Pembelaan Setya Novanto: Kemendagri Dominan dalam Proyek E-KTP

Menurut Setya Novanto, proyek senilai Rp 5,9 triliun itu semula diusulkan dari pendanaan pinjaman luar negeri. Lalu pemerintah mengusulkan agar diubah menjadi sumber APBN murni.

oleh Andrie Harianto diperbarui 13 Apr 2018, 11:07 WIB
Diterbitkan 13 Apr 2018, 11:07 WIB
Setya Novanto
Terdakwa dugaan korupsi proyek e-KTP, Setya Novanto mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (29/3). Sidang mendengar pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Persidangan Setya Novanto memasuki babak akhir. Hal ini usai jaksa penuntut umum (JPU) pada KPK menuntut Setya Novanto 16 tahun penjara dan uang pengganti sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Dalam nota pembelaannya Setya Novanto menyebut dirinya tidak mengintervensi proses pengadaan KTP Elektronik. Dia menyebut peran dominan dalam pengadaan megaproyek ini adalah pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

"Peran pemerintah--dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri--yang paling dominan, bukan di DPR," kata Setya Novanto di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (13/4/2018).

Menurut Setya Novanto, proyek senilai Rp 5,9 triliun itu semula diusulkan dari pendanaan pinjaman luar negeri. Lalu, pada November 2009, pemerintah mengusulkan proyek tersebut diubah menjadi sumber APBN murni yang diusulkan Gamawan Fauzi melalui stakeholder terkait.

"Untuk sumber pembiayaan PHLN menjadi APBN murni, dibutuhkan persetujuan DPR RI," kata Setya Novanto.

Barulah pada Februari 2010, guna mempermudah proses anggaran tersebut, Andi Narogong dan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri saat itu, Irman, menemui Burhanudin Napitupulu yang saat itu menjabat Ketua Komisi II.

Pertemuan itu membahas agar proyek e-KTP dapat dilancarkan dalam pembahasannya.

"Fakta di atas bagaimana peran pemerintah dalam proses penganggaran dan DPR RI memberi persetujuan, itu di luar tanggung jawab saya," kata Setya Novanto.

 

Dakwaan Setya Novanto

Setya Novanto
Terdakwa dugaan korupsi proyek e-KTP, Setya Novanto menyimak pembacaan tuntutan pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (29/3). Sidang mendengar pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Setya Novanto dituntut jaksa KPK dengan hukuman 16 tahun penjara. JPU menilai, mantan Ketua DPR itu secara hukum dan bukti yang ada telah melakukan korupsi dalam pengadaan proyek e-KTP.

"Meminta majelis hakim, memutuskan menyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan menjatuhkan penjara 16 tahun, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan," tegas JPU dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (29/3/2018).

Dalam persidangan, Setnov dinyatakan terlibat dalam korupsi senilai Rp 2,3 triliun, ketika yang bersangkutan menjabat Ketua Fraksi Golkar di DPR.

Uang itu tidak diterima Setya Novanto secara langsung. Untuk mengaburkan aliran dana, uang diberikan dari orang yang berbeda. Setya Novanto mendapat US$ 3,5, juta dari Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, Direktur PT Murakabi Sejahtera selaku peserta lelang proyek e-KTP.

Ia juga mendapat US$ 3,8 juta secara bertahap dari Made Oka Masagung pemilik OEM Investment. Total Setnov menerima US$ 7,3 juta.

"Berdasarkan fakta hukum, maka dapat disimpulkan bahwa terdakwa telah menerima pemberian fee seluruhnya berjumlah US$ 7,3 juta," ujar jaksa Wawan saat membacakan surat tuntutan.

Dalam persidangan juga terungkap bahwa Setya Novanto telah mengembalikan uang Rp 5 miliar kepada KPK. Namun, dia bersikukuh tidak terkait dengan kongkalikong proyek e-KTP.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya