Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti mengatakan, eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung lah yang mengusulkan penghapusbukuan kredit macet Rp 2,8 triliun. Kredit macet itu merupakan piutang petambak kepada PT Dipasena Citra Dermadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim.
Dorodjatun mengatakan, usulan tersebut disampaikan dalam sidang kabinet terbatas (ratas) dengan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 11 Februari 2004.
Pernyataan itu muncul ketika jaksa mengonfirmasi soal dugaan Dorodjatun menindaklanjuti usulan Kepala BPPN sebagai hasil ratas tersebut. JPU bertanya, apakah keputusan tersebut menghapuskan utang petambak kepada perusahaan milik Kepala Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim itu.
Advertisement
"Kalau saya lihat dihapuskan ke sini seperti itu, itu dibuat BPPN, saya membaca ini dan ada persyaratan itu yang diberikan," jawab Dorodjatun dalam sidang perkara korupsi penerbitan SKL BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (16/7/2018).
"Di keputusan ini ada memusatkan yang ditagihkan ke Sjamsul Nursalim?" tanya JPU.
"Tidak ada, meski saya dan Boediono (menkeu era Megawati) selalu usahakan minimal top up," jawab Dorodjatun.
Dia kemudian menjelaskan mengapa Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang dikepalainya mengeluarkan keputusan. Padahal dalam BAP, dia menilai utang tersebut menjadi tanggung jawab Sjamsul Nursalim. Dia berdalih, saat itu, KKSK mempercayai hasil laporan yang diterima dari BPPN.
"Ini dibuat BPPN, keseluruhan keputusan KKSK berdsarkan laporan yang mereka dapatkan itu yang jadi rumusan kebijakan yang diputuskan KKSK kecuali kalau itu betul-betul prakarsanya dari kita, tapi kalau ini kita sangat percayai profesionalisme sehingga menyangkut sidang-sidang BPPN di kami dibuat mereka berdasarkan negosiasi, obligor," tutur Dorodjatun.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Awal Mula Kasus BLBI
Sebelumnya, saat krisis melanda Indonesia, sejumlah bank mengalami kegoncangan akibat penarikan uang oleh nasabah secara serentak. Agar tidak menimbulkan kerugian berkelanjutan, negara menggelontorkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada sejumlah bank dengan total keseluruhan Rp 144 triliun. Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) termasuk didalamnya.
Bank Indonesia memasukan BDNI ke program penyehatan bank di bawah pengawasan BPPN pada Februari 1998. Namun, BPPN menemukan dugaan pelanggaran oleh BDNI dalam menggunakan BLBI.
BDNI kemudian diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA).
BPPN melalui Tim Aset Manajemen Investasi (AMI) dibantu sejumlah penasihat finansial menghitung kewajiban yang harus dibayar BDNI sekitar Rp 47 triliun. Sebanyak Rp 28,4 triliun dari total itu, harus dibayarkan oleh pemegang saham, yakni Sjamsul. Sisanya sebesar Rp 18,8 triliun dibayar memakai aset BDNI.
Rp 4,8 triliun dari Rp 18,8 triliun dibayar dengan piutang petambak plasma kepada PT Dipasena Citra Dermadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM). Padahal, piutang tersebut dikategori sebagai kredit macet.
Sjamsul dinilai misinterpretasi atas nilai utang petambak itu. BPPN memintanya menambah jumlah aset yang disita untuk menutupi kekurangannya. Akan tetapi, Sjamsul Nursalim menolak.
Belum selesai kewajiban Sjamsul, Syafruddin menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap BDNI.
Oleh karena itu, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Reporter: Ahda Bayhaqi
Sumber: Merdeka.com
Advertisement