Kisah Horor Pembantaian Rawagede 70 Tahun Lalu

Tentara Belanda menyerang Rawagede Karawang pada 9 Desember 1947. Ratusan penduduk tewas dalam peristiwa mengerikan tersebut.

oleh Yusron Fahmi diperbarui 09 Des 2017, 08:06 WIB
Diterbitkan 09 Des 2017, 08:06 WIB
Yusron Fahmi/Liputan6.com
Pembantaian Rawagede oleh tentara Belanda menewaskan ratusan orang (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Senin, 9 Desember 1947 atau tepat 70 tahun lalu, menjadi hari tak terlupakan bagi warga Rawagede, Karawang.

Kenangan menyeramkan itu tak lantas terhapus meski nama tempat telah berganti nama. Rawagede sekarang bernama Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang.

Kala itu, 300 tentara Belanda yang dipimpin Mayor Alphons Wijnen, masuk ke Rawagede untuk satu tujuan: mencari dan menangkap Kapten Lukas Kustaryo, komandan kompi Divisi Siliwangi yang kerap membuat repot Belanda. Oleh prajurit NICA dia dijuluki "Begundal Karawang".

Kesal buruannya tak ditemukan karena sudah kabur sehari sebelumnya, serdadu Belanda murka. Tak butuh waktu lama, pembantaian membabi buta terjadi. Sebanyak 431 warga Rawagede tewas di sejumlah lokasi.

Hujan yang mengguyur di hari nahas itu membuat suasana kian menyayat. Perempuan dan anak-anak -- hanya mereka yang tersisa -- mengubur jasad para korban dengan tenaga dan alat seadanya.

Pembantaian Rawagede dianggap tindakan kriminal paling brutal yang dilakukan Belanda dalam kurun waktu 1945 sampai 1949.

Seorang veteran tentara Belanda yang terlibat peristiwa tersebut, dalam surat yang dikirim kepada Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), membeberkan bagaimana horor yang dialami warga Rawagede saat itu.

"Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata dll)

Jam setengah enam pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati. JUMLAHNYA RATUSAN." tulis sang veteran tanpa nama yang diketahui berasal dari Wamel, sebuah desa di Provinsi Gerderland, Belanda Timur.

Tak sampai di situ, sang veteran juga menulis bagaimana tentara Belanda kemudian mengumpulkan warga tersisa dan memaksa mereka jongkok dengan tangan dilipat ke belakang leher. 

"Semua lelaki ditembak mati, kami dinamai 'Angkatan Darat Kerajaan'. Semua perempuan ditembak mati, padahal kami datang dari negara demokratis. Semua anak ditembak mati, padahal kami mengakunya tentara yang Kristiani" tulis dia lagi.

Tidak diketahui pasti berapa jumlah korban tewas dalam peristiwa mengerikan tersebut. Militer Belanda dalam penjelasan yang dimuat harian Nieuwsgier yang terbit di Jakarta 23 Desember 1947 menyebut, serangan ke Rawagede dilakukan sebagai balasan atas serangan yang kerap muncul dari wilayah tersebut.

Dikabarkan bahwa Belanda pada pekan kedua Desember atau tepatnya 9 Desember 1947 mengepung Desa Rawagede. Tentara Belanda menembak mati 150 orang dan menangkap sembilan orang lainnya.

Namun, sumber lain menyebut korban tewas lebih dari 150 orang. Batu peringatan di Taman Makam Pahlawan Sampurnaraga, Karawang, menyebut jumlah korban tewas di Rawagede pada 9 Desember 1947 adalah 431 jiwa.

Harm Scholtens, seorang sejarawan Belanda, menemukan angka lain, dari arsip het Hooggerechtshof (Pengadilan Tinggi) di Batavia. Tentara kompeni pada hari itu melakukan delapan atau sembilan kali eksekusi. Mereka menjejerkan penduduk yang akan dilandrat. Setiap barus terdiri dari 12 orang.

Selanjutnya, di luar desa, mereka masih menembak mati sekitar tujuh atau 10 orang penduduk lainnya. Dengan demikian, menurut Harm Scholtens, jumlah korban eksekusi mencapai 100-120 jiwa.

Kejahatan Perang

Aksi brutal tentara Belanda menuai protes keras dari sejumlah kalangan, khususnya dari keluarga korban. Mereka mengajukan gugatan di Pengadilan Distrik Den Haag pada Rabu, 9 Desember 2009.

Diwakili oleh Liesbeth Zegveld, para keluarga korban meminta pemerintah Belanda mengakui kekejaman yang mereka lakukan di Rawagede. Mereka juga menuntut kompensasi.

Gugatan para janda yang suaminya menjadi korban pembantaian itu dimenangi Pengadilan Sipil Belanda di Den Haag, September 2011.

Hakim Pengadilan Sipil Belanda, Rabu 14 September 2011 memutuskan, pemerintah Belanda melakukan kejahatan perang di Rawagede. Karena itu, para janda korban peristiwa Rawagede akan mendapat kompensasi dari pemerintah Belanda.

Namun, aturan mengenai pembayaran kompensasi kepada para janda yang suaminya menjadi korban pembantaian Rawagede didasarkan kepada undang-undang yang berlaku di Belanda.

Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Nikolaos van Dam pada 2008 mengatakan, pemerintah Belanda telah menyampaikan penyesalan yang mendalam atas pembantaian di Rawagede.

Penyesalan itu disampaikan saat Nikolaos menghadiri peringatan 61 tahun "Tragedi Rawagede" di Monumen Rawagede, Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Selasa 9 Desember 2008.

"Diperkirakan jumlah rakyat Indonesia yang tewas akibat aksi Belanda itu sangat besar. Atas nama pemerintah Belanda, saya ingin menyampaikan rasa penyesalan yang dalam atas segala penderitaan yang harus dialami," kata Dubes.

Rawagede Kini

Pembantaian Rawagede kini telah 70 tahun berlalu. Perlahan tapi pasti, keluarga korban mulai melupakan luka pilu sejarah masa lalu. 

Pemerhati sejarah sekaligus Ketua Yayasan Rawagede Sukarman menyatakan, secara hukum kasus Rawagede telah selesai. Kompensasi dari pemerintah Belanda untuk janda korban Rawagede juga sudah didistribusikan secara keseluruhan.

Sukarman menyebut, ada 11 janda korban Rawagede yang mendapat santunan masing-masing senilai Rp 240 juta. Namun, jumlah tersebut diputuskan dikurangi untuk didistribsikan juga ke 181 keluarga lain yang jadi korban.

"Masing-masing dari 181 keluarga ini akhirnya kita sepakati dapat Rp 5,2 juta," kata Sukarman saat dihubungi Liputan6.com, Jumat 8 Desember 2017.

Selain kompensasi seperti yang diperintahkan Pengadilan Sipil Belanda, pemerintah Belanda juga memberi dana hibah senilai 5 ribu euro sebagai salah satu bentuk permohonan maaf.

Dana tersebut, kata Sukarman, sudah digunakan pemerintah setempat untuk kepentingan sosial seperti pembangunan SMK, puskesmas dan koperasi keluarga korban Rawagede.

Sukarman menambahkan, saat ini pemerintah Belanda saat ini tengah mendata keturunan atau anak korban Rawagede untuk mendapat santunan.

"Tahun lalu (2016) Dubes dan Menlu Belanda datang ke rumah saya minta untuk dilakukan pendataan anak korban Rawagede," ujar Sukarman.

Dari pendataan yang dilakukan, akhirnya ditemukan 53 anak korban Rawagede. "Santunan sih belum turun, saat ini mungkin masih proses administrasi," ujar dia.

Selain itu, Sukarman juga memastikan jumlah korban Rawagede adalah 431 orang. "Memang sempat ada beberapa yang mengaku sebagai keluarga korban. Tapi kan tidak ada buktinya. Jadi kita tidak bisa masuknya sebagai korban," ujar Sukarman. 

 

Saksikan vidio pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya