Liputan6.com, Jakarta - Presiden ke-2 RI Soeharto kembali jadi perbincangan jelang Pileg dan Pilpres 2019. Sosoknya seakan jadi komoditas politik sejumlah partai. Tujuannya satu, meningkatkan elektabilitas partai dan calon presiden yang didukung. Di sisi lain, mengganjal popularitas dan rating lawan politik.
Pro dan kontra terjadi. Satu pihak menyebut Soeharto adalah guru korupsi, di kubu lain, kekeuh menyebut era Soeharto lebih baik dibanding pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla saat ini. Label Soeharto adalah Bapak Pembangunan kembali dihidupkan. Â
Wasekjen PDIP Ahmad Basarah, dalam sebuah acara di Megawati Institute, menyebut Soeharto adalah guru korupsi Indonesia.
Advertisement
"Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 itu adalah untuk penegakan hukum terhadap terduga pidana korupsi mantan Presiden Soeharto. Jadi, guru dari korupsi Indonesia sesuai Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 itu mantan Presiden Soeharto. Dan itu adalah mantan mertuanya Pak Prabowo," ucap Basarah di Jakarta, 28 November 2018.
Ucapan Basarah sekaligus meng-counter omongan capres Prabowo Subianto sebelumnya yang menyebut korupsi di era pemerintahan sekarang ini sudah memasuki stadium empat.
Tak cukup itu, seakan mempertegas ucapan Basarah, Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni menyebut Soeharto sebagai simbol korupsi kolusi dan nepotisme (KKN).
Respons keras pun langsung muncul dari pendukung Soeharto. Ketua Umum Partai Berkarya Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto langsung memerintahkan kadernya melaporkan Ahmad Basarah ke pihak berwajib karena ucapannya tersebut.
"Saya minta Laskar Berkarya sebagai sayap partai untuk menuntut, karena faktanya tidak demikian," kata Tommy saat pengukuhan DPP Laskar Berkarya di Bogor, Jumat, 30 November 2018.
Menurut putra bungsu Soeharto ini, korupsi itu justru secara masif terjadi di era reformasi hingga sekarang ini. Hal itu dibuktikan dengan banyak para pelaku yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara akibat terjerat kasus korupsi.
"Bahwa Orba dinyatakan KKN, biangnya KKN dan sebagainya. Tapi nyatanya, fakta hukumnya itu membuktikan bahwa selama reformasi ini sudah ratusan orang kena OTT (operasi tangkap tangan),"Â ucap Tommy.
Tak hanya Basarah, Berkarya dan keluarga Cendana juga akan merenteng nama Raja Juli Antoni dalam laporan yang ke polisi nantinya.Â
Polemik pun memanas. Kedua kubu merasa sebagai pihak yang benar. Pengamat Center for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi menyatakan, stempel Soeharto sebagai guru korupsi tak bisa dibantahkan selama masih ada Tap MPRÂ Nomor XI Tahun 1998.
"Kan itu sudah jelas, mau apalagi?" tegas Kristiadi kepada Liputan6.com, Senin (3/12/2018).
Kristiadi menyatakan, pembangunan di era Orde Baru terbukti mengorbankan negara. Kemajuan yang diraih zaman Soeharto hanya dinikmati kalangan tertentu.
"Kita bisa lihat monopoli rezim masa lalu, rezim yang memonopoli kebenaran dan kekuasaan. Kalau rakyat berbeda pendapat dianggap subversif, dikejar-kejar dan dibunuh," kata dia.
Pemerintahan era Soeharto, kata Kristiadi, seperti bumi dan langit jika dibandingkan dengan pemerintahan saat ini dibawa Jokowi-JK.
"Tentu Pak Jokowi ada kekurangannya. Tapi, tatanan kekuasaan ini jauh lebih baik dari zaman Soeharto. Kalau ada kekurangannya, tinggal disempurnakan. Memang agak menceng-menceng, tapi rakyat masih bisa meluruskan," ujarnya.
Kristiadi menambahkan, julukan Bapak Pembangunan yang disematkan kepada Soeharto lebih pada upaya rekayasa politis mengangkat nama penguasa 32 tahun RI.
"Dan rekayasa politik itu sudah tidak jadi legitimate karena ada Tap MPR yang secara demokratis mengatakan bahwa dalam memberantas KKN termasuk Soeharto," terangnya.
Kristiadi memaklumi jika ada pihak yang ingin mempertahankan dan menjual label Bapak Pembangunan untuk Soeharto. Sebab hanya isu itu yang bisa dijual sebagai partai baru. Setidaknya bagi Berkarya.
"Ya karena ini sangat berguna bagi mereka (pendukung Soeharto), tapi itu kan tidak sesuai secara fisik karena korupsi sudah menggerogoti tiang-tiang berbangsa dan bernegara," ungkapnya.
Dia menyakini isu ini tidak akan merubah elektabilitas, baik Partai Berkarya maupun capres Prabowo.
"Hanya, kembali lagi ke masyarakat, apakah mereka mau kembali ke zaman seperti Soeharto. Kalau saya enggak mau. Jangan sampai kembali ke rezim masa lalu," ujarnya.
Kristiadi juga tidak yakin kasus ini juga akan menguntungkan PDIP secara elektabilitas. "Tapi tergantung PDIP mengemasnya sih, bisa baik atau tidak?," katanya.
Terpisah, Direktur Ekskutif Indonesia Public Institute (IPI)Â Karyono Wibowo menyatakan, citra Soeharto sejak reformasi hingga sekarang masih banyak negatifnya dibanding positifnya," ujarnya kepada Liputan6.com, Senin (3/12/2018).
Polemik tentang Soeharto yang melibatkan Partai Berkarya, PDIP dan PSI saat ini, jika diletakkan dalam konteks persepsi tentang Soeharto secara keseluruhan masih dipersepsikan buruk, maka partai yang 'jualan' Soeharto sebagai strategi marketing politik tidak akan efektif.
"Tapi ini bagi Partai Berkarya bukan hanya 'menjual' Soeharto sebagai strategi marketing politik tapi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan karena partai tersebut memang didirikan oleh keluarga dan pendukung Soeharto," kata dia.
Target Partai Berkarya, kata dia, mungkin tidak sekadar target elektoral tetapi ada target yang lebih penting yaitu membela Soeharto.
"Sayangnya, sisi buruk masih mendominasi keseluruhan persepsi Soeharto hingga kini. Imej positif Soeharto Bapak Pembangunan belum cukup untuk mengerek elektabilitas partai milik keluarga Cendana itu," kata dia.
Dia menyakini ada kesalahan cara menjual Soeharto atau momentumnya masih belum tepat. Faktanya, Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang didirikan R Hartono dan ada Siti Hediati Rukmana yang akrab disapa mbak Tutut lenyap dari kontestasi politik karena perolehan suaranya tidak memenuhi syarat ambang batas parlemen.
Pun Partai Berkarya yang didirikan Tomy Soeharto posisinya juga terancam tidak lolos di parlemen karena berdasarkan sejumlah hasil survei elektabilitasnya di bawah 4 persen.
Saksikan video terkait polemik Soeharto berikut ini:Â
Siapa Untung?
Wakil Sekjen PDIP Eriko Sutarduga menyatakan, sikap partainya yang tegas soal Soeharto menjadi bukti bahwa partainya bukan produk Orde Baru.
"Ini garis tegas mana produk Orde Baru dan mana hasil reformasi," ujarnya kepada Liputan6.com, Senin (3/12/2018).Â
Eriko meyakini masyarakat saat ini sudah sangat dewasa melihat dan menilai apa sebenarnya yang terjadi. Namun, dia tidak mau sesumbar sikap tersebut akan menjadikan elektabilitas partainya naik.
"Tapi kami meyakini di era keterbukaan serta proses demokrasi yang makin matang, partai yang mempunyai sikap tegas dan memihak rakyat akan menuai hasil positif," ujarnya.Â
Dia yakini di 2019 PDIP akan mendulang sukses dengan hasil mendekati Pemilu 1999 yakni sebesar 33 persen suara.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto Hasto mempertanyakan sikap Berkarya dan keluarga Cendana main ancam kepada Ahmad Basarah.
Hasto mengatakan, Partai Berkarya melupakan peran Megawati Soekarnoputri yang meminta pihak-pihak tidak lagi menghujat Presiden Soeharto pascareformasi.Â
"Ibu Mega telah memberikan contoh baik dalam rangka proses rekonsiliasi ketika Pak Harto dihujat. Ibu Mega menegaskan jangan hujat Pak Harto, ini kan sebuah proses yang secara moral politik itu sangat baik," kata Hasto di DPP PDIP, Jakarta Pusat, Sabtu 1 Desember 2018.
Hasto memandang ucapan Basarah hanya menanggapi pernyataan Prabowo soal Indonesia terjangkit korupsi stadium empat. Komitmen Prabowo dalam pemberantasan korupsi dipertanyakan karena Gerindra menyumbang banyak bekas koruptor sebagai caleg di Pemilu 2019.
"Sementara Pak Prabowo sendiri enggak mampu membereskan kader-kader yang ada di caleg-caleg Gerindra," kata dia.
PDIP sendiri menegaskan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Jika ada yang terlibat maka pemecatan menunggunya.
Sementara itu, Ketua DPP Berkarya Badarudin Andi Picunang menyakini semua anak bangsa punya hak yang sama di mata hukum. Termasuk dalam hal ini melaporkan Ahmad Basarah ke pihak berwajib karena ucapannya tersebut.
"Karena bagaimana pun Pak Harto adalah bapak ideologis kami di Partai Berkarya. Kita tentu harus menjaga itu," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (12/3/2018).
Dia tidak ambil pusing sikapnya yang ngotot menjaga nama baik presiden kedua RI itu akan menurunkan elektabilitas Partai Berkarya.
"Tapi kita positive thinking saja. Kita yakini kasus ini justru akan menaikkan nama Partai Berkarya, minimal semakin dikenal oleh masyarakat," ujarnya.
Advertisement
Golkar Ikut Terseret?
Polemik tentang Soeharto tak bisa lepas dari partai Golkar yang menjadi kendaraan politik Soeharto saat itu. Ahmad Basarah sendiri telah menegaskan, pernyataan Soeharto guru korupsi bukan bermaksud menyinggung organisasi partai manapun, termasuk Partai Golkar.
Golkar sendiri tak ingin kasus ini terus berlarut. Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto meminta seluruh parpol menghentikan politik saling serang soal Soeharto.
Airlangga juga mengimbau parpol tidak membuat situasi semakin memanas menjelang Pemilu 2019. Parpol seharusnya membangun optimisme publik dengan berbagai kegiatan positif.
"Mari kita terus bangun narasi politik optimisme, bukan politik pesimisme, politik yang mampu membangun harapan bukan kecemasan rakyat," kata Airlangga melalui pesan tertulis, Sabtu 1 Desember 2018.
Pernyataan saling serang antara koalisi dan oposisi yang tajam saat ini bukanlah sikap politik yang patut. Menurut dia, koalisi pemerintah sejak awal selalu menjalankan kampanye positif. Meski demikian, pihaknya akan menjawab jika ada kampanye negatif terhadap keberhasilan pemerintah.
"Partai politik sepatutnya selalu menjawab dengan kebaikan jika ada kampanye negatif dari pihak yang tidak puas dengan establish pemerintah saat ini," ucapnya.
Menteri Perindustrian ini juga meminta kader Golkar untuk selalu konsisten mengedepankan empat program pro rakyat dalam kerja-kerjanya menghadapi Pemilu Legislatif. Empat program pro rakyat itu menjadi tagline utama Golkar untuk merebut kemenangan pada 2019 yaitu harga sembako murah, lapangan pekerjaan, rumah terjangkau, dan revolusi industri 4.0.
Airlangga juga menekankan kepada para kadernya, bahwa semangat pendiri bangsa untuk memerdekakan Indonesia adalah semangat cinta persatuan.
Serupa, Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono mengimbau semua pihak menahan diri dengan tidak berpolemik lebih jauh terkait adanya penyataan yang mendiskreditkan mantan Presiden Soeharto.
"Saya kira sudahi saja perdebatan soal itu. Tidak elok kita mengungkit-ungkit salah satu pemimpin di republik ini dan memperdebatkannya, apalagi yang bersangkutan sudah wafat," kata Agung Laksono, Minggu 2 Desember 2o18.Â
Menurut Agung Laksono, yang juga Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin, semua pihak harus menghormati dan meneladani setiap pemimpin negeri ini.
Mulai dari Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai Presiden Joko Widodo sekarang.
"Setiap pemerintahan pasti memiliki kelebihan dan kelemahan. Namun yang pasti, mereka itu merupakan figur pemimpin yang memiliki visi besar dan berpikir panjang dalam hal pembangunan untuk rakyat Indonesia," katanya.
Agung Laksono yang juga Ketua Umum PPK Kosgoro 1957 itu berharap warisan positif yang ditanamkan para pemimpin bangsa harus tetap dilanjutkan.
Sikap berbeda ditunjukkan politikus Golkar Bobby Adhityo Rizaldi. Dia menyayangkan pernyataan Ahmad Basarah yang menilai Soeharto adalah guru korupsi.Â
"Sangat disayangkan, hendaknya yang diperdebatkan adalah konsep dan gagasan pembangunan era 2019. Juga membahas hal hal substantif demi kesejahteraan rakyat," kata Bobby kepada merdeka.com, Kamis, 29 November 2018.
Meski figur Soeharto identik dengan Golkar, Bobby tak ingin menanggapi terlalu jauh. Sebab, politik saling serang tidak mencerdaskan untuk disuguhkan ke rakyat.
"Prinsipnya kami di Partai Golkar, meminta seluruh tim kampanye dari dua paslon capres untuk jangan saling tuduh, karena tidak akan ada habisnya untuk ditanggapi, tidak relevan juga dalam membangun suatu gagasan atau ide yang konstruktif," pungkasnya.
Dia juga meminta tim Prabowo fokus dengan program pembangunannya, tidak perlu meniru kampanye ala Donald Trump .
"Hal ini perlu disudahi, berilah rakyat dengan politik yang beretika, jangan meniru di Amerika," tambah anggota komisi I DPR itu.