Gerakan Nasional Anti-Miras: Jangan Cabut Perda Miras

Dianggap tidak berdasar dan mencerminkan tidak adanya sensitivitas pemerintah terhadap maraknya kejahatan akibat miras yang terjadi.

oleh Liputan6 diperbarui 23 Mei 2016, 13:10 WIB
Diterbitkan 23 Mei 2016, 13:10 WIB
Ingin Cabut Perda Miras, Sensitivitas Pemerintah Dimana?
Dianggap tidak berdasar dan mencerminkan tidak adanya sensitivitas pemerintah terhadap maraknya kejahatan akibat miras yang terjadi.

Liputan6.com, Jakarta Munculnya kebijakan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang memberikan rekomendasi kepada daerah-daerah untuk mencabut perda miras karena dianggap tumpang tindih, dinilai tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi, dan menghambat investasi, dianggap tidak berdasar dan mencerminkan tidak adanya sensitivitas pemerintah terhadap maraknya kejahatan akibat miras yang terjadi belakangan ini.

"Saya mau ingatkan, yang paling bahaya dari sebuah pemerintahan adalah jika dia sudah kehilangan sensitivitasnya terhadap persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Ada aturan saya, miras masih jadi momok, apalagi kalau aturan mau dicabut. Saya nggak habis pikir, pemerintah ini maunya apa sih?" tukas Ketua Gerakan Nasional Anti-Miras (Genam) Fahira Idris di Jakarta (20/5).

Menurut Fahira, ini sudah kali kedua pemerintah mencoba-coba melonggarkan aturan mengenai miras. Pertama dengan merelaksasi Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Dirjen Dagri) No. 04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A, yang sempat membuat gaduh dan kemudian dianulir. Kedua, dengan merekomendasi pencabutan perda-perda miras yang saat ini mulai bergulir.

"Masyarakat lelah dan bisa marah, kalau pemerintah terus test the water soal miras. Janganlah dalih investasi dijadikan alasan untuk mencabut perda-perda miras. Presiden kan sudah sampaikan tidak masalah negara kehilangan triliunan rupiah karena pelarangan penjualan miras. Karena jika dibiarkan kerugian yang akan ditanggung negara ini lebih besar. Tetapi kenapa instruksi presiden ini tak dihiraukan bawahannya. Lagi pula, pendapatan negara dari miras tidak signifikan. Yang signifikan itu kerusakannya," ujar Fahira yang juga Wakil Ketua Komite III DPD RI ini.

Menurut Fahira, alasan perda miras tumpang tindih dan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi juga tidak berdasar. Saat ini, lanjut Fahira, aturan Pemerintah Pusat soal Miras masih Perpres No.74/2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.

Ada point khusus dalam Perpres ini, di mana kepala daerah diberikan wewenang untuk mengatur peredaran miras sesuai dengan kondisi kulturnya. Artinya, daerah bukan hanya punya wewenang membuat perda yang mengatur miras, tetapi juga diberi ruang untuk membuat perda anti miras. Kedua, Permendag No.06/2015 yang melarang total semua minimarket atau toko pengecer di Indonesia menjual segala jenis minol.

"Itulah kenapa Papua membuat Perda Anti Miras yang mengharamkan segala aktivitas miras di daerahnya, karena Perpres membolehkan. Terus kalau sekarang perda-perda miras mau dicabut, dasarnya apa? Setiap kebijakan pemerintah itu, harus memenuhi aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis. Kebijakan pencabutan ini, sama sekali tidak memenuhi ketiga aspek tersebut," tegasnya.

Untuk itu, lanjut Fahira, Kemendagri harus menjelaskan secara terbuka kepada publik, keterdesakan apa yang membuat perda-perda miras di Indonesia harus dicabut secara filosofis, yuridis, dan sosiologis.

"Saya dorong Kemendagri menjelaskan kebijakannya ini ke publik secara terbuka dan langsung. Jangan coba-coba batalkan perda miras kalau tidak ada alasan yang logis," tegas Fahira.

 

(*)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya