Liputan6.com, Jakarta - Benny Tjokrosaputro atau Benny Tjokro merasa menjadi tumbal dalam kasus dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya. Diketahui, Kejaksaan Agung menetapkan Komisaris Utama PT Hanson Internasional Tbk Benny Tjokrosaputro sebagai tersangka.
"Klien kami Pak Benny mengatakan, 'Saya ini dijadikan tumbal', tumbal kita paham ya, artinya korban. Dikorbankan untuk menutupi kerugian dari Jiwasraya yang sekian triliun itu. Termasuk pelaku-pelaku lainnya bukan hanya orang Jiwasraya," kata Pengacara Benny Tjokro, Muchtar Arifin di Jakarta, Senin (24/2/2020).
Baca Juga
Muchtar Arifin menyampaikan penyebab kliennya dikambinghitamkan. Salah satunya karena memiliki aset lebih banyak dibandingkan lima orang lainnya yang menyandang status tersangka.
Advertisement
Adapun kelima lainnya yaitu, Mantan Direktur Utama PT Jiwasraya Hendrisman Rahim, mantan Direktur Keuangan PT Jiwasraya (Persero) Hary Prasetyo dan mantan Kepala Divisi Investasi Jiwasraya Syahmirwan, dan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat serta Direktur PT Maxima Integra Joko Hartomo.
"Kenapa Pak Benny dijadikan korban? Ini analisa ya. Kenapa? Karena di antara para tersangka yang sekarang itu hanya klien kami yang memiliki aset paling banyak. Dan ini jelas, kami tadi pagi, kami membaca koran. Ada keterangan pers dari Direktur penyidikan bahwa aset-aset itu lebih kurang jumlahnya Rp 11 triliun," papar dia.
Muchtar Arifin lalu membuka beberapa lembar kertas yang berisikan saham-saham yang dibeli Jiwasraya sebelum dinyatakan gagal bayar.
Sementara menurut data itu, Muchtar Arifin menyebut, Jiwasraya hanya memiliki 2,13 persen saham PT Hanson Internasional Tbk. Tapi memperolehnya dari pihak lain.
"Klien kami tidak pernah berurusan dengan Jiwasraya dalam saham. Maka itu catatan yang pertama itu klien kami tempo hari minta perusahaan manager investasi dan reksadana diperiksa, yang 2,13 persen ini dapatnya darimana? Dari reksadana itu," ujar dia.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jangan Batasi Skup Pemeriksaan
Karena itu, Muchtar mengatakan klienya menyarankan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jangan membatasi skup pemeriksaan hanya dari 2016 sampai 2018. Pihaknya ragu audit dalam kurun waktu dua tahun bisa menghasilkan potensi kerugian hingga triliunan rupiah.
Terlebih, kliennya memiliki catatan bahwa sejak tahun 2006 sampai dengan 2016 keuangan Jiwasraya sudah bobol.
"Sekarang timbul pertanyaan dalam tim kita, apa betul hanya dalam waktu dua tahun itu kerugian sekian banyak, sekian besar? Sampai Rp 13 T (triliun) itu. Apa betul Menteri BUMN itu tidak mengetahui kapan dan berapa besar dan siapa-siapa pelaku," ujar dia.
Advertisement