Liputan6.com, Tokyo - Perdana Menteri (PM)Â Shigeru Ishiba pada Jumat (4/4/2025) menyebut keputusan Presiden Donald Trump yang memberlakukan tarif 24 persen terhadap barang-barang yang diimpor dari Jepang sebagai "krisis nasional". Trump mengumumkan kebijakan tarif-nya pada Kamis (3/4).
Jepang adalah investor terbesar di Amerika Serikat (AS). Adapun langkah Trump merupakan bagian dari kebijakan tarif "timbal balik" yang diterapkan AS terhadap negara-negara mitra dagangnya.
Baca Juga
PM Ishiba menyebutkan pemerintah Jepang sedang berusaha maksimal untuk mengurangi dampaknya. Dia mengingatkan agar dalam bernegosiasi dengan Trump, pendekatannya harus tenang dan hati-hati. Demikian seperti dilansir CNA.
Advertisement
Selain tarif barang, Trump baru saja memberlakukan tarif 25 persen untuk impor mobil, yang mulai berlaku minggu ini.
Menurut laporan media lokal, para pejabat Jepang tengah berusaha mengatur percakapan telepon antara PM Ishiba dan Trump, yang sebelumnya melakukan pertemuan yang tampak bersahabat di Gedung Putih pada Februari lalu. Menteri Luar Negeri Jepang Takeshi Iwaya juga mengajukan permintaan kepada Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dalam pertemuan di Brussel pada Kamis lalu agar kebijakan tarif yang "sangat disayangkan" ini segera ditinjau ulang.
Juru bicara pemerintah Jepang Yoshimasa Hayashi menyampaikan bahwa PM Ishiba meminta kepada para menteri untuk "mengambil langkah-langkah yang diperlukan, termasuk dukungan pembiayaan" bagi industri dalam negeri dan perlindungan lapangan kerja.
Â
Â
Â
Â
Desakan Pelaku Industri
Kamar Dagang dan Industri Jepang (JCCI) mengungkapkan bahwa tarif yang diterapkan oleh AS dapat memiliki dampak yang sangat serius bagi ekonomi Jepang. Mereka mendesak pemerintah Jepang terus melakukan negosiasi agar Jepang dapat dibebaskan dari tarif tersebut dan untuk mengambil langkah-langkah guna mengurangi dampak terhadap usaha kecil dan menengah. JCCI meminta pula agar dibuatkan sistem konsultasi yang lebih terperinci serta dukungan manajemen keuangan untuk para pelaku usaha.
Sementara itu, Asosiasi Produsen Mobil Jepang (JAMA) menyarankan agar pemerintah Jepang memberikan dukungan lebih lanjut untuk memastikan industri otomotif Jepang tetap kuat. JAMA mencatat bahwa anggotanya telah berinvestasi lebih dari USD 66 miliar di sektor manufaktur di AS, yang telah menciptakan lebih dari 110.000 pekerjaan langsung dan mendukung lebih dari 2,2 juta pekerjaan lainnya.
Perusahaan otomotif Jepang mengirimkan sekitar 1,45 juta mobil ke AS dari pabrik-pabrik yang mereka operasikan di Kanada dan Meksiko. Sebagai perbandingan, Jepang mengekspor 1,49 juta mobil langsung ke AS, sementara pabrik-pabrik mobil Jepang di AS memproduksi sekitar 3,3 juta mobil.
Klaim yang Tidak Masuk Akal
Tahun lalu, defisit perdagangan AS dengan Jepang hampir mencapai USD 70 miliar.
Jepang sebagian besar mengekspor kendaraan, suku cadang mobil, mesin, serta peralatan listrik dan elektronik ke AS. Sementara itu, barang-barang yang diimpor AS dari Jepang mencakup bahan kimia, plastik, karet, barang kulit, serta produk pertanian, minyak, dan semen.
Gedung Putih menyatakan bahwa Jepang mengenakan tarif 700 persen untuk beras yang diimpor dari AS, klaim yang kemudian dibantah oleh menteri pertanian Jepang. Dia menyebutkan klaim tersebut tidak masuk akal.
Sektor otomotif Jepang mempekerjakan sekitar 5,6 juta orang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kendaraan menyumbang sekitar 28 persen dari total ekspor Jepang ke AS, yang tahun lalu mencapai 21,3 triliun yen atau sekitar USD 142 miliar.
Menurut perkiraan BMI (Fitch Solutions), jika kebijakan tarif ini terus berlanjut, ekonomi Jepang bisa terpengaruh hingga penurunan sebesar 0,7 persen. Namun, Capital Economics lebih optimis dan memprediksi dampaknya hanya sekitar 0,2 persen, dengan alasan bahwa Jepang tidak terlalu bergantung pada permintaan dari AS.
Advertisement
