Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif tak setuju bila tercipta satu pasangan calon di Pilpres 2019. Ia berpendapat, hal itu akan membuka peluang kepemimpinan yang otoriter.
Buya Syafii berharap ada penyeimbang dalam pemilihan presiden. Ia menegaskan pasangan tandingan perlu dimunculkan.
"Demi demokrasi harus ada (lebih dari satu pasangan calon). Kalau (pemilihan) presiden itu harus dihindari (satu calon). Itu bisa membuka peluang untuk menjadi otoriter. Itu yang saya khawatirkan," kata Buya Syafii usai bertemu Muhaimin Iskandar di kediamannya, di Perumahan Nogotirto, Gamping, Sleman, DIY, Minggu (1/4/2018).
Advertisement
Bila hanya ada satu pasangan calon, pemilihan presiden tak ubahnya pelaksanaan pemilihan kepala daerah. "Nanti seperti di daerah. Ada calon bupati yang melawan kotak kosong. Seperti itu tidak enak lah," ujar Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini.
Buya Syafii meminta apa yang terjadi di penyelenggaraan Pilkada 2018 pada beberapa daerah itu tak terjadi dalam Pilpres 2019. Cendekiawan muslim ini juga meminta segenap anak bangsa untuk maju dalam Pilpres 2019.
Kompetisi yang sehat, lanjut Buya Syafii, harus dilakukan. "Majulah anak bangsa. Berkompetisi dengan baik, yang bermartabat," tutup Buya Syafii.
Reporter:Â Purnomo Edi
Golkar Bantah Majukan JK Kembali
Sebelumnya, Ketua DPP Golkar Ace Hasan Syadzily menegaskan partainya tidak pernah membahas rencana uji materi UUD 1945 dalam rapat dengan dewan pembina pada Selasa 27 Maret untuk mencalonkan kembali Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo.
"Yang perlu saya tegaskan bahwa sama sekali di dalam rapat kemarin antara DPP dengan dewan pembina tidak dibahas khusus terkait dengan JR terkait pasal tersebut," kata Ace di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (29/3/2018).
Sebelumnya, Anggota Dewan Pembina Golkar, Fahmi Idris mengatakan partainya mempertimbangkan mencalonkan kembali JK sebagai pendamping Jokowi pada Pilpres 2019.Â
Sebab, JK sudah tidak mungkin lagi maju sebagai cawapres di Pemilu 2019 karena terhalang Pasal 7 UUD 1945. Pasal tersebut mengatur batas maksimal seseorang bisa menjabat selaku Presiden dan Wakil Presiden RI sebanyak dua kali periode jabatan.
Ace mengaku kaget dengan pernyataan Fahmi yang berencana mengajukan uji materi pasal 7 UUD 1945 tersebut. Lagipula, lanjut dia, UUD 1945 tidak bisa diubah lewat uji materi ke MK. Berdasarkan aturan, UUD 1945 hanya bisa diamandemen melalui MPR. Uji materi hanya bisa dilakukan terhadap UU Pemilu, yakni Pasal 169 huruf n tentang persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
"Bukan dong karena UUD bukan JR tapi harus amendemen," ujar Ace.
"Karena dasarnya begini, di dalam UUD 1945 Pasal 7 menyebutkan bahwa pasangan capres dan cawapres itu didukung oleh partai politik dan dapat dipilih kembali pada periode selanjutnya," sambung dia.
Wakil Ketua Komisi VIII ini menuturkan, Golkar tak mempermasalahkan keinginan Fahmi untuk kembali mencalonkan JK sebagai cawapres Jokowi. Hanya saja, Golkar sudah memutuskan tidak akan mengajukan nama cawapres ke Jokowi.
"Ya sekali lagi Golkar sendiri tidak mengajukan calon wakil presiden. Kalau toh misalnya Pak Jokowi memilih Pak JK dan secara aturan perundang-undangan diperbolehkan, ya harus kita terima karena itu pilihan Pak Jokowi," kata Ace.
Advertisement