Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP. Lalu, kapan KPK akan menahan Ketua Umum Partai Golkar tersebut?
"Penahanan itu sama seperti semua kasus. Tapi saat ini kami fokus dulu pada pemeriksaan saksi ataupun pemeriksaan tersangka nantinya," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (10/10/2017).
Febri mengatakan, dia belum menerima informasi lanjutan terkait waktu pemeriksaan untuk Setya Novanto sebagai tersangka. Termasuk pemanggilan saksi-saksi yang berkaitan dengan Setya Novanto.
Advertisement
"Saya belum dapat informasi terkait dengan tanggal. Tapi ini standar saja dalam proses penyidikan ada pemeriksaan saksi, ada pemeriksaan tersangka, ada permintaan keterangan ahli dan pengumpulan bukti-bukti lain," kata Febri.
Menurut Febri, dalam pengusutan kasus e-KTP dengan tersangka Setnov, penyidik KPK akan memanggil saksi baru yang sebelumnya tak pernah diperiksa dengan tersangka e-KTP lainnya.
"Dari hasil evaluasi tim penyidik, hanya saksi-saksi yang relevan saja yang akan dipanggil, jadi tidak perlu harus semua saksi tersebut diperiksa. Dan selain itu, terdapat juga beberapa saksi-saksi baru yang belum dipanggil pada proses penyidikan untuk Irman dan Sugiharto yang juga perlu kita periksa lebih lanjut," kata Febri.
Â
Penetapan Tersangka
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus megakorupsi KTP elektronik (e-KTP). Status tersebut diumumkan pada Jumat (10/11/2017) di Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan.
"Setelah proses penyelidikan dan ada bukti permulaan yang cukup, kemudian pimpinan KPK, penyelidik, penyidik, dan penuntut umum melakukan gelar perkara pada 28 Oktober KPK menerbitkan sprindik atas nama tersangka SN, sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
KPK menerbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik) pada 31 Oktober 2017. Kasus ini diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari total paket pengadaan senilai Rp 5,9 triliun.
Advertisement