Liputan6.com, Jakarta - Bonar Tigor Naipospos masih ingat saat pintu kamar kosnya di Pondok Pinang digedor keras, pagi buta itu, Agustus 1989 lalu.Â
Sontak, ia terjaga dari tidur dan membuka pintu. Lima orang berbadan tegap, berseragam ABRI, berdiri di depannya. Orang-orang itu memerintahkannya untuk ikut. Bonar pun menurut. Ia tak kuasa melawan. Mustahil juga untuk kabur.
Dengan kendaraan militer, Bonar dibawa ke Kramat Lima, yang dikenal dengan sebutan Kremlin, di Jakarta Pusat. Di sana lah, lokasi tahanan Kodim V Jaya berada.Â
Advertisement
Selama seminggu, dia diinterograsi. Meski terkungkung, pria yang akrab dipanggil Coki tersebut masih yakin, masalah yang menjerat dirinya bukan perkara besar. Alasan penangkapannya, terkait buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, dinilainya absurd. Lagi pula, tak ada bukti ia memiliki dan menyebarkan buku itu.Â
"Saya sedang melakukan penelitian di Jakarta. Makanya saya anggap, 'ah sepele'. Tapi kemudian isu itu berkembang luas, saya baru menyadari ini bentuk represivitas Orde Baru," kata Bonar, yang kini menjabat sebagai Pendiri dan Wakil Ketua Setara Institute, kepada Liputan6.com, Jumat 23 Agustus 2019.
Betapa kagetnya Bonar tatkala ia didudukkan di kursi pesakitan. Jaksa menudingnya sebagai aktor intelektual penyebar Bumi Manusia. Tuduhan yang lebih serius: ia dianggap 'penyebar ideologi komunisme'.
Dan, tanpa dasar yang jelas pula, rezim Orde Baru menggoreskan kenangan pahit dalam perjalanan hidup Bonar, yakni menjebloskannya ke penjara dan merampas kebebasannya. Selama 8,5 tahun lamanya. Stempel sebagai penyebar komunisme dilekatkan di jidatnya.
Selain Bonar, dua aktivis lain juga kena landrat alias dihukum berat. Bambang Isti Nugroho divonis 8 tahun, sementara Bambang Subono dibui 7 tahun.
"Padahal, bagi mereka yang berfikir waras, (dalam) buku Bumi Manusia tak ada sedikit pun mengampanyekan ideologi komunis atau Marxis-Leninis," kata Bonar.
Ia, yang membeli Bumi Manusia di Toko Buku Hasta Mitra, Jakarta pada kisaran 1985 meyakini, buku itu sarat pesan Pram soal semangat anti-feodalisme dan anti-imperialisme. Bahwa semua bangsa adalah setara.Â
Pram yakin bahwa untuk membangun nasionalisme baru bertumbuh kepada ilmu pengetahuan, rasionalitas. "Karena itulah inti dari tetralogi itu."Â
Buku Terlarang
Buku Bumi Manusia diharamkan pada masa pemerintahan Soeharto. Pelarangan diikat melalui Surat Edaran Nomor 73106/Sekjen PDK/1980 tanggal 27 September 1980.
Surat edaran tersebut dilandasi oleh Ketetapan MPRS Nomor XXV MPRS/1966 Jo Ketetapan-Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/1978 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sang pengarang, Pramoedya Ananta Toer, juga kena dampaknya. Sastrawan asal Blora itu dituding sebagai penyebar ideologi komunisme dan mengancam Pancasila. Bahkan, bukan hanya buku Bumi Manusia, karya-karyanya yang lain juga dilarang, termasuk Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, serta Rumah Kaca -- dalam Tetralogi Buru yang berlatar zaman pra-kemerdekaan Indonesia.Â
Kala itu, para penikmat karya Pram terpaksa bergerilya, melancarkan aksi bawah tanah demi bisa membacanya, lewat buku atau stensilan. Cara itu terpaksa dilakukan. Sebab, barang siapa tepergok mendistribusikannya bakal disanksi berat. Gara-gara itu juga, Bonar Tigor Naipospos ikut terjerat.
Terjerat Perkara Kawan
Perkara Bonar Tigor Naipospos diawali penangkapan salah satu kawannya, yang tepergok aparat menjual buku Bumi Manusia. Keduanya sama-sama kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Menurut Bonar, motif kawannya menjual buku-buku Pramoedya Ananta Toer, termasuk Bumi Manusia, berlatar dua hal: kekagumannya pada sang penulis, juga soal ekonomi.Â
"Karena dia sangat senang terhadap buku Pramoedya Ananta Toer itu. Apalagi banyak anak muda yang berminat membaca buku Pram tapi tidak tahu di mana mendapatkannya karena buku itu sudah dilarang," ucap Bonar.Â
Dalam benak kawannya kala itu, cerita Bonar, buku yang dilarang pasti peminatnya akan tinggi. Prediksi itu tak meleset. Bumi Manusia pun laris manis. Efek sampingnya, aparat kemudian berhasil mengendus.
Kawan lainnya, pendiri Komunitas Palaga atau Palagan Study Club, juga ditangkap. Menurut Bonar, komunitas itu didirikan oleh seorang pegawai laboratorium Fisika UGM yang tidak lulus SMA -- yang juga dikenal sebagai penyair.
Meski didirikan oleh orang yang tak makan bangku kuliahan, anggota komunitas itu mayoritas mahasiswa UGM, juga para dosennya. Sejumlah seniman Yogyakarta ikut bergabung.Â
Bonar mengaku, beberapa kali mengisi acara diskusi di komunitas tersebut. Gara-gara jadi pembicara, ia dianggap sebagai aktor intelektual penyebar buku Bumi Manusia.
"Karena yang jual itu adik kelas saya dan saya pernah memberikan ceramah satu, dua kali di kelompok itu. Jadi, saya dianggap aktor intelektual," tambah dia.Â
Dua orang lebih dulu ditangkap pada 1988, sebelum aparat membekuk Bonar yang kala itu ada di Jakarta.Â
Mungkin gara-gara belakangan ditangkap, nasib Bonar lebih baik dari kedua kawannya itu. Alumnus Jurusan Sosiologi UGM 1980 itu bebas dari siksaan.Â
Dua temannya itu pernah ditempeleng bahkan kepalanya direndam di dalam bak air hingga tidak bisa bernapas. "Kemudian kakinya diinjak dengan kursi, meja. Intimidasi itu ada. Kalau saya nggak," ungkap Bonar.
Ia menduga, bebas dari siksaan gara-gara kasus buku Bumi Manusia itu terlanjur mendapat perhatian luas, bahan disorot dunia. Sampai-sampai, Amnesty International menggelar kampanye untuk menuntut pembebasan ketiga tersangka.Â
"Kami setiap hari di penjara itu mendapatkan surat (dukungan) berkarung-karung dari banyak negara," aku Bonar.
Dukungan pun mengalir ke ruang sidang. Para terdakwa didampingi oleh beberapa lembaga bantuan hukum (LBH), termasuk LBH Yogyakarta dan YLBHI Jakarta. Bangku-bangku pengunjung sesak oleh para mahasiswa yang datang dari berbagai daerah.
"Bahkan sempat terjadi insiden yang disebut 'Jogja Berdarah' karena mahasiswa-mahasiswa dari berbagai kota itu melakukan aksi demo dan dihadang juga oleh tentara dan polisi," beber Bonar.
Ia menduga, ada penangkapannya dan dua kawan adalah imbas dari pertarungan dua tokoh elite Orde Baru belaka, demi mengamankan posisi terdekat dengan singgasana penguasa.Â
Advertisement
Bumi Manusia Bukan Roman Picisan
Bumi Manusia bercerita tentang Minke, sosok pemuda yang hidup kala Indonesia masih bernama Hindia Belanda, ketika merdeka masih jauh dari angan-angan. Ia adalah siswa sekolah elite HBS, asalnya dari kalangan ningrat -- anak wedana yang kemudian naik pangkat jadi bupati.
Ndoro sekalipun, orang-orang seperti Minke dipandang sebelah mata oleh orang-orang Belanda totok, dianggap 'inlander'. Suatu ketika, ia bertemu dan jatuh cinta pada Annelies Mellema, anak Nyai Ontosoroh yang tinggal di Wonokromo. Kisah cinta mereka sejatinya bumbu cerita, bukan fokus utama.Â
Sementara, sang Nyai adalah sosok yang unik. Di satu sisi, ia dipandang rendah oleh bangsanya sendiri karena jadi gundik 'orang putih'. Namun, kemampuannya bicara Belanda dan kepiawaiannya memimpin perusahaan membuat perempuan itu setara dengan bangsa Walanda, juga bangsa Eropa lain yang dianggap mulia. Hebatnya lagi, ia mengizinkan seorang pribumi menjalin cinta dengan putrinya.Â
Pergaulan Minke di kalangan bangsa Belanda, juga dipengaruhi pemikiran revolusioner Sang Nyai, menghadapkan Minke pada kenyataan: kenyataan betapa bangsanya dipandang rendah, bahkan sampai-sampai menyembah siapapun yang memakai sepatu. Klimaksnya, ketika Annelies yang sudah jadi istrinya, dirampas.Â
Pengadilan memutuskan, pernikahan Sang Nyai dan Herman Mellema, ayah Annelies yang meninggal dunia, dianggap tak ada. Seluruh harta benda bahkan Annelies sekalipun harus dikembalikan ke istri sah Tuan itu yang ada di Belanda. Ruang pengadilan menjelma jadi ladang tempur.Â
Minke dan Nyai Ontosoroh melawan sejadinya. Dukungan mengalir dari kaum pribumi dan bangsa Eropa yang masih punya hati. Segala argumen dikemukakan. Perlawanan juga dilakukan lewat kata-kata, lewat tulisan.Â
Namun, mereka kalah. Alasan utamanya, orang Eropa tak boleh kalah dari pribumi.
"Kita kalah, Ma," bisik Minke, usai pengadilan menjatuhkan vonis.
"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya," itu jawaban Nyai Ontosoroh.
Meski kalah, setidaknya, mereka telah melawan.Â
Tokoh Minke terinspirasi dari sosok nyata, Tirto Adhi Soerjo. Dia adalah seorang jurnalis yang menjelma menjadi tokoh kebangkitan nasional Indonesia.
Pramoedya Ananta Toer mengupas perjalanan Tirto Adhi Soerjo dalam sebuah buku yang ia persembahkan pada sang jurnalis. Judulnya, Sang Pemula.Â