Kekerasan dan Kesejahteraan Masih Jadi Ancaman Jurnalis Indonesia

Masih ada beberapa perusahaan media yang memberikan upah atau gaji kepada awak media di bawah UMP.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Mei 2018, 10:53 WIB
Diterbitkan 25 Mei 2018, 10:53 WIB
Demo Tolak Kekerasan terhadap Wartawan
Seorang wartawan membentangkan poster saat aksi solidaritas tolak kekerasan terhadap jurnalis di Bundaran HI, Jakarta, Jumat (14/11/2014). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mencatat sejumlah data kelam para jurnalis selama 20 tahun era reformasi mulai dari 2003-2017. Sebanyak 732 kasus fisik atau nonfisik dialami oleh awak media.

Data tersebut dibagi menjadi enam permasalahan yang sering dialami oleh para jurnalis saat melaksanakan tugasnya dalam mencari informasi untuk khalayak. Enam masalah itu, yakni kekerasan, ketenagakerjaan, pidana, perdata, usaha tata negara, dan sengketa pemberitaan.

Permasalahan yang paling tinggi dialami oleh para wartawan dalam mencari dan menulis berita dalam catatan AJI Jakarta, yaitu pada kasus kekerasan sebanyak 282 kasus.

Selain itu, terkait dengan masalah sistem ketenagakerjaan yang terjadi 120 kasus, diikuti dengan permasalahan pidana sebanyak 97 kasus. Lalu, perdata dengan 53 kasus. Kemudian masalah tata usaha negara sebanyak sembilan kasus dan terakhir sengketa pemberitaan ada tiga kasus.

Dalam catatan AJI Jakarta selama 20 tahun reformasi, pekerjaan sebagai buruh tulis yang kerap menghadapi tantangan dan cobaan dalam mencari dan menulis berita masih sangat jauh dari kesejahteraan. Karena berdasarkan surveinya, para jurnalis hanya menerima upah dengan kisaran Rp 3,1 - Rp 6,4 juta per bulan.

Bukan hanya itu, ternyata masih ada beberapa perusahaan media yang memberikan upah atau gaji kepada awak media di bawah upah minimum provinsi (UMP) dengan jam kerja wartawan yang tak mengenal waktu.

Hal itu berbeda dengan seorang pekerja kantoran yang setiap hari rajin hanya menghabiskan waktu delapan jam kerja.

 

Angka Kekerasan

Demo Tolak Kekerasan terhadap Wartawan
Sejumlah wartawan melakukan aksi teatrikal di Bundaran HI, Jakarta, Jumat (14/11/2014). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menurut AJI Jakarta, kerja keras dan mempertaruhkan nyawa dalam melaksanakan tugas, seorang jurnalis di Jakarta layak mendapatkan gaji minimal Rp 7,9 juta. Sementera itu, data kekerasan dalam dunia pers tiap tahunnya mengalami fluktuatif, tapi cenderung tinggi grafiknya.

Bentuk kekerasan yang kerap didapati menimpa wartawan, yakni pembunuhan, intimidasi, pelarangan liputan. Belum lagi, masih ada jurnalis yang tak dapat kepastian soal kesehatan seperti BPJS dari perusahaannya.

Lalu, perusakan atau perampasan alat, penghapusan hasil liputan, kekerasan verbal, pelecehan seksual, penganiayaan, kriminalisasi narasumber, dan pelaporan media atau jurnalis kepada pihak kepolisian hingga gugatan perdata.

Dalam menjalankan tugasnya, terkadang awak media juga terganjal dengan beberapa regulasi atau kebijakan yang dikeluarkan oleh para pemilik kepentingan seperti UU ITE mengatur soal pencemaran nama baik, penistaan agama, berita bohong, dan hak untuk dilupakan.

Selanjutnya, rencana revisi kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP) yang mengatur terkait berita bohong, dan rahasia jabatan dan UU Nomor 2 tahun 2018 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Menurut AJI Jakarta, dengan adanya ancaman dan permasalahan yang masih tinggi dalam dunia pers, semestinya pemerintah bisa menghapus pasal-pasal yang mengekang dan mengebiri kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan berekspresi, tegakan supremasi hukum terhadap kebebasan pers dan demokrasi dan Dewan Pers harus mengubah standar perusahaan Pers yang mengadopsi standar kesejahteraan jurnalis.

Reporter: Nur Habibie

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya