Kado Hakim untuk Yuyun

Pemerintah siapkan hukuman bertubi-tubi untuk pelaku kejahatan seksual agar tak ada lagi gadis bernasib seperti Yuyun.

oleh Luqman RimadiSilvanus AlvinYuliardi Hardjo Putro diperbarui 11 Mei 2016, 00:05 WIB
Diterbitkan 11 Mei 2016, 00:05 WIB
Aksi Nyala untuk Yuyun Bengkulu Akan Digelar Sore Nanti
Sejumlah aktivis menggelar aksi damai di seberang Istana Negara sebagai bentuk solidaritas untuk Yuyun.

Liputan6.com, Jakarta - Hati Yana masih perih menerima kenyataan anak perempuannya meninggal sia-sia di tangan 14 ABG mabuk. Yuyun mengalami kejahatan seksual hingga meninggal dunia, oleh para laki-laki bejat di kampungnya, Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.

Tapi rupanya, nyawa dan kehormatan Yuyun hanya dihargai 10 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Curup, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.

Vonis yang diterima tujuh terdakwa pembunuh gadis berusia 14 tahun itu jauh dari harapan sang ibunda Yuyun, yang saat ini masih terus menangisi putrinya.

Yana berharap para pelaku kejahatan seksual dan pembunuh putrinya itu dihukum seumur hidup, jika pelakunya masih anak-anak dan hukuman mati jika sudah dewasa.


Jika rata-rata umur pelaku kejahatan seksual itu 17 tahun, maka mereka dapat menghirup udara bebas di usianya yang ke 27. Sementara Yuyun, tak akan pernah kembali.

Dalam amar putusan yang dibacakan ketua majelis hakim Heny Faridha selama 90 menit itu, AL, SL, FS, EK, SU, DE, dan DH divonis sama atau kumulatif. Mereka juga dijatuhi hukuman tambahan atau subsider berupa pembinaan sosial selama enam bulan.

 

Yuyun Tak Kembali


"Ketujuh terdakwa secara sah dan meyakinkan secara bersama-sama melakukan tindak pidana kekerasan seksual yang berakibat hilangnya nyawa korban YY, maka majelis hakim menghukum para terdakwa dengan pidana penjara selama sepuluh tahun ditambah hukuman pembinaan sosial selama enam bulan," ujar Heny di Curup, Selasa 10 Mei 2016.

Para ABG itu akan menjalani masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bentiring Kota Bengkulu. Sebab, LP Kelas II B Curup saat ini sudah mengalami kelebihan kapasitas dan tidak memiliki ruang atau blok khusus untuk narapidana kategori anak.

Pengacara para terdakwa, Gunawan, usai sidang mengatakan pemindahan lokasi hukuman ke LP Bentiring Kota Bengkulu itu memang atas permintaan para terpidana dan disampaikan dalam sidang.

Gunawan juga menilai hukuman tambahan berupa pembinaan sosial sudah tepat, sebab tuntutan JPU adalah pidana kurungan tambahan dialihkan menjadi hukuman pembinaan sosial di luar penjara.

"Ini keputusan terbaik. Untuk sementara para terpidana dan keluarga menyatakan sikap pikir-pikir dulu apakah akan melanjutkan ke proses banding atau tidak," ujar dia.

Sedangkan lima tersangka lain adalah TW, 19 tahun, Sk (19), Bb (20), Fs (19), dan Zl (23). Dua tersangka lain masih berstatus buron aparat kepolisian, sisanya masih menunggu pemberkasan selesai.

Polisi Endus 2 Buronan

Kepala Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar mengungkapkan, dua pelaku yang tengah dalam pengejaran ini berusia 18 tahun. Terakhir, keduanya diketahui berada di daerah Rejang Lebong, Bengkulu.

 

Kekejian mereka pun dikecam sejumlah kalangan. Aktivis yang tergabung dalam Jaringan Muda Melawan Kekerasan Seksual, mengecam keras para pelaku dan mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU penghapusan kekerasan seksual.

"Sudah dewasa, sudah di atas 18 tahun," kata Boy.

