Liputan6.com, Sragen Cahaya matahari pagi menyelinap di antara kaca jendela berkusen kayu yang tertanam di dinding ruangan berukuran 5x3 meter yang ditinggali Sodimejo. Di kamar tidur tersebut, lelaki yang dipanggil Mbah Gotho itu duduk di atas dipan kayu menanti kedatangan cucu dan cicit yang merayakan iduladha di Dusun Segeran, Desa Cemeng, Kecamatan Sambugmacan, Sragen, Jawa Tengah, pada Senin pagi, 12 September 2016.
Baca Juga
Kedua mata Mbah Gotho sudah tak bisa melihat. Pun telinganya sudah tak lagi tajam mendengarkan suara di sekitarnya. Waktu rupanya telah menelan indera penglihatan dan pendengaran lelaki yang di Kartu Tanda Penduduk tercatat lahir pada 31 Desember 1870 ini.
Advertisement
Suryanto (46) mendekati Mbah Gotho lalu menggamit tangan pria sepuh itu. Sejak 23 tahun terakhir, sang cucu menemani dan merawat Mbah Gotho. Sentuhan tangan Suryanto menyadarkan Mbah Gotho. "Sampeyan sinten (kamu siapa?)?" tanya Mbah Gotho. "Sur. Sur-mu (cucumu, Sur)," kata Suryanto setengah berteriak menjawab pertanyaan Mbah Gotho.
Dengan segala keterbatasan indera yang dimilikinya, Mbah Gotho pantas merasa kesepian. Tak banyak pula aktivitas yang bisa dilakukan tubuh tuanya. Rutinitas harian Mbah Gotho hanya bangun tidur, mandi, makan, mengobrol, dan kembali tidur. Lelaki 145 tahun itu mengaku sudah tak punya kesenangan meski keturunannya masih terus mendampingi.
“Senengan kulo mung siji. Mati. Nek mati wis seneng kulo (kesenangan saya ya hanya satu. Hanya mati. Itu kesenangan saya),” kata Mbah Gotho dengan bibir gemetar kepada Liputan6.com.
Mbah Gotho menyiapkan kematiannya sejak 23 tahun lalu. Sebuah batu nisan bertuliskan namanya tergeletak tak terpakai di halaman rumahnya menjadi penanda keinginan Mbah Gotho.
Selama perjalanan hidupnya, Mbah Gotho tercatat menikah 4 kali dan memiliki 5 anak dari istri yang berbeda. Tapi, 4 istri dan 5 anaknya sudah meninggal. Dia mengaku sering patah hati lantaran sudah berkali-kali menyaksikan istri-istri dan anak-anak yang dicintainya meninggalkan dunia. “Saya ini hidup sendiri,” kata Mbah Gotho menceritakan rasa sepinya.
Psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Sri Juwita Kusumawardhani, menilai keinginan Mbah Gotho untuk segera mati merupakan hal yang wajar. Menurut Wita, sapaan akrabnya, seorang lansia yang ditinggal mati pasangan atau anaknya akan terpukul akibat duka mendalam. Kematian sanak-saudara, katanya, meninggalkan rasa bersalah.
Perasaan bersalah inii, Sri melanjutkan, timbul lantaran menjadi orang 'terakhir' yang bertahan hidup. Dalam kondisi seperti ini, lansia akan merasakan kesepian yang cenderung mendorong gejala depresif. Menurut Wita, gejala depresif ini salah satunya bisa menimbulkan keinginan untuk bunuh diri. “Karena ingin segera menyusul,” ucap Wita kepada Liputan6.com.
Suryanto, cucu yang kini mengurus Mbah Gotho, menerangkan, rasa kesepian diduga mulai dirasakan sejak Sukinem, anak kesayangan Mbah Gotho dari istri keempat, meninggal. Sukinem tak lain merupakan ibunda Suryanto, yang dahulu mengurus Mbah Gotho semenjak ditinggal Rayem, istri keempatnya.
Sejak saat itu, Suryanto melanjutkan, Mbah Gotho sudah mempersiapkan kematiannya. Mbah Gotho membeli sebuah rumah nisan, peti mati, kemeja, dasi, jas dan celana bahan untuk menyambut hari terakhirnya. Mbah Gotho sudah menitip pesan kepada Suryanto supaya dimakamkan dengan keyakinan Nasrani. Mbah Gotho sudah berpindah keyakinan dari Islam menjadi Kristen Protestan, beberapa dekade lalu.
Menurut Suryanto, seperangkat pakaian yang disiapkan Mbah Gotho untuk hari kematiannya, tersimpan di dalam lemari kayu yang dikunci sendiri. Bahkan, kunci lemari itu disimpan Mbah Gotho tanpa memperbolehkan orang lain menyentuhnya. Adapun rumah nisan yang terbuat dari keramik marmer berwarna putih, kini diletakkan di halaman depan rumah, yang bersebelahan dengan kamar Mbah Gotho.
Suryanto kemudian mengajak tim Liputan6.com ke area pemakaman, yang berjarak satu kilometer dari kediamannya. Di area tersebut, terdapat sebuah makam dengan nisan bertuliskan Sukinem. Rumah-rumahan beratap genting pun dibangun untuk memisahkan kedua petak makam itu dari petak makam lainnya.
Suryanto menerangkan, kakeknya sudah berpesan agar dimakamkan persis di samping ibunya. Karena itu, dia sudah menggalikan liang lahat buat sang kakek. “Kalau Mbah Gotho meninggal, dia minta dimakamkan sebelah ibu saya. Kami sebagai cucu hanya menjalankan amanah Mbah saja,” ucap Suryanto.