Kisah Pilu 3 Bocah Dituduh Maling

Jalanan berlubang dan banyak batu itu mereka lewati dengan sepeda motor. Tiba-tiba sepeda motor melindas batu.

oleh Muslim AR diperbarui 20 Jan 2016, 21:02 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2016, 21:02 WIB
Penganiayaan Anak
Menurut penuturan Yani di Mapolrestro Jakarta Timur, alasan menganiaya Diva karena bocah itu sudah berbuat onar sejak bangun tidur pukul 05.00 WIB.

Liputan6.com, Jakarta - "Bakar-bakar, bakar aja," teriak seorang lelaki membawa kayu dan jerigen di tangannya.

S (13 tahun) langsung menutup mata dan wajah dengan lengan kanan. Dia hanya berdoa pada Tuhan.

Bahunya berat, rasanya patah, sedangkan leher sakit sekali karena diikatkan dengan baju kaos ke batang kayu. Punggungnya perih, panas rasanya.

Minggu sore itu jadi hari nahas buat S bersama 2 temannya, H (13 tahun) dan R (21 tahun). S hendak mengantar temannya ke Depok, mereka melewati jalan permukiman warga agar lebih dekat.

Persisnya di Jalan Nobel, RT 03, RW 02, Bojong Baru, Depok, Jawa Barat.

Mereka bertiga berboncengan. S duduk di tengah, R mengendarai sepeda motor, dan H duduk paling belakang sambil memegang minuman ringan.

Jalanan berlubang dan banyak batu itu mereka lewati dengan sepeda motor. Tiba-tiba sepeda motor melindas batu.

H yang sedang asyik minum tersedak. Seketika minumannya terpental ke tembok pagar rumah bercat hijau.

"Maliiiing," teriak seorang lelaki yang berlari dari dalam rumah. Dia bercelana pendek, tergesa-gesa keluar.

Rasa hati bukan meneriaki S dan teman-temannya, sepeda motor pun tetap melaju pelan.


Tapi saat S menoleh ke belakang, puluhan sepeda motor dan orang-orang sudah memburu mereka. Gas pun digeber untuk menyelamatkan diri.

Namun di lampu merah mereka terhenti. Lelaki yang meneriaki maling tadi menghampiri. H turun. Belum sempat berbicara, lelaki tadi langsung meninju wajah dan perutnya.

H terjungkal. Bajunya ditarik lelaki dengan potongan rambut tentara itu. Dipukul lagi, kali ini wajah dan dadanya. H dibawa lelaki itu, S dipaksa naik sepeda motor lainnya, menyusul.

Di samping kiri rumah tempat minuman ringan H terlempar tadi, orang sudah ramai. Dari seberang jalan, S melihat H sudah terduduk, wajahnya sudah bengkak-bengkak.

Tak sempat melihat dengan jelas, sebuah pukulan menghantam badan S. Limbung kena pukulan, dia pun roboh. Bajunya dibuka, kalung yang dia pakai dirampas.

S dipaksa membelakangi pria itu. "Plak, plak," punggung S panas. Kalung baja putih milik S jadi cambuk oleh lelaki yang memukuli H.

"Kamu anak mana? Maling ya!?" tanya lelaki berbaju kutang biru dongker itu.

Wajah S ditinju, kepalanya ditempeleng dan bahunya diinjak. Ia tetap mencambuki S dengan kalung. Tak puas, badannya ditarik.

Baju yang dipakai S diikatkan ke leher dan sebatang kayu.

"Enggak, pak. Saya anak sini, saya bukan maling," jawab S terbata-bata.

"Jangan bawa nama kampung sini," ketus pria itu membarengi tinju ke perut S.

"Rumah saya di sana pak, saya anak sini," suara S susah keluar, ikatan di lehernya terlalu kuat.

"Saya tak ingat lagi, berapa lama ia dan orang lain memukuli saya. Saya sudah menutup wajah dengan lengan bang. Sampai mama datang, baru saya berani melihat sekitar," ujar S.

"Ya Allah, apa yang harus saya katakan pada orangtua H, anaknya buta setelah pulang dari rumah saya," ujar S membatin, melihat H babak belur.

Mengadu

S, H, dan R belum lama pergi dari rumah. W yang tengah menyapu kamar terkejut saat R tiba-tiba menggedor pintu rumahnya. Ia terengah-engah.

"Bu, S dan H dipukuli orang, kami difitnah maling, di sana bu, di depan," ujar R mengadu kepada W.

W bersama suaminya berlari dari rumah, menuju lokasi yang dimaksud R.

Tiba di lokasi, orang masih ramai. S diikat lehernya di batang kayu, H terduduk dengan wajah bonyok.

"Saya orangtuanya, kenapa anak saya dipukuli!?" tanya W kepada lelaki berpostur tegap itu.

"Dia maling," jawab lelaki itu.

"Kamu maling nak?" tanya W yang dijawab S dengan gelengan kepala.

"Kenapa anak di bawah umur ini dipukuli, pak?" tanya W sambil terisak.

