Liputan6.com, Manila - Indonesia telah mengajukan usulan baru terkait resolusi penyelesaian krisis kemanusiaan terhadap etnis Rohingya dalam Sidang Umum ke-38 Parlemen Se-Asia Tenggara atau ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) di Filipina. Namun, delegasi Myanmar kembali menolaknya.
Sidang pun berlangsung panas karena terjadi perdebatan antar-negara yang menolak dan mendukung usulan Indonesia. Bahkan, karena tidak terjadi kesepakatan, Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen DPR RI Nurhayati Ali Assegaf melakukan walkout usai menyampaikan keprihatinannya terhadap sikap sejumlah delegasi parlemen di Asia Tenggara yang dianggapnya tak peduli dengan nasib wanita dan anak-anak etnis Rohingya yang menjadi korban kekerasan di Myanmar.
"Saya sedih, karena masalah kemanusian itu yang menjadi korban itu permepuan dan anak, kenapa kalian tidak peduli. Kalian hanya peduli dengan masalah kalian sendiri. Padahal kalian punya ibu, anak, saudara perempuan," ujar politikus Partai Demokrat itu yang langsung meninggalkan ruang sidang di Makati Shangrila Hotel, Manila, Filipina, Sabtu (16/9/2017).
Advertisement
Menanggapi penolakan Myanmar, Ketua Delegasi Parlemen Indonesia Fadli Zon akhirnya menyatakan tidak mau menyetujui seluruh usulan resolusi dari semua negara dibahas dalam Sidang Umum AIPA.
"Dalam pertemuan executive meeting ini kami tetap meminta ada usulan Resolusi Rohingya dari Indonesia tetap masuk dalam agenda pembicaraan politik. Ada delapan agenda di situ, yang kedelapan inilah masalah humanitarian isue yang sudah diperbaiki. Tetapi pihak Myanmar tetap menolak. Karena pihak Myanmar tetap menolak maka posisi kami menyampaikan semua yang menyangkut masalah isu politik sebaiknya di-drop," ujar Fadli.
Karena statuta AIPA tidak membolehkan adanya pengambilan keputusan secara voting, maka bila ada satu negara yang tidak setuju dengan usulan negara lainnya, otomatis tidak akan terjadi kesepakatan.
"Konstitusi AIPA itu harus ada konsensus, meskipun tadi terjadi perdebatan yang sangat alot dan cukup lama maka saya meminta agar semua tidak bisa dibicarakan kecuali usulan Indonesia tentang Rohingya juga dibicarakan. Dan akhirnya keputusannya adalah semua tidak bisa dibicarakan. Sehingga dalam AIPA yang ke-38 ini tidak ada agenda politik. Yang dibicarakan hanya agenda ekonomi, sosial, dan organisasi," ujar Wakil Ketua DPR ini.
Langkah ini, jelas dia, merupakan bagian dari upaya Indonesia mempertahankan agar krisis kemanusiaan terhadap etnis Rohingya menjadi perhatian seluruh parlemen negara-negara di Asia Tenggara. "Karena kita tidak ingin juga Indonesia tidak dihargai, saya pikir tadi apa yang kita lakukan itu menunjukkan sikap bahwa ada yang harus diubah dalam konstitusi AIPA itu sendiri terkait konsensus."
Menurut politikus Partai Gerindra ini, sebenarnya Indonesia tidak ada masalah dengan seluruh agenda yang diusulkan dalam komite politik AIPA. Namun karena usulan Indonesia dikesampingkan begitu saja karena Myanmar menolak, maka Indonesia juga melakukan hal yang sama.
"Kami menyatakan bahwa kami menolak semua agenda dibicarakan. Dan karena menolak sehingga tidak terjadi konsensus, maka semuanya menjadi tidak ada pembahasan. Ini pertama kali dalam sejarah AIPA tidak ada pembicaraan masalah politik," Fadli memungkas.
Didukung Malaysia
Sebelumnya, Indonesia yang mendapat dukungan dari Malaysia menyodorkan usulan resolusi baru terkait krisis kemanusiaan. Dalam draft usulan yang diterima Liputan6.com, ada sejumlah perubahan yang dilakukan Indonesia bersama Malaysia. Usulan sebelumnya berjudul 'Resolusi Serangan Kekerasan Terhadap Rohingya dan Krisis Kemanusiaan di Myanmar' berubah menjadi 'Resolusi Memperkuat Upaya Parlemen Pada Isu Kemanusiaan di Asia Tenggara'.
Pada usulan resolusi terbaru ini, Indonesia bersama Malaysia mendesak Komisi Investigasi yang dibentuk Presiden Republik Myanmar untuk menyelesaikan penyelidikan kasus kekerasan terhadap etnis Rohingya dan menyerahkan hasilnya kepada semua pemangku kepentingan, dan meminta semua negara untuk memberikan bantuan kemanusiaan yang dibutuhkan di Negara Bagian Rakhine, terutama pemenuhan kebutuhan dasar mereka.
Selain itu, Indonesia dan Malaysia meminta AIPA memastikan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak-anak serta perlindungan kesejahteraan mereka selama konflik dan situasi yang rapuh, terutama perlindungan dari kekerasan seksual dan berbasis gender.
Seluruh anggota AIPA juga diminta mendukung pemerintah Myanmar melaksanakan rekomendasi Komisi Penasihat PBB di Rakhine untuk mendapatkan solusi segera terhadap krisis kemanusiaan saat ini dan mengkomunikasikan fakta tersebut di atas negara-negara anggota ASEAN lainnya.
Advertisement