Liputan6.com, Jakarta - Miras oplosan itu dikemas dalam botol air mineral. Warnanya bening, mirip air biasa. Saat tutupnya dibuka, aroma asam bercampur manis menyeruak kuat, bisa membuat puyeng siapapun yang menghirupnya dalam waktu lama.
Entah bahan apa saja yang terkandung dalam racikannya. Misterius. Yang pasti ada alkohol atau metanol berkadar tinggi, bahkan bisa di atas 90 persen. Biar enak, dicampur soda manis dan minuman berenergi, versi cair atau bubuk. Bisa juga pakai susu.
Dan, supaya efeknya mantap, bahan-bahan tak biasa ditambahkan: obat nyamuk, obat tetes mata, obat kuat, spiritus. Pokoknya apa saja, campur aduk, yang penting bikin mendem.
Advertisement
Tak hanya disamarkan seperti air minum kemasan, racikan maut (miras) oplosan juga dibungkus dalam plastik. Warna cairannya yang cokelat membuat tampilannya mirip "es teh". Harganya pun murah meriah, Rp 20-an ribu perbotol.
Sebenarnya sudah lama miras oplosan dipasarkan secara bebas. Razia pun ratusan kali dilakukan aparat, menyusul rentetan nyawa yang tamat gara-gara barang terlarang itu.
Tapi selama ada permintaan, suplai pun terus ada. Sejumlah penjual menawarkannya sebagai "minuman berkhasiat" yang konon mengandung ginseng
Kasus miras oplosan belakangan kembali mengemuka. Gara-gara korbannya yang relatif masif. Data Polri menyebut, ada 89 orang yang tewas setelah menenggak racikan maut itu.
Jumlah korban sebanyak itu baru di dua provinsi. "Korban sampai hari ini di wilayah hukum Polda Jabar sebanyak 58 orang. Sementara di Polda Metro Jaya sebanyak 31 orang. Jadi total 89 orang," ujar Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto di komplek Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Jumat 13 April 2018.
Soal korban tewas, Kabupaten Bandung ada di urutan puncak. Sebanyak 32 meninggal di RSUD Cicalengka, tujuh orang di RS AMC, dan tiga orang di RSUD Majalaya.
Tragisnya, salah satu korbannya masih berstatus siswa kelas 2 SMP. Usianya belum genap 15 tahun. Ia dilarikan ke rumah sakit dengan gejala keracunan alkohol, pupil matanya melebar dan kejang.
Pemerintah Kabupaten Bandung lantas menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) miras oplosan sejak Selasa, 10 April 2018.
Para petinggi pun gerah. Wakapolri Komjen Syafruddin mengeluarkan ultimatum: kasus miras oplosan harus tuntas sebelum Ramadan. Kapolres bahkan Kapolda yang dianggap tak serius terancam dicopot.
"Pokoknya sebelum masuk 1 Ramadan itu harus selesai. Kalau ada para kepala wilayah Kapolres, Kapolda yang tidak serius, kita akan ganti yang lain," ujar Syafruddin di Masjid Al Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat siang.
Menurutnya, jangan sampai masyarakat resah gara-gara miras oplosan.
Sementara, para tersangka pembuat dan pengedar miras oplosan bakal disanksi berat. Kalau bisa maksimal. Jika pembeli tewas gara-gara minuman memabukkan itu, penjualnya kena pasal pembunuhan.
"Kalau ada yang meninggal, itu (peracik) bisa dijerat pasal pembunuhan," ujar Kapolres Jakarta Pusat Kombes Roma Hutajulu di Media Center Jurnalis Jakarta Pusat, Jumat (13/4/2018).
Pasal pembunuhan diterapkan karena para peracik dianggap mengetahui bahwa bahan yang digunakan untuk meracik miras oplosan itu berbahaya. Tak layak dikonsumsi manusia.
Pelaku"Dimiskinkan"
Tak hanya hukuman badan, para pembuat dan pengedar miras oplosan juga terancam "dimiskinkan". Sebab, UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) akan diberlakukan.
Jangan salah sangka. Meski terbilang bisnis recehan, pelaku peredaran miras oplosan bisa menangguk untung besar.
Belum lama ini polisi menggerebek lokasi pembuatan miras oplosan di Kabupaten Bandung. Bangunan di Jalan Raya Garut-Bandung, Cicalengka itu tergolong mewah.
Rumah dua lantai itu terlihat kokoh, bergaya modern, dengan pagar besi menjulang serta parabola yang mencuat dari atap. Di bagian belakang ada kolam renang besar.
HM, pemiliknya, diduga memproduksi miras oplosan jenis ginseng di bunker. Letak ruang bawah tanah itu berada di bawah gazebo berukuran 2,5 m x 2,5 m di tepi kolam. Produk yang dihasilkan di pabrik itu dikenal sebagai "Minola".
"Minola merupakan alkohol yang ditambah zat pewarna merek redbell ditambah racikan Kuku Bima dan alkohol. Untuk persentase alkohol, belum bisa diketahui sebab masih diteliti ke laboratorium," ujar Agung, Kamis, 12 April 2018.
Dia menjelaskan, bungker 72 meter persegi itu terdiri dari dua bagian. Satu ruangan khusus tempat meracik dan bagian lainnya tempat penyimpanan bahan dan miras.
Setelah selesai diracik, miras oplosan lalu dikemas ke botol mineral kosong. Setelah itu botol ditutup dengan plastik untuk dipanasi supaya lengket. "Ada yang betuknya hitam mirip Coca Cola dan paling banyak warna kuning," ujarnya.
Dari hasil penyelidikan, dua tersangka yakni JS dan HM mengedarkan miras oplosan ke daerah Cicalengka hingga ke Kota Bandung. Kedua tersangka dikenakan pasal 204 KUHP dengan ancaman pidana 15 tahun penjara.
Polri sendiri hingga kini masih terus memburu para produsen miras oplosan yang masih buron. "Buron itu tinggal (soal) waktu saja.
"Kalau dia keluar negeri pun kita bisa kerja sama dengan Interpol. Kalau di dalam negeri pasti ketemu," ucap dia.
Saksikan juga video soal miras oplosan berikut ini:
Miras Oplosan, Pelarian dari Beban Hidup?
Bukan kali ini saja ada nyawa meregang gara-gara miras oplosan. Korbannya juga tak hanya orang Indonesia.
Pada 2010 lalu, tiga teknisi Sukhoi asal Rusia tewas diduga gara-gara miras oplosan. Mereka menenggak alkohol campur spiritus.
Dan, meski sudah banyak yang meninggal dunia, konsumen tak lantas kapok. Sosiolog Musni Umar menilai persoalan maraknya miras oplosan tak bisa hanya di lihat dari sisi hukum semata.
Menurut dia, fenomena konsumsi miras oplosan ini merupakan fenomena sosial dan sudah menjadi gaya hidup di masyarakat.
"Ini fenomena yang sangat destruktif, karena hampir 100 orang yang meninggal akibat miras oplosan," ucap Sosiolog Musni Umar saat diubungi Liputan6.com, Jumat (13/4/2018).
Dia menuturkan, setidaknya ada hal yang menjadi sebab maraknya konsumsi miras oplosan. Beberapa di antaranya faktor beban hidup ditengah perekonomian yang semakin sulit.
"Ini menciptakan suatu keadaan dimana mereka mengalami depresi sosial. Untuk melarikan diri dari masalah yangg mereka hadapi itu ke miras oplosan. Miras itu kan ada yang dibuat pabrikan ada yang dioplos, yang bisa mereka jangkau dengan keuangan yang minim adalah miras oplosan," kata dia.
Dari keadaan tersebut, menurut Musni, kemudian masyarakat menjadikan miras oplosan sebagai suatu bentuk pelarian. Mereka melakukan sesuatu yang dianggap dapat menjadi penghibur bagi mereka.
"Masyarakat cenderung berprilaku yang membuat mereka merasa nyaman seperti mengkonsumsi miras tadi," ujar Musni.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, menurut Musni perlu peran seluruh pihak, khususnya pemerintah.
"Sistem pembangunan kita sejak 50-an tahun sampai sekarang sangat mengutamakan pembangunan fisik, akibatnya Pembangunan manusia ini terabaikan, pembangunan manusia ini tidak hanya pendidikannya tapi juga imannya," kata dia.
Namun demikian, di sisi lain pemerintah, menurut Musni juga harus memperketat aturan mengenai minuman keras. Aparat penegak hukum menurutnya perlu membuat aturan jelas mengenai peredaran miras, khususnya miras oplosan.
Terkait aturan, Ahli Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir setuju bila polisi memberi sanksi tegas bagi peracik miras oplosan, dengan mengenakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan.
"Jadi yang pengoplos miras, tahu kandungannya bisa mematikan tapi tetap menjualnya, itu artinya ada unsur sengaja melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan matinya orang," kata Muzakir saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (13/4/2018).
Karena disebabkan unsur kesengajaan, lanjut Muzakir, maka pengoplos memenuhi unsur pembunuhan dan disangka dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan hukuman pidana penjara maksimal 15 tahun.
"Maka hubungan kausalitas dengan kematian itu disebut dengan kesengajaan, sebagai kemungkinan, maka pelaku pengoplosan dikatakan sebagai pembunuhan, dan menurut saya ini 338," tegas dia.
Muzakir berpendapat, selain pengoplos, adanya peran penjual juga turut berkontribusi dalam jatuhnya korban jiwa. Jika terbukti penjual mengetahui dan adanya hubungan timbal balik, maka keduanya dapat disandung dengan pasal serupa.
Advertisement
Derita Korban Miras Oplosan
Selama sepekan, 221 pasien membanjiri RSUD Cicalengka, Kabupaten Bandung. Semua gara-gara miras oplosan. Tak hanya para lelaki, dua perempuan pun masuk daftar korban.
Andri Rizal (28) masih ingat derita yang ia rasakan usai menenggak racikan maut itu pada Sabtu malam, 7 April 2018 lalu.
"Waktu itu beres kerja proyek (bangunan) sama tiga teman. Beli ginseng dan tuak," kata Andri kepada Liputan6.com, Kamis, 12 April 2018.
Tiga teman Andri bernama Deden, Aldi dan Ajay. Dua botol ginseng dan satu botol tuak mereka beli di sebuah warung yang berlokasi di Jalan Bypass Bandung-Garut. Total, harganya Rp 40 ribu. Satu botol ginseng harganya Rp 15 ribu dan satu liter tuak hanya Rp 10 ribu. Murah meriah.
Pesta mabuk pun berlangsung di dekat rumah Andri, di Kampung Panenjoan, Desa Tenjolaya, sekitar pukul 18.00 WIB.
Saat minum-minum itu, mereka merasa cita rasa tuak dan ginseng yang mereka konsumsi beda dari biasanya."Kecium bau obat. Biasanya kalau minum langsung enak. Ini mah malah lemes dan pusing," ungkap Andri.
Keesokan harinya, Andri mendapat kabar, tiga teman minumnya masuk rumah sakit. Pria itu juga merasakan badannya aneh. Ia mual, pusing dan muntah.
"Karena dengar ada pengobatan, saya datang ke rumah sakit, malam jam 21.00. Memang kerasa efeknya, bukan saat minum, tapi setelah besoknya," ujar Andri.
Ia mencurigai produk ginseng yang dijual bukan produk yang biasanya. Harganya pun lebih murah. "Dulu harganya Rp 20 ribu. Tapi waktu beli kemarin itu dijual Rp 15 ribu."
Beruntung, mereka tak masuk daftar almarhum yang meninggal dunia akibat miras oplosan.
Lolos dari maut, Andri mengaku sadar. "Karena murah jadi tergiur. Niatnya beli (miras) buat ngangetin. Tapi setelah tahu gini saya juga kapok," ungkap dia.
Syaraf Bisa Rusak Permanen
Meski selamat dari maut, belum tentu bebas dari risiko. Psikiater Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Teddy Hidayat mengatakan, miras oplosan menyebabkan kerusakan fungsi syaraf secara irreversibel atau tidak bisa dikembalikan seperti semula.
"Artinya, misalnya sudah minum oplosan, buta, maka akan buta permanen selama hidup. Kalau kenanya di otak, ya tidak akan berfungsi salah satu syaraf di otak. Kalau keracunannya lebih hebat, ya meninggal," ujar Teddy dilansir dari Antara, Kamis, 12 April 2018.
Menurut Teddy, biasanya alkohol yang terkandung dalam minuman keras berjenis etanol. Etanol ini biasa digunakan dalam campuran minuman beralkohol murni. Namun, dia menduga miras oplosan di Cicalengka mengandung alkohol jenis metanol.
Menurutnya, metanol inilah yang menyebabkan kerusakan fungsi syaraf apabila dikonsumsi dan masuk ke dalam tubuh manusia.
"Dicampur itu dengan segala macam, dan mungkin menggunakan alkohol yang murah biasanya memunculkan metanol. Metanol itu, apabila masuk dikonsumsi maka akan menimbulkan keracunan," kata dia.
Teddy menjelaskan, nekatnya masyarakat menenggak minuman keras oplosan didasarkan pada beberapa faktor perilaku berisiko.
"Perilaku berisiko ini sebetulnya sudah diketahui masyarakat bahwa meminum miras oplosan tentu sangat berbahaya bagi kesehatannya," ucap Teddy.
Meski merupakan perilaku berisiko, mereka seolah menginginkan sebuah pengakuan atau mencari sensasi atas dirinya, tanpa memedulikan nyawa. Untuk memutus rantai itu, dia menyarankan agar mengubah cara pandang masyarakat. Setelah teredukasi, langkah selanjutnya adalah dengan menertibkan penjual miras tanpa izin di samping pengawasan ketat dari aparat setempat.
"Jadi yang melatarbelakangi kenapa dia meminum ini yang harus ditanggulangi, penyebabnya ini yang harus ditanggulangi. Bukan akibat dari perilaku berisiko sudah minum baru ditanggulangi minumnya, ya terlambat," kata dia.
Fase Menyakitkan Korban Miras Oplosan
Sementara itu, Kepala Bidang Sumberdaya Kesehatan Dinkes Jabar, Ismirni mengatakan tanda-tanda orang dengan keracunan metanol terbagi ke dalam empat fase. Fase pertama adalah penekanan sistem saraf pusat terjadi 30 menit sampai 2 jam setelah minum miras bermetanol.
Fase berikutnya, tanpa gejala dengan durasi 48 jam setelah minum menunjukkan tanda-tanda keracunan.
"Karena alkohol ini ada yang bisa ditoleransi tubuh, sehingga wajar ada yang langsung meninggal, ada yang dua hari baru meninggal," jelasnya.
Fase ketiga, yaitu pasien menunjukkan gejala muntah, mual, pusing dan pandangan kabur. Pada fase inilah korban bisa diambil darahnya untuk kemudian dicek kandungan metanol dalam tubuh.
"Pada fase ketiga ini di mana terjadi asidosis metabolik berat, biasanya terjadi sudah melebihi dua hari. Metanol sudah dimetabolisir menjadi asam format," tutur Ismirni.
Pada fase ini, kata dia, metanol sudah terurai oleh enzim tubuh. Hal itu menyebabkan asidosis dan meningkatkan keasaman. Asidosis meningkat dalam darah ini lalu diambil dan dicek di laboratorium.
"Benar tidak ada asam format dalam darahnya. Kalau ada berarti metanol," jelas dia.
Terakhir, fase keempat adalah tahapan di mana seseorang yang mengonsumsi miras oplosan mengandung metanol mengalami toksisitas pada mata diikuti kebutaan hingga berujung kematian. "Fase ini terjadi setelah dua hari," Ismirni menandaskan.