Liputan6.com, Jakarta - Revisi Rancangan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi perhatian publik. Banyak pro dan kontra di dalamnya.
Meskipun begitu, berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia, publik melihat Presiden Joko Widodo atau Jokowi masih memiliki komitmen besar untuk penguatan KPK.
"Masyarakat merasa sangat atau cukup puas atas kinerja Presiden Jokowi dalam menjalankan pemerintahan, walaupun ada revisi UU KPK," ujar peneliti senior Indikator Politik Indonesia, Hendro Prasetyo di kantornya, Jakarta, Senin (8 Februari 2016).
Berdasarkan hasil survei yang digelar pada 18-29 Januari 2016 dengan melibatkan 1.500 responden usia 17 tahun ke atas di seluruh Indonesia serta margin of error sekitar 2,5 persen, sebanyak 7,4 persen sangat puas dengan kinerja Jokowi, dan 59,1 persen cukup puas.
Sedangkan yang kurang puas tercatat 28,7 persen, tidak puas sama sekali 2,3 persen, dan sisanya 2,5 persen tidak menjawab.
Dari hasil survei juga terungkap, PDIP menjadi partai yang paling dipilih dibandingkan 11 partai lainnya. "Jika pemilu diadakan sekarang, PDIP mendapatkan respons positif yang paling banyak dipilih publik, yaitu 24 persen suara," ungkap Hendro.
Â
Baca Juga
Di tempat yang sama, Juru Bicara Presiden Johan Budi mengatakan, komitmen Presiden Jokowi kepada KPK sudah dibuktikan sejak awal pemerintahannya.
"Ketika Presiden saat kampanye, beliau ingin memperkuat KPK. Langkah konkret pun dilakukan. Di mana anggaran langsung ditambah Rp 1,2 triliun per 2015. Kedua, program pemerintah dilekatkan kepada KPK. Ketika dia pilih menteri, Presiden ingin dengar second opinion. Artinya, Presiden dengar suara KPK juga," jelas Johan.
Masih kata Johan, pemahaman Presiden juga utuh soal revisi UU KPK. "Presiden sih jelas. Saya sempat ketemu. Jika revisi dimaksudkan untuk memperlemah maka pemerintah akan tarik diri," tegas Johan.
Senada, politikus PDIP Maruarar Sirait juga menegaskan, sebagai salah satu inisiasi pembentuk KPK, tidak mungkin partainya ingin melemahkan lembaga pemberantas korupsi itu.
"KPK itu kan dibuat di zaman Ibu Mega, dan tidak ada satu anggota DPR dan fraksi yang menyebutkan akan melemahkan KPK," ungkap Maruarar.
Namun, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti menyatakan, Presiden dan PDIP harus mulai hati-hati.
"PDIP dan Presiden harus hati-hati. Karena dari para juru mereka di DPR, kan terkesan ingin merevisi dari PDIP. Kalau tekanan itu terus terjadi, bisa saja PDIP akan menerima persepsi dari pencetus KPK menjadi membubarkan KPK. Ini harus kita perhatikan," tutup Ikrar.
Advertisement