Liputan6.com, Jakarta - Jantung Brigadir Jenderal Eko Daniyanto berdegup cukup kencang, Minggu 17 September 2017 pagi. Kala itu, Eko sedang memimpin operasi penangkapan Budi Purnomo, bos pabrik narkotika yang memproduksi pil paracetamol, caffeine, carisoprodol (PCC).
Sudah enam bulan, bersama penyidik Direktorat Tindak Pidana Narkotika Badan Reserse Kriminal Polri, Eko mengendus keberadaan Budi. Semalam sebelumnya, Budi terdeteksi berada di sebuah hotel di Bekasi, Jawa Barat.
Benak Eko sempat dihampiri kekhawatiran. Lantaran, Budi kerap lolos saat hendak ditangkap. “Orang ini lincah setiap kami ikuti,” kata lelaki yang menjabat Direktur Tindak Pidana Narkotika Badan Reserse Kriminal Polri ini kepada Liputan6.com, Senin 2 Oktober 2017.
Advertisement
Eko memutar otak dan memasang jebakan dengan memerintahkan anak buahnya menyamar menjadi penyidik yang mau disuap. Penyamaran dilakukan.
Penyidik yang menyamar itu kemudian menawarkan jasa untuk meloloskan Budi dari penangkapan. Syaratnya, fulus Rp 500 juta dan langsung diantar Budi. Target sepakat dengan tawaran jasa itu.
Kekhawatiran Eko terbukti. Budi tak datang sendiri melainkan menyuruh seorang pemuda, yang tak lain anaknya sendiri. Eko naik pitam. Ia menginterogasi sang pemuda untuk menunjukkan tempat Budi bersembunyi.
Tak butuh waktu lama, Eko bergegas menuju kamar 1410 Hotel Aston, Bekasi. Tepat pukul 04.00 WIB, Eko mencokok Budi. “Sejak enam bulan lalu kami melakukan penyelidikan terhadap seseorang, dengan inisial BP, tapi sukar sekali,” kata Eko.
Penangkapan Budi merupakan pengembangan kasus pil PCC yang sempat meresahkan warga di Kendari, Sulawesi Tenggara, pertengahan September lalu. Kala itu, puluhan remaja tak sadarkan diri setelah mengonsumsi PCC dengan minuman berenergi. Enam di antaranya bahkan dijemput ajal.
Polisi mendapati pil yang dulu digunakan untuk mengobati penyakit jantung itu dikirim dari Pulau Jawa. Sembari memantau Kendari, polisi bergerak mengendus siapa pengirim barang. Tak dinyana, pengirim rupanya bakal mengirim ulang barang sejenis ke Kendari melalui Makassar.
Tak berapa lama, polisi mencokok Muhammad Said Aqil Siraj yang menjadi pengirim. Dari Said, bisnis pil kian jelas terungkap. Polisi kemudian menangkap Wil Yendra. Kedua tersangka ini kemudian mengakui, PCC yang akan dikirim milik pasangan suami istri Budi Purnomo dan Leni Kusmiati Wulan, pemilik pabrik pil di sejumlah tempat.
Berbekal keterangan dua kaki tangan pemilik pabrik, Polisi kemudian menggerebek rumah Budi-Leni di Bekasi, Jawa Barat. Dari penggerebekan itu, polisi hanya menangkap Leni, sedangkan Budi berhasil lolos. Dari Leni, jejak Budi lamat-lamat terendus. Ia akhirnya ditangkap setelah mengirim duit yang diantarkan anaknya.
“Dia memang binatang. Anak sendiri dikorbankan,” kata Eko.
Sewindu Memproduksi PCC
Kepada Liputan6.com, Budi mengatakan, bisnis pil baru dijalannyai sejak 2015. Ia menyebut, usahanya dilakukan sendiri tanpa bantuan istri. Dalam sehari, pabrik milik Budi bisa menghasilkan 50 hingga 60 kg pil. Dalam sebulan, pabrik bisa menghasilkan 800 ribu butir.
Lelaki 46 tahun ini menyatakan PCC merupakan obat untuk mengatasi gangguan nyeri otot. Meskipun, bisa digunakan untuk merasakan sensasi khas. “Seperti minum alkohol aja. Ya kayak gitu, ngefly sedikit,” kata Budi saat ditemui di Rutan Narkoba Bareskrim.
Pengakuan Budi berkebalikan dengan fakta yang dikumpulkan penyidik. PCC merupakan pil campuran sejumlah bahan aktif. Salah satu bahannya adalah carisoprodol yang sudah dilarang BPOM sejak 2013.
Ini membuat polisi curiga bahwa bisnis haram yang dilakukan Budi Purnomo dan Leni Kusmiati Wulan sudah berlangsung lama. Brigjen Eko mengatakan, kecurigaan ini berdasarkan temuan yang didapat polisi setelah menggerebek di tiga tempat terkait kasus Budi ini.
Penggerebekan pertama dilakukan di Cihapit, Cimahi, Jawa Barat, Senin 18 September 2017. Di lokasi ini, polisi menggerebek gudang penyimpanan bahan baku sekaligus pabrik, dan menyita 4 ton bahan baku untuk membuat 8 juta pil PCC dan 2 truk boks.
Pada hari yang sama, tim lain menggerebek sebuah rumah di Mulyorejo, Surabaya, Jawa Timur. Di tempat ini, tim menemukan 1,2 juta butir pil zenith, 35 ribu butir pil carnophen, dan 100 ribu butir pil dexomethorpan.
Sehari berselang, penyidik menggerebek dua ruko di Baturaden, Purwokerto, Jawa Tengah. Ruko tersebut digunakan Budi sebagai pabrik. Di lokasi, polisi mendapati sejumlah alat seperti empat mixer dan tiga alat pemanas yang diduga telah digunakan lebih dari tiga tahun.
“Bahkan informasi di lapangan, (pabrik) sudah hampir 8 tahun,” ujar Eko.
Temuan ini membuat polisi yakin Budi tak bekerja sendiri. Dari hasil pemeriksaan, ditemukan fakta bahwa Budi bagian dari jaringan kejahatan transnasional. Menurut Eko, Budi bekerja sama dengan sindikat dari Singapura dan India, untuk mendatangkan bahan baku.
Saat memesan bahan baku, Budi mengontak SY, temannya di Singapura. Kemudian, dia membayar uang muka ke perusahaan yang ditunjuk SY sebagai rekan di Indonesia. Setelah uang diterima, SY menghubungi jaringan di India. Bahan baku tersebut kemudian dikirim dari India dan transit di Singapura.
“Dalam tempo seminggu, barang dari Singapura tiba di Tanjung Priok,” ungkap Eko.
Budi tak membantah ihwal dirinya terkait jaringan transnasional. Sebab, kata Budi, ia memang sudah berbisnis pil PCC selama 15 tahun. Jauh sebelum PCC resmi dikategorikan obat adiktif oleh BPOM. “Dulu kan resmi,” kata Budi.
Advertisement
Jalur Distribusi PCC
Selama 15 tahun menjadi penjual, Budi tak pernah terendus petugas. Meski carisoprodol sudah dilarang sejak 2013, Budi dengan bebas menjajakan PCC ke sejumlah tempat. Wilayah yang paling sering dikirim adalah Makassar. Di Ibu Kota Sulawesi Selatan, Budi punya jaringan yang menyebarkan pil produksi pabriknya.
Dalam melakukan kejahatannya, Budi cukup pintar memilah lokasi. Cimahi, Surabaya, dan Purwokerto adalah tiga lokasi yang digunakan Budi untuk tiga fungsi berbeda. Di Cimahi menjadi tempat Budi menyimpan bahan-bahan pembuatan PCC yang baru diangkut dari Tanjung Priok.
Kelak, bahan-bahan itu dikirim ke Purwokerto. Tepatnya di Baturaden, lokasi tersebut menjadi pabrik pembuatan pil PCC. Usai bahan baku dicetak dalam bentuk butir pil PCC, lantas dikirim menggunakan truk ke Mulyorejo, Surabaya.
Selain pintar memilah tempat, Budi juga punya pintar mengelabui orang. Bertahun-tahun, warga sekitar ruko di Baturaden, tak menyadari jika ruko tersebut dijadikan pabrik pembuatan pil PCC. Kepintaran ini juga digunakan Budi buat mengelabui Haryoko Setiawan.
Haryoko merupakan tukang ojek yang diminta Budi untuk menjaga pil PCC dan mengantar ke ekspedisi untuk dikirim ke pemesan. Selama bekerja kepada Budi, Haryoko tak pernah tahu jika barang yang dia jaga dan antarkan adalah PCC.
Perihal wilayah pemasaran, Budi mendistribusikannya ke Bandung, Surabaya, serta sejumlah kota di Jawa Tengah, Kalimantan, dan Sulawesi. Di daerah tersebut, Budi punya kaki tangan yang akan mendistribusikan ke daerah lain. Namun, Budi memutus rantai keterlibatan dirinya dalam distribusi ke pelosok.
Ini seperti yang dilakukan di Sulawesi. Budi hanya mendistribusikan ke dua kaki tangannya di Makassar. Jaringannya di Makassar ini kemudian mendistribusikan ke daerah lain di Sulawesi. “Satu-dua orang saja,” kata Budi.
Selain mengefisienkan jalur distribusi, Budi juga mengefektifkan penghasilan. Biasanya, Budi menjual pil dalam ukuran karton atau koli yang berisi 20 ribu butir. Harganya Rp 25 juta-30 juta. Walhasil, dia meraup penghasilan fantastis dalam sebulan, yakni Rp 1,2 miliar-2 miliar. Hasil penjualan ini yang kemudian disimpan di rekening anaknya.
“Kami kenakan pasal TPPU. Jadi ada dua UU yang kami kenakan, UU Kesehatan dan UU TPPU,” kata Eko.