/12/2015).
Dalam mengelola pemerintahan, kata Refrizal, pemerintah harus patuh terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku agar proses ketatanegaraan berjalan sebagaimana mestinya.
Baca Juga
Sebab, kata Refrizal, dalam sistem keuangan negara, prinsip dasar memungut dan mengeluarkan (keuangan negara) harus melalui UU. Karena bila sebuah kebijakan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) tidak berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan maka dapat dipastikan kebijakan tersebut melanggar hukum.
"Seandainya pemerintah tetap ingin memungut dana ketahanan energi, maka pungutan tersebut harusnya ditujukan kepada kontraktor minyak dan gas bumi, bukan memungut dari rakyat. Jadi cabut aturan itu," tegas Refrizal.
Dasar hukum pemerintah dalam memungut Dana Ketahanan Energi adalah Pasal 30 UU 30/2007 dan pasal 27 PP 79/2014. Padahal jelas di konsideran menimbang PP 79/2014, dimana secara spesifik disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah tersebut diterbitkan untuk melaksanakan pasal 11 ayat (2) UU 30/2007 tentang Energi bukan aturan turunan dari pasal 30 UU 30/2007 sebagaimana dimaksud.
"Jadi kebijakan memungut subsidi dari rakyat untuk dana ketahanan energi ini seperti jaka sembung naik ojek, gak nyambung jek. Gak nyambung antara dasar hukum dengan kebijakan yang dibuat," tandas Refrizal.