Jaksa Penuntut Tolak Pleidoi Ratna Sarumpaet

Pengacara Ratna Sarumpaet menilai JPU telah salah menerapkan pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dalam perkara ini.

oleh Ady Anugrahadi diperbarui 21 Jun 2019, 17:56 WIB
Diterbitkan 21 Jun 2019, 17:56 WIB
Tangis Ratna Sarumpaet Saat Bacakan Pledoi
Terdakwa kasus dugaan penyebaran berita bohong atau hoaks Ratna Sarumpaet menangis saat menjalani sidang lanjutan di PN Jakarta Selatan, Selasa (18/6/2019). Sidang tersebut beragenda pembacaan pledoi atau nota pembelaan dari terdakwa. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menolak nota pembelaan terdakwa kasus penyebaran berita bohong alias hoaks Ratna Sarumpaet. Hal itu terjadi dalam sidang lanjutan perkara penyebaran berita bohong alias hoaks dengan agenda JPU menjawab pembelaan terdakwa alias replik digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (21/6/2019).

Dalam sidang sebelumnya dengan agenda pembacaan pleidoi, pengacara Ratna Sarumpaet menilai JPU telah salah menerapkan pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dalam perkara ini.

Menurut pengacara Ratna Sarumpaet, Desmihardi, pasal tersebut sudah ada instrumen penggantinya yaitu tindak pidana yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Secara sistemik, dalam penegakan hukum seharusnya norma hukum baru lebih dikedepankan dan mengabaikan norma hukum pidana yang lama.

Sementara itu, lewat repliknya Jaksa Reza Murdani menyampaikan, Undang-undang Penyiaran dan Undang-undang Pers tidaklah tepat dikenakan ke terdakwa.

Bahwa jika dilihat arti penyiaran dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang penyiaran pada pasal 1 dan 2 menyebut penyiaran kegiatan pemancarluasan suaran melalui pemancaran dan atau sarana transmisi di darat spektrum frekuensi melalui udara kabel dan lain-lain.

"Dari pengertian tersebut makna penyiaran dan pengertian pers sangat jelas apa," ujar Reza, Jumat (21/6/2019).

Pengacara Ratna Sarumpaet, juga mempersoalkan saksi ahli sosiologi hukum Trubus Rahardiansyah Prawiraharja yang dihadirkan JPU.

Desmihardi menilai saksi tersebut tidak memenuhi kualifikasi sebagai ahli karena tidak pernah menempuh pendidikan sosiologi dan dihadirkan oleh tanpa dilengkapi dengan Curriculum Vitae dan Surat rekomendasi/surat tugas dari Universitas.

Sementara itu, Jaksa Reza Murdani menegaskan, keterangan Ahli Sosiologi Hukum Trubus Rahardiansyah Prawiraharja telah sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, di mana ahli telah memberikan keterangan sebagai ahli terhadap perkara perkara besar lainnya selain itu telah sesuai dengan ketentuan Pasal 186 KUHAP sehingga secara hukum acara keterangannya tersebut memiliki nilai sebagai alat bukti yang sah.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

Alat Bukti

Hal lain yang dipersoalkan pengacara Ratna Sarumpaet mengenai alat bukti yang dipergunakan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu alat bukti screen shoot cuitan twitter, postingan facebook atau hasil cetak foto.

Menurut pengacara bukti tersebut hanyalah cocok dipergunakan untuk pembuktian perkara ITE dan tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan perbuatan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Materi itu pun dibantah Jaksa Reza Murdani. Reza mengatakan, penasehat hukum keliru dalam menilai screen shoot cuitan twitter, postingan Facebook atau hasil cetak foto.

"Bahwa atas screen shoot cuitan twitter, postingan Facebook atau hasil cetak foto merupakan barang bukti yang sah sebagaimana Surat Penetapan Penyitaan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bukan sebagai alat bukti," ujar dia.

Makanya, Jaksa meminta majelis hakim menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Ratna Sarumpaet sesuai dengan surat tuntutan Penuntut Umum.

"Jelas sekali bahwa apa yang didalilkan oleh Penasihat hukum Terdakwa dalam Pleidoi tidak berdasar sehingga harus ditolak," tutup dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya