Sidang Kasus Bakamla, Saksi Ungkap Aliran Dana ke Bambang Udoyo

Danang mengaku pernah ikut saat uang dugaan suap diantarkan ke Bambang Udoyo, seminggu sebelum terjadinya operasi tangkap tangan oleh KPK.

oleh Moch Harun Syah diperbarui 11 Apr 2017, 00:49 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2017, 00:49 WIB
20170110-Fahmi-Darmawansyah-HA1
Direktur Utama PT. MTI, Fahmi Darmawansyah usai diperiksa penyidik KPK, Jakarta, Selasa (10/1). Fahmi diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pengadaan alat satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Sidang kasus dugaan suap pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla) dengan terdakwa Fahmi Dharmawansyah kembali digelar di PN Tipikor, Jakarta Pusat. Dalam sidang, saksi Danang Sriradyo Hutomo mengatakan, ada aliran dana yang masuk ke pejabat Bakamla. Salah satunya kepada Laksamana Pertama Bambang Udoyo.

Danang adalah pegawai PT Melati Technofo Indonesia (MTI). Dia mengaku pernah ikut saat uang dugaan suap diantarkan ke Bambang Udoyo. Seingatnya, dana itu diantar seminggu sebelum terjadinya operasi tangkap tangan oleh KPK.

"Pernah (diajak membawa uang ke Bakamla). Ke yang namanya Bambang dia sebagai PPK. Dana diantar seminggu sebelum OTT, dianter ke Bakamla ke ruang Bambang Udoyo. Sekitar Rp 1 miliar. Saya cuma diajak, saya yang anterin karena sudah kenal Bambang," kata Danang dalam sidang, Senin (10/4/2017).

Dalam kasus suap Bakamla ini, suami dari artis Inneke Koesherawati didakwa telah menyuap pejabat Bakamla Eko Susilo Hadi agar pihaknya mendapat proyek tersebut. Suap diberikan melalui anak buahnya, Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus.

Dalam dakwaan, selain Bambang, Novel Hasan selaku Kabiro Perencanaan dan Organisasi Bakamla juga disebut telah menerima uang Rp 1 miliar dari Fahmi. Namun, dana untuk Novel, Danang mengaku tidak mengetahuinya. "Saya tidak tahu," ujar dia.

Baru Sebatas Pengakuan

Sementara, penasihat hukum Hardy Stefanus yang juga menjadi terdakwa kasus tersebut, Saut Raja Gukguk mengatakan KPK tak boleh menyeret keterlibatan sejumlah pihak tanpa ada bukti yang jelas. Apalagi penyebutan itu hanya atas dasar pengakuan belaka.

"Jangan dong seolah-olah orang ini menerima uang, asas praduga tak bersalah itu kan harus ada. Jangan sampai hanya menduga-duga. Cari dong buktinya," ungkap Saut ditemui usai sidang.

Dia melanjutkan, KPK harus profesional dalam mengusut kasus ini. Dia menegaskan, harus ada bukti kuat dalam hal ini uang suap yang katanya Rp 54 miliar itu.

"Jangan sampai kasus ini seksi cuman karena menduga-duga. Kan barang bukti yang bicara. Kalau memang ada uang Rp 54 miliar (uang suap), ya tunjukkan dong. Selama sidang saya belum pernah lihat bukti itu, selama ini hanya menduga-menduga. Sekarang saya tantang KPK hadirkan uang itu di sidang kalau memang itu ada," Saut menandaskan.

Empat Tersangka

Dalam dakwaan, Hardi Stefanus melakukan suap demi memenangkan perusahaan PT MTI milik bosnya tersebut dalam pengadaan alat monitoring satelit di Bakamla pada APBN-P Tahun Anggaran 2016.

"Hardy Stefanus melakukan suap secara bersama-sama dengan Muhammad Adami Okta dan Fahmi Darmawansyah secara berturut dalam kurun waktu November hingga Desember tahun 2016," kata jaksa Kiki.

KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan suap di Bakamla ini. Mereka adalah Deputi Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla, Eko Susilo Hadi, serta tiga pejabat PT Mertial Esa yakni Fahmi Dharmawansyah, Hardi Stefanus, dan Muhammad Adami Okta.

Ketiga pejabat PT ME sebagai pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana telah diubah pada UU 20 Tahun 2001 jo 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Untuk Eko Susilo sebagai penerima suap, KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya