Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM), Mahendradatta, menjelaskan alasan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir menolak mengajukan grasi ke Presiden Jokowi. Padahal, kondisi kesehatannya saat ini sudah tidak memungkinkan untuk menjalani hukuman kurungan.
"Abu Bakar Baasyir tidak pernah mau mengajukan grasi, karena grasi menurut orang awam diyakini sebagai sebuah pengampunan dengan pengakuan kesalahan," kata dia, Rabu (7/3/2018).
Mahendradatta mengatakan, pemberian grasi bertolak belakang dengan keyakinan Abu Bakar Baasyir. Berdasarkan undang-undang, pengajuan grasi harus disertai pengakuan bersalah.
Advertisement
"Sementara, Abu Bakar Baasyir sampai hari yakin tidak bersalah. Bahkan, Abu Bakar Baasyir bersedia untuk mati apabila dipaksa mengaku bersalah," jelas dia.
Lain halnya, apabila Presiden Jokowi berencana memberikan amnesti atau bahkan abolisi. "Mengenai abolisi dan amnesti lain perkara. Itu pengampunan juga tetapi tidak dengan pengakuan bersalah," tutup dia.
Â
Tolak Pindah Lapas
Pemerintah berencana memindahkan terpidana terorisme Abu Bakar Baasyir ke lembaga pemasyarakatan (lapas) yang dekat dengan kediaman keluarga besarnya di Solo, Jawa Tengah. Namun, Baasyir menolak rencana tersebut.
Pengacara Abu Bakar Baasyir, Achmad Michdan, mengatakan pria yang lahir pada 17 Agustus 1938 itu sudah tidak kuat ketika harus pindah tahanan.
"Kalau di pindah LP harus menyesuaikan LP lagi, menyiapkan segala fasilitas dan amat merepotkan," ujar Michdan kepada Liputan6.com, Jakarta, Selasa, 6 Maret 2018.
Menurut dia, keinginan Abu Bakar Baasyir adalah berkumpul bersama keluarga di rumah. Terlebih usianya sudah sepuh.
"Kita tetap mendukung inisiasi Presiden melalui Menhan menjalankan sisa pemidanaannya di rumah sebagaimana alasan uzur dan sudah berumur," kata Michdan.
Advertisement