Liputan6.com, Jakarta - Penangkapan Siyono sebenarnya tak berbeda dengan penangkapan lainnya terhadap terduga teroris yang dilakukan Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88) Polri. Namun, nama Siyono menjadi buah bibir karena Densus 88 ditengarai menyalahi prosedur, sehingga menyebabkan kematian ayah dari lima anak itu.
Dugaan kalau telah terjadi salah prosedur dan kematian yang tak wajar makin menguat, setelah jasad Siyono diautopsi. Upaya ini dilakukan PP Muhammadiyah dan Komnas HAM bersama tim forensik RS PKU Muhammadiyah Solo, Jawa Tengah. Ikut pula dokter dari kepolisian dalam autopsi ini.
Komisioner Komnas HAM Siane Indriani mengatakan, berdasarkan hasil yang diterima dari tim forensik, ditemukan fakta bahwa jenazah Siyono belum pernah diautopsi sebelumnya. Kematian Siyono diduga akibat benturan benda tumpul di rongga dadanya.
Advertisement
"Kematian Siyono diakibatkan benda tumpul di bagian rongga dada, ada patah tulang di iga bagian kiri, ada lima," ujar Siane saat jumpa pers terkait hasil autopsi jenazah Siyono di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin 11 April 2016.
Selain itu, ada satu tulang iga di bagian kanan korban yang juga patah. "Tulang dada patah. Ini yang kemudian ke arah jantung dan mengakibatkan kematian yang cukup fatal. Titik kematian di situ," jelas Siane.
Dia mengakui terdapat luka di bagian kepala Siyono, namun tak menyebabkan pendarahan hebat. Dari hasil itu, sangat tidak mungkin kematian terduga teroris itu karena benturan di kepalanya.
"Jadi memang ada luka di bagian kepala tapi tidak menyebabkan kematian. Di situ tidak terlalu banyak pendarahan," ucap Siane.
Padahal, sebelumnya tim dokter dari Mabes Polri menyatakan Siyono tewas akibat benturan di kepalanya. Berdasarkan hasil visum di RS Polri Kramat Jati, polisi juga menemukan luka memar di tangan dan kaki Siyono.
Tak Ada Perlawanan
Menurut polisi, sebelum tewas Siyono sempat melawan petugas. Polisi bahkan telah memeriksa petugas tersebut dan menemukan sejumlah luka diduga akibat duel dengan Siyono.
Namun pernyataan itu dibantah Siane. Berdasarkan hasil autopsi, tidak ditemukan adanya luka defensif di tangan dan kaki Siyono. Hal itu, kata Siane, menunjukkan bahwa tak ada perlawanan dari Siyono sebelum dia meninggal.
"Dari seluruh rangkaian autopsi ini, (menunjukkan) tidak ada perlawanan dari luka-luka yang diteliti. Tidak ada luka defensif dari Siyono," terang dia.
Ia menduga, Siyono dalam posisi duduk bersandar saat menerima benturan benda tumpul di dadanya hingga mengakibatkan sejumlah tulang rusuk patah. Indikasi itu terlihat dari adanya luka memar di bagian punggung Siyono.
"Pada bagian tubuh belakang ada indikasi memar. Jadi ada analisis sementara itu dilakukan dengan menyandar. Di bagian punggung dilakukan dengan posisi yang ada bantalan, sehingga menimbulkan tekanan dari depan," ucap Siane.
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menambahkan, ada empat poin kesimpulan dari hasil autopsi Siyono.
Pertama, tidak benar polisi telah mengautopsi jenazah Siyono sebelumnya. Kedua, penyebab kematian yang disebut-sebut akibat luka di kepala juga tidak terbukti.
Ketiga, ditemukan beberapa tulang rusuk yang patah dan mengakibatkan pendarahan hebat di dada dan jantung Siyono. Pendarahan itu diduga kuat sebagai penyebab tewasnya Siyono.
"Keempat, tidak ditemukan indikasi perlawanan dari korban. Misal tidak ada luka tangkis yang bentuknya perlawanan. Jadi empat poin itu menjadi poin penting yang selama ini disampaikan kepolisian," ujar Dahnil.
Kematian Versi Polisi
Siyono sendiri ditangkap Densus 88 Antiteror Polri di Dusun Brengkuan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten, Jawa Tengah, Rabu 9 Maret 2016. Bahkan, kediamannya yang digunakan untuk TK Roudatul Athfal Terpadu (RAT) Amanah Ummah ikut digerebek polisi.
Akibat penggerebekan ini, puluhan anak TK menangis ketakutan, sehingga kegiatan belajar mengajar terpaksa dihentikan dan murid dipulangkan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Agus Rianto mengatakan, penangkapan Siyono merupakan pengembangan dari terduga sebelumnya, inisial T alias AW, karena membawa senjata api dan setelah diperiksa dia mengaku senjata api sudah diserahkan ke orang lain.
Siyono saat itu dibawa 2 anggota Densus untuk menunjukkan lokasi penyimpanan senjata api. Terduga teroris itu diantar berkeliling menggunakan mobil ke daerah Tawangsari, Klaten.
Awalnya, Siyono bersikap kooperatif dan menunjuk sejumlah lokasi tempat persembunyian senjata tersebut. Tetapi, ketika petugas membuka penutup mata dan borgol, dia balik menyerang. Pergumulan antarkeduanya pun tak terhindarkan.
Saat pergumulan itu, polisi berupaya melumpuhkan Siyono dan pingsan, setelah terkena benturan sudut mobil di bagian kepala. 2 Anggota Densus yang mengawal langsung melarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Yogyakarta. Namun ketika tiba di rumah sakit, nyawa dia tidak terselamatkan.
Atas temuan itu, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengaku tak mempermasalahkan. Bahkan ia menghargai usaha Komnas HAM dan PP Muhammadiyah untuk mengungkap penyebab kematian Siyono.
"Saya pikir saya mengucapkan terima kasih kasus Siyono sudah dilakukan autopsi, sudah ada hasilnya. Tentu kita hargai itu," ujar Badrodin di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Selasa (12/4/2016).
Badrodin menganggap hasil autopsi tersebut bisa menjadi bahan evaluasi bagi pihaknya, terutama jajaran Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri dalam menangani terduga terorisme. Namun, menurutnya pemberantasan aksi terorisme tetap terus dilakukan meskipun muncul misteri kematian Siyono.
Polri, sambung dia, siap untuk dikoreksi bila terjadi pelanggaran dan kekeliruan ketika menangani kasus dugaan terorisme. Termasuk dalam kasus kematian Siyono.
"Kalau toh dalam pelaksanaan upaya pemberantasan terorisme ada hal yang dianggap janggal, dianggap dicurigai ada kekeliruan, saya siap untuk bisa dikoreksi. Oleh karena itu autopsi Siyono, saya berterima kasih kita bisa tahu apa yang terjadi," ungkap Badrodin.
Reaksi Keras DPR
Sementara, reaksi keras datang dari Senayan. Dalam rapat Komisi III bersama Muhammadiyah, Komnas HAM, dan Kontras di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, sejumlah politisi menyoal hasil autopsi Siyono.
Menurut Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa, Komisi III turut mempertanyakan kematian Siyono usai ditangkap Densus 88. Polri dalam hal ini Kapolri harus menjelaskan apakah ada kesalahan Densus 88 dalam kasus ini.
"Pertama, betulkah Siyono teroris? Pembuktiannya apa? Kenapa dia meninggal? Lalu kenapa ada uang kepada istri Siyono? Siapa yang bisa jawab ini selain Kapolri," papar politisi Gerindra itu, Selasa siang.
Dia mengatakan, Polri harus transparan dalam menjelaskan kematian Siyono yang masih terduga teroris itu. Jika ada kesalahan Densus 88 maka harus dipaparkan. "Ada yang harus bertanggung jawab," ucap Desmond.
Sementara anggota Komisi III DPR lainnya, Taufiqulhadi menegaskan bahwa pelanggaran yang dilakukan anggota Polri dalam kasus ini tak cukup hanya sampai di sidang etik.
"Kami sepakat bahwa kasus ini tidak bisa berhenti pada sidang etik. Harus minta pertanggungjawaban lebih jauh. Nanti dengan Kapolri dan Densus kami akan pertanyakan," ujar politikus Nasdem ini.
Sedangkan anggota Fraksi PAN Daeng Muhammad menekankan tidak boleh negara langsung menindak tanpa proses peradilan. Dugaan-dugaan harus dibuktikan di pengadilan.
"Kalau diduga bersalah, dia punya hak menjawab di pengadilan. Jangan sampai ada proses yang salah," ucap Daeng.
Dia juga mempertanyakan upaya-upaya untuk menghalangi autopsi Siyono hingga keluarga merasa takut. Daeng meminta agar penanganan terorisme tidak menimbulkan teror baru.
"Bagaimana kalau autopsi tidak boleh, ini menciptakan teror baru. Justru antiteroris yang menciptakan teror," ungkap dia.
Rencananya, Komisi III DPR akan bertemu Kapolri dalam pertemuan Rabu ini. Mudah-mudahan saja keterangan Kapolri, Kepala Densus serta Kepala BNPT pada pertemuan hari ini bisa membuat semuanya menjadi terang, sehingga pemberantasan terorisme tidak kontraproduktif.