Boy menyebutkan jajaran penyidik Polres Rejang Lebong sudah mengantongi sejumlah petunjuk terkait keberadaan dua buron tersebut. Tetapi, Boy mengaku enggan memberikan target kapan kedua pelaku bakal segera ditangkap.

"Memang enggak bisa ditentukan waktunya, semua tergantung di lapangan. Tingkat kesulitan enggak bisa serta merta kita sama ratakan. Misal kita targetkan seminggu, enggak bisa. Keinginan kita secepat-cepatnya," tambah dia.

Meski demikian, kata Boy, tetap diharapkan sikap kooperatif dari dua orang yang diduga pelaku ini. Daripada ditangkap petugas, menurut Boy, lebih baik keduanya menyerahkan diri.

"Yang jadi DPO bisa menyerahkan diri, bisa lebih baik. Bisa lebih kooperatif kepada petugas untuk menuntaskan seluruh tersangka yang terkait dengan peristiwa ini," tandas mantan Kapolda Banten ini.

Jokowi Marah

Presiden Joko Widodo pun marah atas peristiwa tragis yang menimpa Yuyun. Jokowi sedih sebab gadis yang bercita-cita menjadi guru itu pergi untuk selama-lamanya dengan cara tragis.

"Kita semua berduka atas kepergian YY yang tragis," ucap Jokowi.

 

Presiden Jokowi memberikan pidato saat peresmian Pencanangan SE 2016. (Liputan6.com/Faizal Fanani)


Jokowi pun mendesak agar pihak kepolisan mengusut dan memberikan hukuman yang berat kepada para pelaku tindakan bejat tersebut. "Tangkap dan hukum pelaku seberat-beratnya," tegas dia.

Jokowi juga meminta agar ke depan kasus-kasus serupa tidak lagi terulang. Karena itu, negara harus hadir, dengan arti memberikan perlindungan bagi anak dan kaum perempuan dari berbagai bentuk tindakan kekerasan.

"Perempuan dan anak-anak harus dilindungi dari kekerasan," tutur mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Jokowi pun langsung menetapkan kejahatan seksual sebagai kejahatan luar biasa. "Saya ingin agar ini menjadi sebuah kejahatan luar biasa sehingga penanganannya juga penanganan dan tindakan luar biasa," ujar Jokowi.

"Saya ingin memberikan peringatan berkaitan dengan kekerasan seksual pada anak. Ini harus betul-betul ditindaklanjuti secara bersama-sama antar kementerian terkait, Polri, dan Kejaksaan. Karena kalau kita melihat angka dan peristiwa-peristiwa nya semakin hari semakin sangat mengkhawatirkan," kata Jokowi.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga menegaskan keputusan terkait hukuman yang seberat-beratnya penjahat seksual harus dapat memberikan efek jera bagi para pelakunya.

"Oleh sebab itu, segera ini dikoordinasikan agar ada sebuah keputusan termasuk di dalamnya adalah yang kemarin sudah dibicarakan dalam rapat terbatas mengenai undang-undang atau Perppu," pungkas Jokowi.

Hukuman Bertubi-tubi Bagi Pemerkosa

 

Seorang peserta aksi memegang poster disela kegiatan car free day di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (8/5). Aksi itu merupakan solidaritas serta bentuk kecaman terhadap kekerasan seksual yang menimpa pelajar Bengkulu, Yuyun (14). (Liputan6.com/Faizal Fanani)


Pemerintah tak ingin peristiwa tragis yang dialami Yuyun terulang pada gadis-gadis lainnya. Untuk itu, Jokowi langsung menginstruksikan jajarannya untuk menangani masalah kejahatan seksual.

"Presiden sudah menginstruksikan kepada Menko PMK, Mensos, Menteri Perempuan dan Perlindungan Anak serta Menkumham untuk segera memperioritaskan penanganan masalah kejahatan seksual," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

Dari kasus ini pun, terangkat kembali hukuman maksimal bagi pelaku kejahatan seksual berupa kebiri. Nantinya, payung hukum untuk hukuman tersebut adalah Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Menurut Pramono, jika tidak dihukum berat maka tidak ada efek jera bagi pelaku kejahatan seksual.

"Maka hukumnya harus tegas dan hukuman kebiri adalah salah satunya. Termasuk hukuman yang seberat-beratnya segera bisa dirumuskan," tambah Pramono.

Pramono juga menambahkan pemerintah akan mengajak DPR untuk duduk bersama dan membahas aturan tersebut. Dengan adanya payung hukum tersebut, kekerasan seksual pada anak diharapkan bisa ditangani dengan lebih baik dan serius.

 

Ternyata tempat tinggal Yuyun, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu adalah lingkungan paling tidak aman untuk anak-anak. Kenapa?

"Ya kita juga akan mendorong ini menjadi prioritas Prolegnas sebab apapun kan ini harus juga dibahas bersama dengan DPR untuk segera dirumuskan," tandas Pramono.‎

Meski hukuman kebiri ini menuai pro kontra, namun menurut Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, pemerintah telah menyiapkan draf Perppu UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, dengan menambahkan hukuman tambahan maksimal yaitu hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Di tengah pro dan kontra rencana hukuman kebiri bagi penjahat seksual, pemerintah ‎menyiapkan aturan hukuman pemberat lainnya yaitu sanksi sosial dalam bentuk publikasi identitas pelaku secara masif.

"‎Jadi ada poin salah satunya memperberat hukuman bagi pelaku kemudian publikasikan identitas pelaku. Itu salah satu hukuman sosial agar mereka jera," ujar Puan.

Kendati identitas pelaku dipublikasi, upaya rehabilitasi terhadap predator anak tetap dilakukan. Bentuk rehabilitasi dapat berupa bimbingan kepada pelaku agar tidak mengulang perbuatannya. ‎

"Tentu saja dalam masa hukuman tersebut pelaku diberikan rehab sehingga tidak ulangi dan kembali ke jalan yang benar," ucap politikus PDI Perjuangan itu.

Namun demikian, Puan menambahkan, hukuman publikasi identitas tidak berlaku pada anak di bawah umur. Sebab, anak di bawah umur dilindungi undang-undang perlindungan anak.

 

Aktivis menggelar aksi solidaritas untuk Yuyun disela car free day di Bundaran HI Jakarta, Minggu (8/5). Pada kegiatan itu, pengunjung menandatangani spanduk sebagai bentuk kekecewaan atas kekerasan seksual yang menimpa Yuyun. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

"Pelaku akan kami beri pendampingan khusus. Pelaku itu maksudnya anak-anak ada pertimbangan dan perlakuan sendiri karena ada UU kekerasan anak, jadi enggak bisa disamaratakan. Tapi yang pasti, pelaku nya apakah anak-anak atau dewasa akan direhab setelah mendapatkan hukuman," Puan menandaskan. ‎

Hukuman lebih berat justru datang dari keinginan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Dia merekomendasikan kepada Jokowi agar pelaku kejahatan seksual dihukum mati.

"Kalau‎ korbannya sampai meninggal bisa hukuman mati. Seberat-beratnya seumur hidup. Dari pemberatan 15 tahun (penjara) ke 20 tahun, dari 20 tahun ke seumur hidup. Teknis akan dibahas oleh tim," kata Yasona.

Usulan hukuman ini, karena dia tak setuju dengan kebiri. Pasalnya, ‎dampak negatif hukuman kebiri lebih besar dibanding efek jera yang akan didapat oleh pelaku.‎

"Kami sudah mendengarkan penjelasan dari ahli kejiwaan dan ahli andrologi. Kebiri bukan hukuman yang tepat," ujar dia.

Selain itu, politikus PDI Perjuangan ini mengaku tidak mau hukuman yang dijatuhkan bertentangan dengan HAM. Dia mengatakan jadi atau tidaknya penerapan hukuman itu baru akan diputuskan dalam rapat terbatas dengan Presiden Jokowi.

"Semua hukuman kami kaji dari perspektif HAM. Kami ingin pelaku dihukum seberat-beratnya. Tapi teknis nya masih dibahas. Masalah kebiri akan kami angkat untuk diputuskan dalam ratas (rapat terbatas) dengan Presiden," ucap Yasona. ‎
‎

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya