Liputan6.com, Jakarta - Tradisi mengadzani jenazah saat hendak dikuburkan masih kerap dilakukan oleh sebagian umat Islam. Namun, hal ini memunculkan pertanyaan: apakah hukum mengumandangkan adzan secara khusus saat jenazah akan dimasukkan ke liang lahat?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh pendakwah KH Yahya Zainul Ma’arif atau Buya Yahya dalam sebuah ceramah yang menjelaskan pandangan para ulama terkait amalan ini. Buya menegaskan bahwa hukum adzan saat jenazah dikuburkan adalah persoalan khilafiyah atau perbedaan pendapat.
Advertisement
Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak disyariatkan mengumandangkan adzan secara khusus untuk mayat. Hal ini karena tidak ditemukan dalil yang secara langsung mendukung praktik tersebut dalam sunnah Nabi Muhammad SAW maupun praktik para sahabat.
Advertisement
Namun, di sisi lain, ada pula ulama yang memperbolehkan adzan dikumandangkan saat jenazah hendak dikuburkan. Mereka berdalil dengan qiyas atau analogi dari amalan adzan saat kelahiran bayi.
Dikutip dari kanal YouTube @buyayahyaofficial, Buya Yahya menjelaskan, sebagian ulama membolehkan adzan saat menguburkan karena disamakan dengan adzan saat menyambut kelahiran bayi. Gambarannya sederhana, dianjurkan ketika seseorang keluar dari satu alam menuju alam lain, maka diperdengarkan padanya hal-hal yang baik.
Menurut penjelasan Buya, saat seorang bayi lahir dari alam rahim menuju alam dunia, disunnahkan untuk didengarkan adzan di telinga kanannya. Maka ada ulama yang berpendapat bahwa ketika seseorang meninggal, berpindah dari dunia ke alam barzakh, juga layak didengarkan adzan.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Ada yang Melarang dan Membolehkan
Namun, Buya menekankan bahwa ini bukan kesepakatan bulat seluruh ulama. Bahkan sebagian besar ulama justru cenderung tidak melakukannya karena tidak ada tuntunan dari Rasulullah SAW.
“Kalau bertepatan dengan waktu sholat, misalnya jenazah dikuburkan pas adzan Zuhur, lalu terdengar adzan dari masjid atau mushola, itu lain cerita. Itu adzan untuk sholat, bukan adzan khusus untuk mayat,” kata Buya.
Dengan demikian, jika adzan dikumandangkan sebagai bagian dari waktu sholat yang bersamaan dengan proses pemakaman, maka itu jelas tidak menjadi masalah. Sebab itu bukan adzan yang diniatkan khusus untuk jenazah.
Yang menjadi polemik adalah jika adzan tersebut dikumandangkan secara khusus saat jenazah hendak dimasukkan ke kubur, tanpa kaitan dengan waktu sholat. Inilah yang menjadi titik perbedaan di kalangan ulama.
Sebagian ulama melarang praktik ini karena dianggap sebagai amalan baru yang tidak ada contohnya dari Rasulullah. Mereka khawatir hal ini bisa termasuk dalam kategori bid'ah jika diyakini sebagai bagian dari syariat.
Namun ulama lain yang memperbolehkan tetap memandangnya sebagai bentuk doa atau pengingat, bukan bagian dari ibadah yang wajib atau sunnah muakkadah. Mereka memperbolehkan asalkan tidak meyakini hal itu sebagai kewajiban.
Buya Yahya mengajak umat untuk bijak dalam menyikapi perbedaan ini. Ia menegaskan agar jangan sampai muncul perdebatan dan permusuhan hanya karena beda pendapat dalam masalah furu’iyyah seperti ini.
Advertisement
Jangan Diributkan, dan Saling Menyalahkan
“Ini masalah ijtihadiyah. Jangan sampai karena beda pendapat lalu ribut di tengah masyarakat. Kalau memang ada yang ingin melakukan karena mengikuti ulama tertentu, silakan. Tapi jangan memaksakan,” tegasnya.
Sebaliknya, bagi yang tidak setuju dengan praktik adzan di kubur, juga diharapkan tidak mencela atau menuduh pelaku sebagai pelaku bid’ah tanpa ilmu. Semua pihak diimbau menjaga adab dan persaudaraan.
Yang lebih penting dari semua itu, lanjut Buya, adalah memastikan pengurusan jenazah dilakukan sesuai tuntunan syariat mulai dari memandikan, mengkafani, menshalatkan, hingga menguburkannya dengan baik.
Amalan seperti doa, membaca Al-Qur’an, dan memintakan ampunan untuk si mayat jauh lebih utama daripada mengurusi adzan yang hukumnya masih diperselisihkan.
Adzan di kubur, kata Buya, jika dilakukan, cukup diniatkan sebagai ungkapan harapan agar si mayat tetap mendengar kebaikan saat berpindah ke alam kubur, bukan sebagai bagian dari ritual wajib.
Buya menutup penjelasannya dengan nasihat agar umat Islam beramal berdasarkan ilmu, menghargai perbedaan, dan menghindari fanatisme tanpa dasar. “Jangan saling menyalahkan. Yang penting niatnya baik, tidak mengklaim bahwa itu wajib,” pungkasnya.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