W berusaha membuka ikatan leher S. Perempuan paruh baya itu juga membantu H berdiri. Dia merangkul 2 remaja itu ke rumahnya.

Jelang magrib, seorang bidan datang. "Anak ibu harus di rontgen, nanti kasih kompres di wajahnya," pesan bidan.

Pak RT dan Bimas pun datang. Mereka menanyakan apakah kejadian ini akan dilaporkan atau cara lain.

"Saya masih bingung pak, anak saya dipukuli, satu lagi anak orang. Nanti dulu, saya hubungi keluarga dulu," ujar W.

Diabaikan

S, dan H adalah korban kekerasan dan penganiayaan oknum TNI berpangkat kopral. Keduanya bersama keluarganya baru angkat bicara saat mengadakan konferensi pers di LBH Jakarta, Rabu (20/1/2016) siang.

Kedua pelajar SMP berumur 13 tahun itu didampingi orangtua dan teman sekolahnya. Mereka ramai-ramai mendatangi LBH Jakarta, membawa spanduk bertuliskan "Rakyat Mencari Keadilan".

Kejadian nahas itu terjadi pada Minggu 13 Desember 2015 lalu. Sehari setelah penganiayaan itu, dua keluarga yang jadi korban pemukulan oknum TNI ini, memulai cerita panjang perjuangan mereka mencari keadilan.

W, ibu S terisak-isak. Ia susah menghela nafas, kala menceritakan kejadian dugaan penganiayaan kepada putranya itu di LBH Jakarta. Dia tak mau mengingatkan lagi peristiwa itu.

"Saya tak sanggup lagi lewat jalan depan rumah orang yang mukuli anak saya, pak. Tak bisa saya lupa, S lehernya diikat ke batang kayu, bajunya dibuka," ucap perempuan 40 tahun itu.

"Di badan anak saya, biru-biru. Matanya merah, wajahnya biru. Saya lihat H sudah pecah matanya," sambung W.

"Kami sudah melapor ke Polsek Bojong Gede, Polres Bogor, dan Polres Depok. Tapi kami dipimpong (dioper-oper) selama 2 minggu lebih," ujar H, ayah S.

H mengaku putus asa, karena laporannya selalu ditolak. Bahkan sampai ke Polisi Militer Angkatan Laut (POM AL), mereka malah mengajak berdamai.

"Kami hanya ingin mencari keadilan," timpal W, sesenggukan.

Arif Maulana selaku pengacara bocah-bocah itu, menyayangkan sikap kepolisian dalam membantu pelaporan.

Bahkan, menurut Arif, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) cenderung lamban menangani. Arif yang merupakan pengacara publik di LBH Jakarta, telah merumuskan jalur hukum yang akan mereka tempuh.

"Kami kembali bangun komunikasi dengan KPAI, besok dijadwalkan ada pertemuan dan mem-follow up laporan di POM AL," pungkas Arif.

Bunga Siagian, pengacara publik LBH Jakarta mengatakan, dalam kasus yang dialami H dan S, LBH akan membawanya ke proses hukum.

"Jangan sampai ada imunitas terhadap oknum aparat negara yang menganiaya anak-anak. Apalagi sebagai aparat harusnya bisa melindungi warga terutama anak-anak," ujar Bunga.

LBH Jakarta juga akan melapor ke presiden dan menteri, serta koordinasi dengan jaringan anak.

"Kenapa kekerasan terhadap anak bisa mencuat di waktu yang bersamaan. Saya khawatir anak-anak lain akan menjadi korban berikutnya," ucap Arif.

Transparan

Menanggapi kasus ini, Kadispenal Laksmana Muda TNI Muhammad Zainuddin menyayangkan keterlambatan laporan dugaan penganiayaan ini ke POM AL.

"Kenapa tidak waktu itu langsung laporan. Mohon disampaikan kepada masyarakat, siapa pun yang merasa dianaiya silakan laporkan ke POM AL," ujar Zainuddin saat dikonfirmasi, Rabu sore.

"Sehingga pelakunya bisa diproses. Semestinya kalau kejadian 13 (Desember) seharusnya segara dilaporkan," sambung dia.

Dia berjanji kasus ini tidak akan ditutup-tutupi. Namun, ia mengaku belum tahu dugaan penganiayaan oleh prajurit angkatan laut itu.

"Nanti kita akan selediki dicek anggota mana. Kalau memang betul anggota, tentunya kita akan proses. Kita terbuka, tidak ada lagi ditutupi, kalau memang kita salah kita akan proses sesuai ketentuan yang ada. Saya cek ke sana dulu, nanti kita tindak lanjuti," ujar Zainuddin.

Dia juga mengimbau agar masyarakat tak takut melaporkan arogansi atau pun kenakalan para prajurit TNI. "Saya selaku Kadispenal menyampaikan, apabila ada yang dirugikan, secepatnya segera melapor ke POM AL."

"Supaya ditindaklanjuti. Jadi kita terbuka siapa pun yang merasa dirugikan oleh prajurit kita, silakan lapor dan kita akan tindak apabila betul melakukan pelanggaran," Zainuddin menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya