Perda Adat Kuansing dan FSC, Mengembalikan Fungsi Hutan ke Masyarakat Untuk Mengindari Bencana

Pemerintah Kabupaten Kuansing kini sudah punya Perda Adat yang memberikan kewenangan kepada masyarakat adat mengelola hutan sesuai dengan kearifan lokal untuk menjaga ekosistem dan sejalan dengan program sertifikasi FSC dunia internasional.

oleh Syukur Diperbarui 26 Mar 2025, 04:00 WIB
Diterbitkan 26 Mar 2025, 04:00 WIB
Bupati Kabupaten Kuantan Singingi Suhardiman Amby menjelaskan tentang Perda Adat.
Bupati Kabupaten Kuantan Singingi Suhardiman Amby menjelaskan tentang Perda Adat. (Liputan6.com/M Syukur)... Selengkapnya

Liputan6.com, Pekanbaru - Kerusakan ekosistem hutan membuat Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, rawan banjir. Hujan dalam beberapa hari saja membuat sejumlah daerah tergenang air.

Bupati Kabupaten Kuansing Suhardiman Amby menyebut keadaan ini karena pembabatan hutan alam secara ugal-ugalan oleh perusahaan. Selain bencana hidrometeorologi, masyarakat adat juga kehilangan haknya terhadap hutan sehingga membuat konflik sosial.

Kini, Pemerintah Kabupaten Kuansing menertibkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 60. Perda ini memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada ninik mamak mengelola hutan untuk mengembalikan fungsinya.

"Seluruh daratan di Kuansing adalah tanah adat masyarakat Kuansing, dikuasai ninik mamak Kuansing dan wajib dilestarikan sesuai fungsi kawasan hutan," kata Suhardiman Dialog Pemangku Kepentingan Terhadap Implementasi Kebijakan FSC (Forest Steward Council) di Kabupaten Kuantan Singingi, Jumat petang, 21 Maret 2025.

Di Kuansing ada 3 hutan konservasi yaitu Taman Nasional Tesso Nilo, Suaka Margasatwa Rimbang Baling dan Bukit Tababuh. Di atas kertas, kawasan hutannya masih ada tapi di lapangan, sebagian besarnya sudah berubah menjadi sawit.

Melalui Perda adat, Pemkab sudah membagi setiap daratan berdasarkan beberapa persukuan atau luhak. Selanjutnya dibentuk dubalang atau polisi adat yang peraturannya tengah dipersiapkan.

"Hutan dan dubalang akan dikelola Limbago Adat Nagori, sungai akan dijaga, hutan akan dijaga, lingkungan dijaga agar tidak perambahan begitu juga dengan PETI (penambangan emas tanpa izin," jelas Suhardiman.

Menurut Suhardiman, siapa yang kedapatan menebang hutan (baik itu perorangan atau perusahaan) dan melakukan PETI, dubalang akan memprosesnya di rumah godang atau adat. Hukuman adat akan diberikan, paling berat diusir dari daerah.

"Selanjutnya diserahkan ke kepolisian kalau tidak menemukan titik temu," tegas Suhardiman.

Suhardiman menyatakan, apa yang dilakukan saat ini merupakan usaha Kuansing menata dan melestarikan kehidupan sosial masyarakat adat dan menata fungsi hutan agar bencana alam bisa dihindari.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 

Promosi 1

Simak Video Pilihan Ini:

Selaras FSC

Direktur PT Patala Unggul Kesang Nazir Foead.
Direktur PT Patala Unggul Kesang Nazir Foead. (Liputan6.com/M Syukur)... Selengkapnya

Direktur PT Patala Unggul Kesang Nazir Foead yang hadir dalam dialog tersebut mengaku tertarik dengan Perda Adat yang akan diterapkan di Kuansing. Apalagi masyarakat diberikan wewenang penuh dalam menjaga ekosistem dan fungsi hutan.

Menurut Nazir, penerapan ini selaras dengan FSC yang ditawarkan pihaknya ke Pemkab Kuansing. FSC merupakan lembaga sertifikasi pengelolaan hutan yang memperhatikan hak masyarakat adat, dampak sosial, dampak lingkungan dan ganti rugi terhadap kerusakan pengelolaan hutan yang dilakukan perusahaan.

FSC merupakan lembaga sertifikasi internasional yang berdiri sejak tahun 1994. Saat ini, di Kabupaten Kuansing sudah ada perusahaan kayu raksasa di Asia yang bakal menerapkan FSC agar tidak terjadi konflik berkepanjangan dengan masyarakat adat.

Nazir menjelaskan, FSC merupakan jalan memulihkan lingkungan yang rusak karena penebangan hutan alam ketika dulunya perusahaan mendapatkan konsesi. Melalui FSC, masyarakat yang merasa dirugikan akan diberitahu apa saja haknya lalu dipulihkan.

FSC akan memfasilitasi masyarakat berdiskusi dengan perusahaan. Masyarakat bisa menyampaikan apa saja tuntutannya dan akan dibuatkan program rehabilitasi lingkungan.

Misalnya saja keberadaan tanaman obat masyarakat adat yang hilang karena operasi perusahaan. Masyarakat bisa mengajukan kepada perusahaan agar areal tanaman obat dibuatkan lagi.

Nazir menjelaskan, dialog ini bertujuan mengenalkan apa itu FSC kepada pemerintah daerah, aktivis, masyarakat adat, akademisi hingga parlemen agar mengambil bagian memperjuangkan hak masyarakat terhadap perusahaan.

Untuk Anak Cucu

Sementara itu, mantan Rektor Universitas Riau Prof Dr Ashaludin Jalil menyatakan, perbaikan kerusakan lingkungan di Bumi Lancang Kuning harus dilakukan. Setiap pihak harus berdialog, berdiskusi dan beraksi di lapangan.

"Ini tentunya memakan waktu lama, ini momen untuk anak cucu, maukah kita setiap hujan kemudian banjir," katanya.

Terkait sertifikasi FSC, Ashaludin berharap perusahaan dan tim melanjutkan diskusi kepada datuk pemangku adat di Kuansing. Keinginan masyarakat harus ditampung dan apa kendala yang ditemui.

"Proses ini akan ditinjau oleh peneliti independen dari dunia internasional, satu kompenen saja kurang maka hangus (tidak bisa tersertifikasi)," tegasnya.

Sebagai informasi, produk-produk perusahaan tersertifikasi FSC akan mudah diterima pasar global. Adanya sertifikasi sebagai bukti perusahaan menjaga keberadaan masyarakat adat, tidak berkonflik dan memperhatikan aspek lingkungan dalam operasionalnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya