Liputan6.com, Jakarta - Sekitar 300 warga khidmat dalam doanya. Mereka menggenggam jari-jemari di kedua tangannya. Duduk di dalam bangku kayu panjang. Sebuah mimbar tembok setinggi 2 meter bercat merah hati dan kuning keemasan berdiri kokoh di depannya.
Sebuah cawan tertutup dari perak terletak di atas meja putih. Bergantian, orang-orang berkulit cokelat tadi menyentuhnya.
Baca Juga
Mereka adalah jemaat Gereja Tugu, Jakarta Utara. Mereka keturunan Portugis. Salah satu bangsa Eropa yang pernah menjajah Indonesia.
Advertisement
Tak semuanya bermata biru, berkulit putih, dan berambut pirang. Mereka lebih serupa dengan rakyat Brasil kebanyakan. Kulit cokelat, mata cokelat terang.
"Hanya 10 persen dari kami yang masih bermata biru, berambut pirang, berkulit putih, dan tinggi badannya," ujar Ketua Ikatan Keluarga Besar Tugu, komunitas terbesar keturunan Portugis di Jakarta, Erni Michiels pada Liputan6.com di Gereja Tugu, Jakarta Utara, Minggu 25 Desember 2016.
Para keturunan Portugis ini tengah merayakan Natal dan tahun baru. Dalam peribadatannya, tak ada beda dengan gereja Protestan lainnya. Hanya saja, dalam iringan nyanyi paduan suara dan peribadatannya ditemani musik keroncong.
Petikan prounga membawa nada-nada muda nan enerjik. Nyanyian Selamat Natal dan Glori Haleluya yang digubah sedemikian rupa membuat ibadah di Gereja Tugu itu semarak.
Pendeta dalam pesan Natalnya, mengingatkan umat Kristiani agar saling mengasihi dengan sesama. Mendoakan saudara sebangsa yang tengah dilanda bencana.
Pendeta Pendeta Egbert Parasian Sihombing, mengaku takjub. Ia berkesempatan menaiki mimbar berusia 200 tahun lebih, meski bukan sebagai penyampai pesan Natal.
"Saya baru enam bulan ditempatkan di sini, mimbar yang saya pakai serial ibadah itu usianya sudah 200 tahun lebih," kata Egbert pada liputan6.com usai beribadah.
Usai beribadah, Erni dan Egbert membawa Liputan6.com berkeliling Gereja yang dibangun pada tahun 1748 itu.
Di bawah mimbar nan keropos di pagar jenjang sebelah kirinya itu, ada cawan pembaptisan, cawan persembahan, dan gelas anggur serta teko jamuan yang usia masing-masing alat ibadah itu lebih dari 300 tahun.
"Kami masih memakainya," kata Egbert.
"Nenek dari nenek saya, juga bercerita soal benda-benda ini," timpal Erni.
Cawan itu nampak tua, beberapa sisinya penyok. Sedang cawan persembahan dan gelas anggur serta teko dari perak itu juga dimakan usia. Meski demikian, cawan masih mengkilap dan kebersihannya terjaga. Sisi ukiran gelas jelas di makan zaman.
Keturunan Kelima
"Yang tetua serta dituakan, duduknya di sini," tunjuk Erni pada bangku tua dengan tambalan cat yang tebal.
Bangku kayu panjang itu terletak di sebelah kanan Mimbar yang menghadap jemaat. Para tetua ini dengan sigap meninggalkan gereja, begitupun dengan generasi muda keturunan Portugis nan bermata biru. Mereka di barisan paling depan di antrean 800 lebih jemaat gereja yang beribadah.
Namun, hanya satu dua yang terlihat berambut pirang dan bermata biru. Salah satunya berusia lanjut, sedang dua lainnya yang berusia lebih muda hanya bermata biru dan rambut sedikit kepirang-pirangan. Kulit mereka tetap cokelat yang eksotis.
"Kami tergabung dalam satu komunitas, ada kegiatan rutin," jelas Erni.
Komunitas yang diketuai Erni ini, ada 300 kepala keluarga yang tersebar di seluruh Jakarta. Sementara, untuk di kampung Tugu sendiri ada 1.200 orang anggota komunitas. Mereka yang masih hidup adalah generasi ke lima yang tertuanya dan generasi ke sembilan yang termudanya.
Ada enam marga keluarga yang masih menetap di kampung Tugu. Mereka masih bertahan dari berbagai persoalan yang terjadi di kampung tugu. Mereka adalah keluarga Abrahams, Andries, Cornelis, Michiels, Broune, dan Quiko.
Erni mengatakan, jika bertemu dengan mereka yang memiliki nama akhir dengan enam marga di atas. Mereka adalah satu darah dengan orang-orang Portugis di berbagai daerah di belahan bumi ini.
"Keturunan itu diturunkan dari ayah. Hingga tahun 1970-an ke bawah, kami hanya menikahi orang-orang yang satu komunitas keturunan Portugis saja. Tapi, anak saya sudah tak menikah dengan keturunan Portugis, suaminya orang Timur (Indonesia bagian Timur)," terang Erni.
Gereja Sejuta Kenangan
Meski tak semua keturunan Portugis di kampung Tugu memeluk agama Kristen Protestan, ada juga di antara mereka yang beragama Islam, dan Katolik. Namun, Protestan lebih mendominasi.
"Tak ada perpecahan, kami semua satu komunitas, gereja ini jadi saksi" kata Erni memulai cerita.
Gereja yang didirikan di atas rawa-rawa itu sempat dibakar massa. Jauh sebelum Indonesia merdeka. Orang-orang keturunan Portugis terlibat cekcok dan masalah dengan komunitas masyarakat Tionghoa. Permasalahan itu berujung pada penyerbuan komunitas Tionghoa pada masyarakat di kampung Tugu.
"Pernah dibakar massa, keluarga saya (Michiels) lari ke arah Pejambon dan ditolong oleh Haji Maksum," terang Erni.
Tokoh Islam pada masa itu, berhasil mendamaikan kedua kubu, meski butuh waktu. Erni menerangkan, salah satu keluarga Michiels bahkan dikuburkan di Pejambon.
Usai konflik dengan masyarakat Tionghoa, keturunan Portugis kembali ke kampung Tugu. Tapi, tak banyak yang kembali. Sebab, di antara mereka ada yang ke Papua atau ke Sulawesi. Mencoba peruntungan baru, kala itu daerah Timur Indonesia cukup menjanjikan di bidang pertanian.
"Keluarga Michiels tak semuanya ke sana (Timur Indonesia), kami sebagian menetap kembali di sini, sampai saat sekarang," terang Erni.
Kini, ribuan keturunan Portugis itu masih bertahan. Kawasan tempat mereka tinggal sudah berganti jadi tempat Industri, tak lagi rawa dan sawah. Di depan cagar budaya bernama Gereja Tugu itu terparkir puluhan mobil kontainer.
Cukup sulit menemukan Gereja Tugu, jika tanpa panduan mesin Google. Sebab, pagar-pagar depan gereja itu telah kusam oleh pasir dan debu dari knalpot dan ban kontainer yang lalu lalang di depannya.
Advertisement