BNPT: Penanggulangan Terorisme Jangan Terjebak Kematian Siyono

Kata Tito, penanganan kasus terorisme harus dilihat kembali ancamannya.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 14 Apr 2016, 07:06 WIB
Diterbitkan 14 Apr 2016, 07:06 WIB
20160413-Komisi-III-RDP-dengan-BNPT-Jakarta-JT
Kepala BNPT Komjen Pol Tito Karnavian memberikan keterangan kepada awak media usai mengikuti RDP dengan Komisi III DPR di Jakarta, Rabu (13/4). RDP membahas Pelaksanaan tupoksi BNPT serta kendala dan hambatan yang dihadapi. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Tito Karnavian mengimbau, jangan sampai kematian Siyono, terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah, melemahkan penegakkan hukum dan penanggulangan terorisme di Tanah Air.

"Kami mohon kiranya isu Siyono jangan sampai melemahkan penegakan hukum dan penanggulangan terorisme. Karena gelombangnya ada untuk bubarkan Densus 88," ujar Tito saat RDP dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu 13 April 2016.

"Dan hal itu pasti ditangkap dengan manis oleh para terorisme, jadi jangan sampai terjebak," sambung dia.

Selain itu, kata Tito, penanganan kasus terorisme harus dilihat kembali ancamannya. Jangan sampai masyarakat di Tanah Air yang terbelah-belah ini, menjadi korban kelompok terorisme.

Mantan Kapolda Metro Jaya itu mengungkapkan, BNPT juga terus gencar melakukan sosialisasi bahaya terorisme di masyarakat.

"Kami akan terus lakukan. Yang jelas, kegiatan sosialisasi ini kepada seluruh elemen masyarakat baik ke HAM, media, dan memberikan penjelasan, karena masalah terorisme sangat kompleks dan jaringannya internasional. Penyelesaiannya pun harus lokal, regional, dan gelombang," jelas Tito.

Sementara terkait revisi UU Terorisme, Tito mengatakan, jika terjadi kekerasan terhadap seseorang terduga teroris, maka bisa terkena UU HAM.

"Kita enggak merujuk satu agama, selama dia ancaman kekerasan, terorisme bukan satu agama saja. Tetapi juga misalnya ada di Jepang yaitu agama Budha, terus di India dan Oklahoma," kata dia.

"Sedangkan di Indonesia, kebetulan saja agamanya mayoritas Islam tapi ada juga yang bukan Islam," imbuh Tito.

Tito mencontohkan bom di Mall Alam Sutera yang pelakunya beragama non-muslim, tetapi malah membunuh 17 orang Islam.

"Di sana (kasus bom Mall Alam Sutera) kita kenakan UU Terorisme," kata dia.

Karena itu, Tito meminta dukungan DPR, khususnya Komisi III dan seluruh anggota dewan, untuk mendukung serta terus melanjutkan perjuangan menanggulangi terorisme.


"Dan kita sepakat ini ancaman terorisme enggak akan selesai, karena terpengaruh dinamika internasional, ISIS, dan masalah ini bisa terus terjadi. Kita monitor, berkontribusi lewat jalur diplomasi, dan kita harus tangani ini bersama," papar dia.

"Dukungan dan komitmen dari semua, agar BNPT enggak jadi anak hilang lagi," imbuh Tito.

Dugaan Pelanggaran HAM

Tewasnya Siyono memunculkan dugaan adanya unsur pelanggaran hak asasi manusia (HAM), yang dilakukan Densus 88 Anti Teror.

Namun, Tito tidak mau menarik kesimpulan. Menurut dia, masalah tersebut bagian dari ranah Densus 88.

"Masalah Siyono ini soal Polri, karena domainnya Densus 88. Kemudian sudah ada pemeriksaan dan penyelidikan," kata dia.

Tito menjelaskan dari kepolisian belum ada bukti asal luka yang ada di tubuh Siyono, sehingga biarkan lah aparat bekerja terlebih dahulu

"Belum ada bukti asal luka di kepala itu darimana, apakah karena berkelahi atau apa. Biarkan polisi cocokan hasil forensik dengan hasil Komnas HAM," ucap Tito.

"Saya enggak mau berkomentar jauh soal itu, menjelaskan detail soal Siyono. Karena kami BNPT, Densus 88 itu otoritas kepolisian bukan otoritas kami," tandas Toto.

Komisi III DPR sebelumnya membahas kematian Siyono dengan Komnas HAM, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras).
Dalam kesempatan itu, Komnas HAM dan Muhammadiyah pun menjelaskan kronologi pelaporan yang dilakukan istri Siyono, Suratmi.

Dari kronologi tersebut, Komnas HAM menilai dari perspektif hukumnya bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan perlakuan hukum sama.

"Dari perspektif rule of law Pasal 27 ayat 1 (UUD 1945), tiap warga negara berhak memperoleh perlakuan hukum yang sama. Melihat hasil temuan, pemantauan, dan investigasi oleh Komnas HAM terhadap kejanggalan-kejanggalan terkait berbagai prosedur pelaksanaan tugas polisi," pungkas Ketua Komnas HAM M Imdadun Rahmat.

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya