Deja Vu 2019? Tarif Trump Bisa Picu Pemangkasan Suku Bunga Lagi

Banyak pihak berspekulasi bahwa inflasi yang timbul akibat tarif Trump akan memaksa The Fed untuk bersikap lebih ketat terhadap kebijakan moneternya.

oleh Tira Santia Diperbarui 09 Apr 2025, 20:30 WIB
Diterbitkan 09 Apr 2025, 20:30 WIB
Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 4 Februari 2025 di Gedung Putih.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 4 Februari 2025 di Gedung Putih. (Dok. AP Photo/Alex Brandon)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat (AS) kembali mengguncang perekonomian global dengan kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan terhadap sejumlah negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia.

Kebijakan ini datang dari pemerintahan Presiden Donald Trump yang kembali menunjukkan sikap proteksionis dalam menghadapi ketidakseimbangan perdagangan internasional.

Namun, langkah ini tidak hanya memicu ketegangan diplomatik, tapi juga menimbulkan dampak langsung terhadap stabilitas ekonomi, termasuk lonjakan inflasi dalam jangka pendek.

Di tengah situasi yang tidak pasti ini, perhatian dunia tertuju pada langkah-langkah lanjutan Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed), dalam menanggapi tekanan ekonomi tersebut.

Banyak pihak berspekulasi bahwa inflasi yang timbul akibat tarif akan memaksa The Fed untuk bersikap lebih ketat terhadap kebijakan moneternya. Namun, DBS Bank melalui Chief Investment Officer Hou Wey Fook, menyampaikan pandangan yang cukup berbeda.

Fook menjelaskan bahwa meskipun ada tekanan inflasi yang muncul akibat kebijakan tarif, pihaknya memproyeksikan The Fed tetap berada pada jalur pemangkasan suku bunga. Strategi ini dianggap lebih relevan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang mulai menunjukkan tanda-tanda pelemahan.

“Terkait obligasi, meskipun ada perkiraan lonjakan inflasi akibat tarif ini, kami melihat The Fed tidak akan membalikkan panduannya yang sekarang, yaitu menurunkan suku bunga,” kata Fook dalam konferensi pers Prospek Ekonomi Q2 bersama DBS Chief Investment Officer, Rabu (9/4/2025).

Ia menegaskan bahwa kebijakan moneter AS saat ini diarahkan untuk menopang pertumbuhan, bukan mengerem laju inflasi yang bersifat sementara.

Menurutnya, The Fed kemungkinan akan bersabar dan melihat inflasi ini sebagai bagian dari siklus jangka pendek yang akan kembali mereda setelah harga stabil.

 

Mandat Ganda The Fed: Mana yang Lebih Prioritas?

The Fed
The Fed (www.n-tv.de)... Selengkapnya

Untuk memahami sikap The Fed, DBS mengingatkan tentang mandat ganda yang menjadi pedoman utama lembaga tersebut, yakni menjaga stabilitas harga dan mendorong terciptanya lapangan kerja.

Dalam kondisi ekonomi normal, kedua tujuan ini bisa berjalan beriringan. Namun, saat tekanan ekonomi muncul, seperti sekarang, prioritas bisa bergeser.

"Karena mandat ganda The Fed—menjaga stabilitas harga dan mendorong lapangan kerja maksimum—kami percaya The Fed akan lebih memprioritaskan yang kedua, yaitu menangani pelemahan ekonomi," ujar Fook.

Dalam kondisi saat ini, di mana pertumbuhan ekonomi mengalami tekanan akibat kebijakan tarif dan ketidakpastian global, The Fed diperkirakan lebih fokus pada upaya menjaga agar ekonomi tidak jatuh lebih dalam.

Fook juga mencatat bahwa meskipun inflasi menyebabkan kemungkinan pemangkasan suku bunga ditunda, arah kebijakan secara umum tetap akan menuju pelonggaran.

“Waktu pemangkasan suku bunga mungkin mundur sedikit karena lonjakan inflasi ini, tetapi kami tetap berpegang pada posisi The Fed, yang akan melihat melampaui masa transisi inflasi ini," ujarnya.

Selain itu, dibandingkan dengan negara-negara lain, suku bunga di AS masih tergolong tinggi, yang memberikan ruang bagi The Fed untuk melakukan pelonggaran tanpa kehilangan daya tarik investasi.

“Dan karena tingkat suku bunga AS saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain, kami pikir ada ruang untuk penurunan suku bunga di AS, dan untuk hal-hal lainnya juga menurun," ujar Fook.

 

Mengulang Sejarah 2019?

Presiden ke-47 AS Donald Trump menandatangani sejumlah perintah eksekutif setelah dilantik. (AFP)
Presiden ke-47 AS Donald Trump menandatangani sejumlah perintah eksekutif setelah dilantik. (AFP)... Selengkapnya

Ia juga mengingatkan bahwa situasi saat ini memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi pada tahun 2019. Saat itu, kebijakan tarif dari Presiden Trumpdikenal dengan sebutan "Trump Tariffs 1.0" juga memicu perlambatan ekonomi.

The Fed merespons dengan pemangkasan suku bunga yang cukup agresif. Akibatnya, pasar obligasi mengalami lonjakan signifikan, dengan imbal hasil yang mencapai dua digit.

“Kami menyatakan bahwa bisa saja terjadi pengulangan tahun 2019 pasca tarif Trump 1.0, yang pada waktu itu menyebabkan The Fed memangkas suku bunga karena ekonomi melemah akibat tarif tersebut. Dan akibat pemangkasan suku bunga yang agresif saat itu, kami menyaksikan imbal hasil dua digit pada tahun 2019," ujar Fook.

Lebih lanjut, Fook menilai tren yang serupa kini mulai terlihat di tahun 2025. Kinerja obligasi dari berbagai kelas termasuk Additional Tier 1 (AT1), investment grade, dan high yield menunjukkan penguatan imbal hasil.

Hal ini memberikan sinyal positif bagi investor, asalkan mereka mampu menyusun portofolio yang strategis dan terdiversifikasi dengan baik.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya