Liputan6.com, Bandung Sukawarsini Djelantik, staf pengajar Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), beserta tim mengunjungi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kairo, Republik Arab Mesir, Senin (12/3/2018). Sukarwarsini yang telah melakukan berbagai penelitian dalam bidang diplomasi, pada kesempatan itu menyampaikan presentasi bertema “Diplomasi Pada Era Informasi”, yang dihadiri oleh Duta Besar RI untuk Mesir, Helmy Fauzi, jajaran diplomat, dan staf KBRI.
Dalam paparannya, Sukarwarsini menjelaskan bahwa diplomasi pada era globalisasi mengalami perubahan yang sangat signifikan sebagai akibat dari berkembangnya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Ciri utama dari era ini adalah komunikasi instan dan munculnya masyarakat jaringan (network society).
Teknologi berbasis komputer tersebut memungkinkan setiap orang berbagi informasi, gambar, serta data secara real time. Masyarakat dunia yang tidak lagi terkotak-kotak dalam batas-batas politis dan ideologi yang kaku seperti pada era Perang Dingin.
Advertisement
Pola-pola komunikasi tersebut didukung oleh media sosial baru seperti Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Path, WhatsApp, dan Line. Perubahan ini memungkinkan setiap orang, termasuk para kepala negara dapat saling berkomunikasi secara langsung, tanpa melalui Duta Besar atau diplomat sebagai wakil negara di luar negeri. Fungsi-fungsi negosiasi, informasi, dan pelayanan terhadap warga negara dapat dilakukan secara daring, sehingga memunculkan istilah “diplomasi virtual”.
Hal tersebut berimplikasi terhadap berkurangnya peran Duta Besar dan diplomat sebagai representasi negara. Perubahan ini akan mengarah pada penghapusan Kedutaan Besar karena fungsi-fungsi diplomasi dapat diwakilkan melalui “Virtual Embassy”.
Sukarwarsini menambahkan bahwa perubahan juga terjadi pada isu-isu global yang tidak lagi didominasi masalah politik, pertahanan-keamanan, dan militer, melainkan masalah-masalah kemanusiaan. Meskipun beragam fungsi diplomasi saat ini sudah dapat digantikan oleh komputer, tetapi fungsi perwakilan, negosiasi, perlindungan terhadap warga negara, dan membangun hubungan baik dengan negara penerima, tetap memerlukan komunikasi tatap muka.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka diperlukan berbagai penyesuaian gaya serta media berdiplomasi. Sebagai contoh, jika sasaran diplomasi publik negara pengirim adalah kelompok usia muda, maka aktor, cara, dan media komunikasi perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi di negara penerima. Perubahan pola pikir dan kemampuan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi juga sangat memengaruhi keberhasilan diplomasi “Zaman Now”.
(PR)