Angklung Vs Ekskavator Saat Sanggar di Bukit Duri Dirobohkan

Ketua Sanggar menyebut penggusuran bentuk dari kekerasan.

oleh Yus AriyantoNanda Perdana Putra diperbarui 28 Sep 2016, 10:52 WIB
Diterbitkan 28 Sep 2016, 10:52 WIB
20160928-Penggusuran Kawasan Bukit Duri-Jakarta
Seorang warga menggunakan gerobak untuk mengemasi perabotan miliknya saat penertiban kawasan Bukit Duri, Jakarta, Rabu (28/9). Sedikitnya 400 petugas gabungan bersiaga di wilayah Bukit Duri yang terdampak penggusuran. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Sanggar Saung Merdeka Ciliwung di Bukit Duri juga tidak luput dari hantaman ekskavator. Penghuni sanggar pun berjajar di depan bangunan itu seakan menyambut pasrah kedatangan alat berat itu.

Pantauan Liputan6.com, penghuni sanggar sekaligus sejumlah warga RT 06 RW 12 mulai memainkan angklung, memukul kaleng dan panci sambil menatap sanggar tersebut runtuh.

Dengan sekali senggol, pinggir kiri bangunan lantai dua itu langsung ringsek. Suara dentuman makin menambah riuh iring-iringan tabuhan kaleng.

Ketua Sanggar Saung Ciliwung Merdeka, Sandyawan Sumardi, mengatakan, pembongkaran itu merupakan bentuk kekerasan dari Pemprov DKI. Dia pun mengajak warga Ibu Kota untuk sama-sama bersatu demi memperjuangkan hak rakyat kecil.

"Kami mengajak semua warga Jakarta yang mempunyai akal sehat dan hati nurani, untuk tidak takut lagi dengan ancaman kebrutalan pembangunan Kota Jakarta, yang hanya mementingkan tembok besar, tapi melupakan ekonomi rakyat kecil," tutur Sandyawan di kawasan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (28/9/2016).

Menurut dia, inilah tanda dari sikap Pemprov DKI saat ini yang tanpa pikir panjang menggusur warganya.

"Kami sudah lama melakukan sikap yang lebih berbudaya. Ketimbang Pemprov DKI yang main gusur. Sementara orang kaya membangun reklamasi tanpa IMB dibiarkan begitu saja," tukas dia.

Sanggar yang sudah berdiri selama 17 tahun itu pun sudah tidak tersisa lagi. Bangunannya rata dengan tanah.

"Kami sangat kecewa dengan orang-orang yang gila kekuasaan," kata dia.

"Bagaimana mungkin rakyat kecil yang mempunyai sertifikat kepemilikan tanah dikatakan tidak pantas memilikinya, hanya karena dianggap miskin. Sementara gubernur mengatakan orang miskin hanya boleh diberi sembako. Hargailah perjuangan warga yang sudah tinggal berpuluh-puluh tahun di sini," Sandyawan menandaskan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya