Kisah Senapan Macet Jelang Pembebasan Sandera Woyla di Bangkok

Pembajak kemudian mengarahkan pesawat ke Bandara Don Muang di Bangkok, Thailand. Sejumlah tuntutan diajukan.

oleh Yus Ariyanto diperbarui 28 Mar 2017, 14:58 WIB
Diterbitkan 28 Mar 2017, 14:58 WIB
Memoar Sintong Panjaitan
Buku "Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” (Liputan6.com/Yus Ariyanto)

Liputan6.com, Jakarta - Sabtu 28 Maret 1981. Pesawat DC-9 Woyla milik Garuda Indonesia dibajak. Woyla terbang dari Jakarta pada pukul 08.00, transit di Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan tiba pada pukul 10.55 WIB.

Pembajak kemudian mengarahkan pesawat ke Bandara Don Muang di Bangkok, Thailand. Sejumlah tuntutan diajukan.

Tuntutan itu di antaranya anggota Komando Jihad di Indonesia yang berjumlah 80 orang segera dibebaskan dari tahanan dan meminta uang 1,5 juta dolar Amerika.

Pemerintah RI tak mau kompromi. Operasi pembebasan sandera disiapkan. Asisten 2/Operasi Kopassandha, Letkol Sintong Panjaitan, ditunjuk sebagai komandan operasi. Kopassandha merupakan cikal bakal Kopasus.

Saat akan berangkat ke Bangkok, 30 Maret 1981, Asintel Hankam/Kepala Pusintelstrat/Asisten Kopkamtib Letjen LB Moerdani, memanggil Sintong, "Tong, kamu jangan pakai senjata itu. Kalau kamu tembakkan M16 di pesawat, bisa meledak pesawat itu nanti."

Benny, sapaan akrab Moerdani, lalu memberikan senapan serbu MP 5 SD 2, buatan Jerman. Sintong pernah mencoba senjata itu di tanah kelahirannya. Namun, anak buahnya belum pernah. Ia minta kesempatan ke Benny untuk mencoba.

"Pak, kami mohon izin untuk diberi kesempatan menembak sebentar untuk mengetahui karakteristik senjata ini," kata Sintong seperti dituliskan jurnalis Hendro Subroto dalam Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.

"Kau takut?" kata Benny dengan nada tinggi. Benny terkenal sebagai perwira yang galak. Unsmiling general, kata beberapa orang. Seluruh anggota tim diminta masuk pesawat.

Saat telah di pesawat, Sintong kembali menemui Benny. Ia bilang, "Saya ingin berhasil, Pak. Tapi kalau Bapak memerintahkan untuk berangkat, tentu saya laksanakan."

Benny membisu. Namun kemudian dia menuju kokpit. Tiba-tiba mesin pesawat dimatikan.

Dengan suara keras, setelah kembali dari kokpit, Benny menyeru ke Sintong, "Hei, Batak, turun kau. Bawa anak buahmu."

Sebanyak 30 anggota tim turun dari pesawat. Keberangkatan ditunda. Ternyata mereka diberi kesempatan berlatih dengan MP 5 SD 2.

Sintong dan anak buahnya menembak ke arah tanggul. Ceett...ternyata seluruh senapan tak berfungsi, gagal melontarkan peluru. 

Benny kaget bukan kepalang. MP 5 SD 2 bukan senapan sembarangan. Senapan ini digunakan tim antiteror GSG-9 untuk membebaskan sandera di pesawat Lufthansa yang dibajak di Mogadishu, Somalia.

Ada beberapa spekulasi. Mungkin peluru senapan ini tak boleh disimpan terlalu lama di tempat yang berkelembapan tinggi. Atau memang telah kedaluwarsa.

Segera diambil peluru-peluru baru di Tebet, Jakarta Selatan. Hasilnya, semua senapan berfungsi dengan baik. 

Operasi pembebasan Woyla berjalan sukses keesokan harinya. Lima  pembajak tewas didor dengan peluru baru tersebut. Semua penumpang, 48 orang, selamat.

Namun, Kapten Pilot Herman Rante dan anak buah Sintong, Capa Achmad Kirang, menemui ajal.

Para pembajak tergabung dalam Komando Jihad, yang dipimpin Imran Zein. Beberapa hari sebelumnya, anggota Komando Jihad menyerbu Kosekta Cicendo, Bandung.  Empat polisi tewas, beberapa pucuk senjata dirampas.

Imran tak ikut dalam pembajakan. Ia kemudian ditangkap dan divonis hukuman mati.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya