Liputan6.com, Jakarta - "Kami dibuang dulu. Dikucilkan di sini. Ya kami korban politik, mau dimatikan tapi tidak bisa," ungkap Alberto Quiko mengawali perbincangan tentang sejarah bangsa Portugis di Jakarta, Kampung Tugu, Semper Barat, Jakarta Utara, Kamis 30 Maret malam.
Pria berusia 41 tahun itu mengaku mendapat cerita asal usul Kampung Tugu, Gereja Tugu, hingga keturunan bangsa Portugis dari sang kakek dan orangtuanya, yang telah lama meninggal.
Baca Juga
Pria keturunan bangsa Portugis yang tinggal di Kampung Tugu itu kini menjaga Gereja Tugu di kompleks tersebut. Kampung ini dinyatakan menjadi cagar budaya pada 18 tahun lalu atau tepatnya pada 1999.
Advertisement
"Di sini dulu hutan. Pohon kusta dulu hutan ini. Banyak binatang buas. Ya kita korban politik kalah dari Belanda dibuang, diasingkan. Dulu mau dihabisin (dibunuh), tapi saat itu aturannya enggak boleh. jadi disisihkanlah istilahnya, terus dikirim ke sini," kata Alberto.
Konon sekitar abad ke-16, ada ratusan keluarga bangsa Portugis dipindahkan menggunakan kapal secara bergelombang, kemudian diasingkan ke Kampung Tugu.
"Dulu bertahan hidupnya berburu sama nyari ikan (nelayan). Semua keluarga kami awalnya hanya berlindung di bawah pohon. Dulu pohon kusta banyak, kan buahnya kaya Delima. Bisa dimakan sama biasanya dibuat dodol," ujar dia.
Tinggal di hutan membuat keberadaan bangsa Portugis terancam. Tak sedikit dari mereka tewas lantaran serangan hewan buas dan malaria. Hanya tersisa sekitar enam keluarga atau ikatan keluarga yang biasa disebut Fam. Mereka adalah fam Andries, Cornelis, Abraham, Michel, Quicko, dan Browne.
"Namanya tinggal di hutan, ya risikonya tahu, ada binatang buas. Terus waktu itu juga banyak yang kena malaria. Di sini itu ada enam keluarga atau fam seingat saya saat ini. Tapi dulu banyak ada yang ke Papua sama Belanda akhirnya kan," ujar Alberto.
Kini, warga keturunan Portugis tinggal di sekitar Kampung Tugu, seperti Kampung Kurus hingga Simpang Lima. Namun tak sedikit pula yang pindah ke tempat lain.
Namun biasanya mereka akan bertemu setiap Natal tiba. Mereka umumnya berziarah ke makam keluarganya yang masih berada di kompleks Gereja Tugu atau Kampung Tugu.
"Tersebar dulu sampai Simpang Lima. Tapi saat ini cuma ada di Kampung Kurus sama Tugu. Ya banyak yang udah pindah ada yang rumahnya dijual ke pendatang, terus minggir ke Bekasi. Tapi kalau malam Natal, Misa kita ketemu, kan pada ziarah juga," kata Arlberto.
Gereja dan Keroncong Tugu
Pengasingan keluarga Portugis terus dilakukan Belanda di Kampung Tugu. Bahkan, saat itu ratusan keluarga mulai mendirikan gubuk atau bangunan sampai Simpang Lima, Semper, Jakarta Utara.
Saat itu pula, bangsa Portugis sepakat membangun gereja dalam kompleks untuk memudahkan beribadah. Saat ini geraja tersebut dikenal dengan nama Gereja Tugu.
"Ini gereja tidak menghadap jalan dan masih menghadap timur, karena dulu kan jalur arus lalu lintas masih lewat laut. Sekarang Cakung drain itu," ujar Roberto.
Warga keturunan Portugis juga mendirikan rumah dekat gereja untuk pendeta. Bangunan gereja dan rumah saat itu berbentuk menyerupai rumah Kebaya--sekarang disebut rumah adat Betawi.
Selain gereja, warga Portugis juga mendirikan lonceng raksasa. Lonceng tersebut berfungsi untuk memberitahukan tanda bahaya.
"Dulu itu bangunan utama, gereja, lonceng, terus sama rumah pendeta. Dulu enggak hanya rumah pendeta di sini, dulu rumah warga semua dalam kompleks ini kan dulu berkumpul semua warga. Nah, lonceng itu buat kasih tahu bencana, misal ada kebakaran," Roberto memaparkan.
Untuk menghibur diri, warga Portugis biasanya berkumpul di bawah pohon sambil memainkan alat musik seadanya. Alat musik saat itu berasal dari pohon bulat dan dibuat menyerupai ukulele.
"Kalau dulu semua bisa main musik karena dulu kan di hutan. Menghibur saja. Dulu satu-satunya hiburan ya musik. Kita kumpul di bawah pohon nyanyi-nyanyi hibur diri," ujar Roberto terdiam sejenak.
Bapak tiga anak itu mengaku teringat sosok sang kakek dan ayahnya. Dengan kedua mata berkaca-kaca, dia melanjutkan ceritanya.
"Dari pohon bulat kaya ukulele gitu jadinya dikasih namanya macina. Awalnya, itu saja alat musiknya," ungkap dia.
Tembang-tembang yang dinyanyikan bangsa Portugis kala itu adalah musik keroncong. Bahkan, buyut Alberto satu di antara pencipta keroncong yang kini dikenal bernama Keroncong Tugu.
"Keroncong memang khas. Saya enggak tahu persis soal lahirnya keroncong di mana ya lebih dulu. Yang pasti dulu opah saya opah Jacobus Dwiko Quicko ikut bermusik di sini dan musiknya keroncong," kenang Alberto.
Musik Keroncong Tugu terus dilestarikan turun-temurun dari bangsa Portugis. Bahkan, kelompok pemain Keroncong Tugu kini dikenal dengan Orkes Poesaka Kerontjong Tugu. Grup yang diisi keturunan Portugis itu sudah tersohor, undangan kenegaraan atau tampil di televisi sudah mereka rasakan.
"Dulu itu namanya Orkes Keroncong Moresco Toegoe Anno 1600-an. Lagunya dulu juga bahasa Portugis Tugu atau Papia. Ciptaannya ada juga Melayu sama Betawi," ujar Roberto.
Advertisement
Hantu Cantik dan Derap Prajurit
Bangunan tua, makam, dan bekas hutan yang kini menjadi kompleks Gereja Tugu atau Kampung Tugu, menyelipkan cerita mistis.
Banyak pengunjung atau warga keturunan Portugis yang sering melihat penampakan di dalam kompleks Gereja Tugu. Khususnya di area makam yang terdapat di halaman depan.
Alberto yang sudah tujuh tahun menjaga kompleks Gereja Tugu pun kerap merasakan kehadiran sosok yang tak kasat mata. Biasanya, hawa dingin lebih dulu dirasakan sebelum ada penampakan.
"Sebelum jaga sini juga udah tahu dan dengar banyak cerita. Banyak yang lihat terus kadang langsung bilang ke saya 'Pak itu ada yang pakai gaun-gaun siapa?'" kata dia.
"Biasanya tampilannya kaya perempuan bangsawan. Nona disebutnya atau kalau yang pakai topi bundar penampilan juga bangsawan gaya sinyo Belanda gitu," Alberto melanjutkan.
Tak hanya di makam yang sering kali muncul penampakan nona cantik, warga dan pengunjung Kampung Tugu juga seringkali dikagetkan dengan suara derap langkah kaki prajurit.
Selain itu, banyak cerita penampakan rombongan prajurit Belanda yang sedang berjaga di pintu pagar kompleks Kampung Tugu.
"Di depan makam, di depan pagar itu ada kaya laskar, sebutannya Kenil. Pasukan Belanda topi bulat putih sambil megang senjata. Kehadiran beliau (makhluk gaib) itu sering juga," ujar Alberto sambil berjalan menyusuri makam, menunjukkan barisan makam tua di Kampung Tugu.
Di makam ini, pohon-pohon besar jadi payung bagi peziarah pada siang hari. Nisan bertuliskan nama-nama Portugis menjadi penegas jejak mereka di Jakarta Utara. Kini kompleks Gereja Tugu sudah menjadi benda cagar budaya yang harus dijaga.
"Dulu cerita awalnya jadi cagar budaya itu saat Gubernur Ali Sadikin datang ke mari bersama Dubes Portugal, Antonio Dapinto. Waktu itu Ali Sadikin tanya ke Antonio, apa yang bisa dibantu? Nah, Antonio saat itu tidak minta apa-apa ya, tapi tolong diperhatikan ini (Kampung Tugu)," cerita Alberto.
Dalam Kampung Tugu, selain berdiri gereja dan makam, terdapat pula ruang pastor yang berada di sisi barat gereja. Sementara di sisi timur gereja berdiri bangunan Yeruel, ruang rapat, sekretariat, dan sekolah mingguan.
Di sisi selatan gereja juga terdapat puluhan makam. Sementara, warga keturunan Portugis yang semula tinggal di dalam Kampung Tugu, kini berpindah ke Kampung Kurus.
"Tinggalnya nyebar sampai Simpang Lima. Yang masih dominan warga keturunan (Portugis) ya di Kampung Kurus. Kampung Kurus bukan karena orangnya kurus, tapi jalannya lurus, terus diplesetin saja," Alberto mengakhiri cerita.