Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Nilai Tukar Petani (NTP) untuk bulan Maret 2019. Dalam rilisnya, BPS menyebut NTP pada bulan itu hanya sebesar 102,73. Angka ini turun 0,21 persen jika dibanding bulan Februari 2019 yang mencapai sebesar 102,94.
Perkembangan NTP ini belakangan muncul di berbagai media sosial yang diulas oleh sejumlah analisa. Meski demikian, jika dicermati dengan baik, ada dua ketidaktepatan yang paling mendasar, yang seringkali terjadi dalam analisis atau interpretasi dari indikator ekonomi daya beli kesejahteraan petani yang direpresentasikan oleh NTP tersebut.
Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian (Kementan) Ketut Kariyasa menjelaskan, jika seseorang atau lembaga tertentu membandingkan NTP dengan tahun maupun antar periode berbeda, maka hasil hitungan ya bisa dikatakan tidak sah.
Advertisement
Kariyasa mengatakan, data NTP BPS tahun 2013 yang dirilis menggunakan tahun dasar 2007 adalah contoh perbedaan yang ada. Terlebih mulai tahun 2014 sampai sekarang mereka tetap menggunakan tahun dasar 2012. Dengan demikian, penghitungan itu harus berhati-hati karena menggunakan tahun dasar yang berbeda.
"Pernah ada tulisan yang langsung membandingkan NTP dengan tahun dasar yang berbeda tersebut, dan mengklaim bahwa NTP pada periode 2015-2018 lebih rendah dibanding tahun 2010-2014, dan ini jelas keliru karena masih menggunakan tahun dasar yang berbeda," kata Kariyasa, Selasa (2/4).
Namun, kata dia, jika kondisi ini dinormalkan dengan menggunakan tahun dasar yang sama, maka hasil NTP periode 2015-2018 hasilnya justru lebih tinggi dari periode 2010-2014. Dengan begitu, daya beli petani (NTP) semakin baik pada 4 tahun terakhir.
"Sekali lagi, membandingkan dan menginterpretasikan NTP pada tahun atau periode tertentu tinggi atau lebih rendah dari dari tahun atau periode sebelumnya, jika masih menggunakan tahun dasar yang berbeda bisa pastikan tidak sah hasilnya," katanya
Ketidaktepatan kedua, masih kata Kariyasa, data NTP seringkali dibandingkan antar bulan. Misalnya NTP pada bulan Maret 2019 yang dibandingkan dengan NTP pada bulan Februari 2019. Situasi itu jelas berbeda karena dipengaruhi berbagai faktor.
"Misalnya untuk NTP tanaman pangan. Kan bisa saja kondisinya dipengaruhi dampak musim sehingga tidak relevan dan kurang tepat jika membandingkan NTP dengan bulan yang berbeda. Tapi, sebaiknya, perbandingan ini dilakukan dengab bulan yang sama atau dengan musim yang sama dengan pada tahun sebelumnya," katanya.
Â
Adapun mengenai harga gabah yang turun pada bulan Maret ini masih dalam kategori aman karena relatifn stabil jika dibandingkan bulan sebelumnya.
Apalagi, harga gabah pada bulan ini menandakan bahwa banyak petani yang sedang panen raya bersekala besar. Lebih dari itu, kondisi panen diperkirkan masih akan terus berlangsung pada bulan April sampai awal Mei mendatang.
"Lalu pertanyaannya adalah relevansi membandingkan NTP antar bulan yang kondisinya sangat berbeda? Jawabannya tentu saja tidak. Sebab untuk mendapatkan perkembangan NTP yang benar, maka seharusnya NTP bulan Maret ini dibandingkan dengan bulan Maret tahun lalu," katanya.
Sebelumnya BPS merilis data NTP pada bulan Maret 2018 yang mencapai 101,94. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa NTP Maret 2019 sejatinya membaik dan naik 0,77 persen dibanding dengan bulan yang sama pada tahun lalu.
NTP Maret 2019 juga naik sebesar 0,85 perseb jika dibandingkan Maret tahun 2014. Daya beli petani yang direpresentasikan oleh NTP selama Januari-Maret 2019 lebih baik dan naik 0,60 persen jika dibandingkan Januari-Maret tahun sebelumnya, yaitu 103,00 vs. 102,39, dan naik 1,12 persen jika dibandingkan Januari-Maret tahun 2014, yaitu 103,00 vs. 101,86.
"Dari gambaran ini, sesungguhnya daya beli yang juga menggambarkan kesejahteraan petani pada bulan Maret ini masih relatif membaik. Karena itu, sekali lagi, perlu kehati-hatian dalam menggunakan dan membandingkannya data yanga ada supaya bisa lebih menunjukkan kondisi riil nyata di lapangan," tandasnya.
Perlu dipahami, bahwa secara sederhana pendapatan bersih petani dari kegiatan usaha tani dapat ditentukan oleh penerimaan dan biaya produksi yang dikeluarkan. Penerimaan sendiri terdiri dari komponen harga dan jumlah produksi.
Sesuai teori ekonomi, ketika penawaran atau produksi banyak dan di sisi lain permintaan tidak berubah, maka harga akan turun. Namun demikian, pendapatan yang diterima petani akan tetap membaik, jika penurunan harga tersebut lebih rendah dari peningkatan produksi.
Sementara itu, Direktur Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan, Bambang Sugiharto mengingatkan agar masyarakat lebih cermat membaca analisa ekonom, termasuk pengamat dan akademisi, lebih obyektif dalam mengeluarkan pernyataan-pernyataan ke ranah publik.
Mengungkapkan data inflasi bahan makanan dan Nilai Tukar Petani (NTP) yang hanya diulas pada Februari 2019 saja, tentu menjadi sangat bahaya, sedangkan pertanian terutama pangan bersifat musiman sehingga berfluktuasi antarbulan. Semestinya analisia dilihat dalam kurun waktu panjang.
"Enam bulanan, bahkan tahunan, sehingga bisa menggambarkan kondisi pertanian secara utuh. Tidak terpotong-potong seperti analisa dalam waktu sebulan," katanya.
Februari dan Maret 2019 sudah memasuki panen raya, maka wajar jika harga gabah dan beras mengalami penyesuaian. Oleh karena itu, Bambang meminta semua pihak berhati-hati dalam mengulas sesuatu, tidak parsial, apalagi dalam menganalisa kesejahteraan petani dengan NTP dan NTUP. Sebab, menurut Bambang, analisa dalam kurun waktu pendek bulanan akan menyesatkan.
"Karena, bisa jadi, bulan ini petani dianggap tidak sejahtera karena NTP dan NTUP turun, dan bulan depan berubah drastis menjadi sejahtera karena NTP dan NTUP naik," tukasnya.