Kuasa Hukum Sebut Setnov Jadi Tersangka Lagi Menyalahi UUD 1945

Menurut dia, penetapan tersangka Setnov adalah keputusan yang bertentangan dengan hierarki hukum atau peraturan perundang-undangan.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 12 Nov 2017, 14:12 WIB
Diterbitkan 12 Nov 2017, 14:12 WIB
Akhirnya, Setya Novanto Hadiri Persidangan Kasus e-KTP
Ketua DPR Setya Novanto saat menghadiri sidang kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (3/11). Dalam sidang tersebut, beberapa kali Setnov mengaku lupa saat ditanya hakim maupun jaksa penuntut umum. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Kuasa hukum Setya Novanto, Fredrick Yunadi tak terima atas penetapan kembali Ketua DPR itu menjadi tersangka korupsi e-KTP. Menurutnya, penetapan kembali Setnov sebagai tersangka oleh KPK adalah keputusan yang sudah menyalahi aturan hukum yang berlaku.

Ia menegaskan, keputusan KPK yang menetapkan status tersangka Setnov telah bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 serta Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3).

"Di dalam UUD 1945 Pasal 21 (a) ayat 3, sangat jelas menyatakan bahwa setiap anggota dewan atau DPR mempunyai hak imunitas. Jadi dalam hal ini, berarti tidak ada seorang pun yang bisa memanggil dan memeriksa Pak Ketua, bukan hanya KPK lho yaa," kata Fredrick di DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Minggu (12/11/2017).

Menurut dia, sekalipun KPK menjadi garda terdepan sebagai lembaga pemberantasan korupsi serta bersifat khusus dalam menangani perkara dugaan korupsi, tetap harus tunduk pada ketentuan UUD 1945.

"Jadi kalau ada yang bilang KPK itu lex specialis, harus tetap mengikuti hierarki perundang-undangan, yang paling tinggi UUD 45, sehingga UU Nomor 31 Tahun 1999 itu harus tunduk dan mengikuti dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945," papar dia.

Dengan demikian, ia berujar, keputusan KPK pada Jumat 10 November 2017 lalu yang menetapkan kembali Setnov sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP, adalah keputusan yang bertentangan dengan hierarki hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sehingga, lanjut dia, KPK sudah tidak lagi sejalan dengan amanah UUD 1945 sebagai induk dari seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

"Jadi apa pun langkah yang diambil, kita akan tetap jalan berdasarkan rule of law, kita berdasarkan hukum, kalau mereka ada pihak-pihak tertentu mengklaim dirinya punya wewenang, berarti mereka tidak patuh kepada UUD, sebaiknya mereka itu keluar dari Indonesia, jangan jadi warga Indonesia," ujar Fredrick.

Bukti Baru KPK

Sementara itu, KPK mengklaim punya bukti baru yang cukup kuat untuk menjerat Setnov sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP.

"Ada sejumlah bukti yang sudah ada sebelumnya. Ada bukti-bukti baru yang juga kita dapatkan sehingga syarat bukti permulaan yang cukup itu sudah terpenuhi," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat 10 November 2017.

Pencarian bukti baru yang dilakukan KPK diduga berdasarkan keputusan Hakim Cepi Iskandar dalam proses praperadilan yang dilayangkan pihak Setnov beberapa waktu lalu.

Dalam putusannya, ia menyatakan bukti dalam penyelidikan maupun penyidikan seorang tersangka tak bisa dijadikan alat bukti untuk menjerat tersangka lain.

Menurut dia, KPK sudah bekerja menemukan bukti baru tersebut. Penyidik KPK, lanjut dia, sudah memeriksa beberapa saksi. Saksi-saksi tersebut dari unsur Anggota DPR, Kementerian, dan pihak swasta.

"Nanti kami sampaikan lebih lanjut update-nya secara lebih rinci. Saat ini kami masih membutuhkan beberapa kegiatan dalam proses penyidikan, sehingga kita belum bisa bicara hal-hal yang sifatnya teknis di penyidikan," kata Febri.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya